DAKWAH RASULULLAH:
SERUAN UNTUK KAUM KERABAT
Oleh : Akhirudin DC
@akhirudindc
Kitab suci al-Qur'an menyatakan
bahwa dalam diri Rasulullah SAW terdapat suri tauladan yang baik (uswatun
hasanah) bagi umat manusia. hal ini difirmankan oleh Allah dalam surat al-Ahzab: 21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ
اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلاَخِرَ
وَذَكَرَالله كَثِيْرًا.
Artinya:
"Sesungguhnya
pada (diri) Rasulullah itu (terdapat) suri tauladan yang baik bagi orang yang
mengharap (keridhaan) Allah dan Hari Akhirat serta banyak mengingat Allah.
Sebagai uswatun hasanah (suri
tauladan yang baik), seluruh tindakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw. menjadi sumber legitimasi atas perbuatan dan tindakan dalam
seluruh aspek kehidupan umat Islam. Bahkan pada tingkat tertentu, berbagai
praktek ajaran agama menyangkut ritual ibadah, yang dilaksanakan oleh seorang
muslim, tidak boleh menyimpang dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Saw. tersebut.
Itulah sebabnya apa yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW menjadi dasar pijakan bagi seorang muslim, dalam setiap
tindakan dan perbuatannya. Yakni perbuatan yang bersangkut paut dengan segala
sesuatu yang mengandung muatan keagamaan. Hal ini juga berlaku bagi kehidupan
seorang dai dalam kegiatan dakwahnya. Karena berdakwah pada hakekatnya adalah
tindakan penyampaian informasi yang mengandung muatan keagamaan kepada
masyarakat luas.
Sejalan dengan itu, di kalangan
pakar ilmu dakwah lazim diketahui, bahwa dalam kode etik dakwah Islam, ada
kewajiban moral yang harus diindahkan oleh seorang dai ketika ia hendak
melaksanakan aktivitas dakwahnya. Kode etik itu adalah, "bila seorang
juru dakwah hendak melaksanakan dakwahnya di tengah-tengah masyarakat, terlebih
dahulu ia harus melaksanakan dakwah itu bagi keluarganya sendiri". Tidak
boleh terjadi, atau dipandang menyimpang dari etika dakwah, bila seorang dai
tidak mampu mengajak keluarganya yang sudah seiman dengan dia, sementara dia
sendiri sibuk mengajak orang lain dalam kegiatan dakwahnya.
Tidak pelak lagi, potret kehidupan
seorang juru dakwah atau dai, baik kehidupan pribadinya, maupun kehidupan
keluarganya, menjadi cerminan bagi keberhasilan dakwah yang dia lakukan di
tengah masyarakat. Akan dipandang tercela secara etis, bila seorang dai sibuk
mendakwahi orang lain sementara keluarganya dibiarkan bergelimang begitu saja
tanpa mengindahkan nilai-nilai agama yang dia serukan untuk dipegang dan
diindahkan oleh orang lain. Itulah sebabnya, sebelum mengajak orang lain dan
masyarakat luas, agar menerima seruan dakwah yang dia bawa, sudah sepatutnya
juru dakwah memulai dakwahnya itu dari keluarganya sendiri. Penegasan seperti
itu didasarkan kepada kewajiban dakwah yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.
Seperti diketahui berdasarkan
isyarat yang terdapat dalam al-Qur'an, sebelum tugas dakwah disampaikan oleh
Rasulullah SAW kepada masyarakat luas, Allah SWT memerintahkan agar ajakan
untuk menerima Islam tersebut, disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada kaum
kerabat beliau sendiri.
Tugas risalah yang diberikan
oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw., dimulai dari turunnya wahyu pertama di
gua Hira' pada Jabal al-Nur. Wahyu pertama itu adalah surat al-'Alaq: 1-5:
اِقْرَأ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِىْ خَلَقَ.
خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. اِقْرَأ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ. الَّذِىْ
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ.
Artinya:
"Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Maha Pencipta. Yang menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Mulia. Yang mengajar dengan pena.
Yang mengajar manuisa tentang apa yang mereka tidak ketahui."
Wahyu pertama ini menjadi dasar
legitimasi tugas risalah yang akan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Ini
berarti, Muhammad ibn 'Abd Allah, salah seorang yatim piatu dari suku Quraisy,
yang lahir di kota
transit perdagangan, Mekkah, telah dipilih oleh Allah SWT menjadi utusan-Nya
bagi segenap umat manusia. ia menjadi figur yang diberi peran sebagai duta dari
berita langit. Ini berarti melalui lidah Muhammad ibn Abd Allah itulah, wahyu
Allah, yang berisi ajaran-ajaran kehidupan yang bersumber dari Allah SWT
tersebut, akan disampaikan.
Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu
keempat, yakni surat
al-Muddatstsir ayat 1-7:
يَااَيُّهَا الْمُدَّثِرُ. قُمْ فَاَنْذِر.
وَرَبَّكَ فَكَبِّر. وَثِيَابَكَ فَطَهِّر. وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ. وَلاتَمْنُنْ
تَسْتَكْثِرُ. وَلِرَبِّكَ فَاصْبِر.
Artinya:
"Hai
orang-orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan. Dan Tuhanmu
agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah."
Mulai saat itu kegiatan dakwahpun
dilancarkan oleh Rasulullah SAW. Namun pelaksanaannya masih dalam kondisi
sembunyi-sembunyi (dakwah sirriyah). Dakwah secara sembunyi-sembunyi
tersebut dilaksanakan oleh Rasulullah SAW selama lebih kurang tiga tahun. Hal
ini dilakukan karena adanya permusuhan dan penolakan keras dari pihak kafir
Quraisy. Mereka memandang bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW
merupakan ancaman terhadap posisi mereka di mata bangsa Arab lainnya. Di
samping itu segala sesuatu yang dibawah oleh Rasulullah SAW tersebut
bertentangan dengan kepercayaan mereka, yakni penyembahan berhala (paganisme).
Itu sebabnya bila kaum beriman yang
mula-mula ini, ingin melaksanakan shalat mereka harus melaksanakannya secara
sembunyi-sembunyi. Mereka terpaksa mencari dan menelusuri celah-celah bebukitan
yang jauh dari keramaian kota
Mekkah. Di tempat itulah kemudian mereka beribadah melaksanakan shalat, agar
tidak diketahui oleh orang lain, kaum musyrikin Mekkah.[1]
A.
Strategi Dakwah Rasulullah
Selang beberapa waktu kemudian
turunlah wahyu berikutnya. Wahyu tersebut berisi perintah Allah untuk
menyampaikan dakwah, ajaran kepada Islam yang disampaikan secara
terang-terangan, tidak lagi sembunyi-sembunyi. Penyampaian dakwah secara
terang-terangan ini ditujukan kepada kaum kerabat/keluarga terdekat Rasulullah
Saw. Firman Allah dalam surat
al-Syu'ara ayat 214:
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ
Artinya:
"Dan berilah peringatan kepada
keluargamu terdekat."
Kata asyirat yang terdapat
dalam ayat tersebut, menurut Ibn Fariz, mempunyai dua arti asal, yaitu
"jumlah bilangan tertentu" dan "bergaul atau bercampur". Karena
itu keluarga, kerabat, suami atau istri disebut 'asyirat', karena mereka
antara satu dengan yang lain mengenal dan bergabung dalam satu rumah tangga.[2] Selanjutnya menurut al-Raghib
al-Ashfahani, kata tersebut mengandung arti keluarga seseorang yang merasa
banyak dengan mereka, yakni mereka bagi seseorang itu menjadi berada dalam
jumlah yang sempurna.[3] Oleh sebab itu ayat tersebut
berbicara dalam konteks perintah Tuhan kepada Nabi (termasuk umatnya) supaya
memberi peringatan kepada keluarga dan kerabat yang dekat.[4]
Keluarga terdekat Rasulullah bila
dari silsilah beliau, berawal dari Qushai. Qushai mempunyai 3 orang putra,
masing-masing bernama 'Abd al-Uzza, 'Abd al-Dar dan 'Abd al-Manaf. Dari tiga
putra itu, silsilah Rasulullah SAW berkaitan dengan Abd al-Manaf mempunyai 4
orang putra, masing-masing bernama Muththallib, Hasyim, Naufal dan Abd Syams.
Hasyim mempunyai seorang putra bernama 'Abd al-Muththallib. Selanjutnya 'Abd
al-Muththallib mempunyai 10 orang putra, tetapi yang disebut nama-namanya hanya
6 orang, yakni Hamzah, Abbas, 'Abd Allah, Abu Lahab, Abu Thalib dan Harits.
'Abd Allah adalah ayah dari Rasulullah SAW sementara yang lainnya adalah
paman-paman beliau.
'Abd Syam, saudara kandung kakek
buyut Rasulullah SAW mempunyai keturunan secara garadual melahirkan Umayyah.
Umayyah melahirkan Harb, Harb melahirkan Abu Sufyan dan Abu Sufyan melahirkan
Mu'awiyah. Seperti diketahui garis keturunan ini memunculkan khalifah-khalifah
Daulat Bani Umayyah'. Demikian pula, paman Rasulullah 'Abbas' juga
melahirkan keturunan yang menjadi khalifah-khalifah Daulat Bani Abbas.
Sementara itu silsilah Rasulullah pada lapisan pertama, yakni 'Abd al-Uzza
melahirkan keturunan 'Asad dan Khuwailid. Khuwailid mempunyai 2 orang anak,
masing-masing 'Awwam dan Khadijah. Siti Khadijah, sesudah bercerai dari
suaminya yang pertama, kemudian menikah
dengan Rasulullah SAW.
Ketika turunnya ayat tersebut, yang
dimaksud dengan keluarga terdekat Rasulullah SAW adalah mereka yang hidup semasa dengan beliau. Bila disebut satu
persatu mereka adalah Hamzah, Abbas, Abu Lahab, Abu Thalib dan Harits.Untuk melaksanakan perintah Allah SWT
tersebut, Rasulullah SAW. pun menyeru kaum kerabatnya ini. Imam al-Bukhari
meriwayatkan hal tersebut dalam Kitab Shahihnya sbb:
"Wahai
putra/putri Fihr, 'Adi dan seluruh anggota suku Quraisy", sehingga mereka
berkumpul, sampai yang tak dapat hadirpun mengirimkan wakilnya untuk
memperhatikan apa yang disampaikan oleh Muhammad SAW, Abu Lahab dan tokoh
Quraisy lainnya pun datang. Nabi Muhammad SAW bersabda: 'Bagaimana kalau aku kabarkan kepada kalian
bahwa di lembah ini ada seekor kuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian
percaya kepadaku?" Mereka menjawab: "Kami tak pernah melihat engkau
berdusta", Nabi bersabda: "Sesungguhnya aku akan memperingatkan
kalian tentang bahaya besar di hari kemudian". Abu Lahab berkata:
"Celakalah engkau. Untuk hal inikah engakau mengumpulkan kami?" Lalu
turunlah ayat Tabbat yada Abi lahab wa
tabba".[5]
Selanjutnya Rasulullah SAW
mengundang kaum kerabat anggota keluarganya terdekat untuk makan bersama-sama
di rumah beliau sendiri. Diriwayatkan, bahwa yang hadir ketika itu sampai
mencapai 40 orang, termasuk Abu Lahab.
Setelah selesai jamuan makan,
Rasulullah SAW bersiap-siap untuk memulai maksud yang akan disampaikan kepada
para tamunya. Namun sebelum beliau sempat berdiri untuk maksud tersebut, Abu
Lahab, memotong jalan mendahului berdiri terlebih dahulu, lalu berpidato dengan
suara lantang penuh nafsu.
"Mereka
(yang hadir) ini adalah saudara-saudara dan anak-anak keturunan dari
saudara-saudara bapakmu. Maka (sekarang) berbicaralah! Dan hentikanlah
penyelewenganmu (dari agamamu) itu. Jangan engkau menyerang agama kaummu.
Jangan engkau serahkan mereka kepada kemarahan bangsa Arab, sebab sesungguhnya
kaummu tidak akan sanggup melawan mereka bangsa Arab keseluruhannya. Mereka
(kaummu) tidak sanggup berperang dengan mereka.[6]
"Kaummu
sudah tahu maksudmu, hendak merubah agama mereka. Tidak tersembunyi bagi mereka
apa urusanmu (yang sebenarnya) dan bahwa engkau mengajak mereka kepada
penyelewengan, (mengajak mereka) supaya keluar dari tradisi nenek moyang
(kita). Awaslah, jagalah keselamatan dirimu dan keselamatan keturunan bapakmu.
Ketahuilah bangsa Arab tidak akan membiarkanmu (begitu saja). Tidak sukar bagi
mereka untuk menyerangmu dan membunuhmu."[7]
"Kembalilah
kepada agama bapak dan nenek moyangmu.
Itulah lebih baik bagimu. Kalau tidak kami akan penjarakan engkau sampai
engkau sehat kembali dari penyakitmu itu, sehingga engkau bebas dari
penyakitmu. Keluargamu lebih wajar mendidikmu dan berhak untuk menangkapmu dan
memenjarakanmu, bila engkau terus bertahan pada pendirianmu itu, dan itu lebih
memudahkan bagimu dan bagi mereka, dari pada apabila kaum Quraisy menerkammu
dengan bantuan bangsa Arab (lainnya). Aku tidak pernah melihat seseorang yang
mendatangkan malapetaka kepada keluarga bapaknya seperti engkau lakukan
ini."[8]
Baru saja Rasulullah Saw memulai
dakwah untuk keluarga terdekat, beliau sudah dihadang oleh anggota keluarga itu
sendiri. Ini menunjukan setiap pendukung dakwah haruslah menyadari bahwa
tantangan dakwah bisa muncul, bukan saja dari luar, tetapi juga dari dalam,
yakni dari orang dekat bahkan dari kalangan keluarga sendiri.
Betapa sistematisnya argumennya yang
diajukan oleh Abu Lahab dalam mematahkan maksud yang akan disamapaikan oleh
Rasulullah SAW belum lagi dakwah dimulai, Abu Lahab sudah menampik keinginan
Rasulullah tersebut dengan alasan-alasan yang tersusun dengan rapi. Abu Lahab
memulai dengan menggambarkan posisi Muhammad sebagai seorang pesakitan yang
tertangkap basah. Muhammad disebutnya sebagai al-Shab-ah (penyelewengan)
dari agama nenek moyang.
Dengan memberikan predikat sebagai
penyeleweng itu Abu Lahab kemudian mendesak posisi Rasulullah tersebut kepada
situasi yang sangat berbahaya, bukan saja bagi diri Rasulullah sendiri, tetapi
juga bagi kaum kerabatnya, yaitu keluarga Bani Hasyim. Situasi yang berbahaya
itu adalah kemarahan bangsa Arab.
Dengan argumen seperti itu Abu Lahab
memojokkan Nabi Muhammad sebagai orang yang telah menyeret kaum Quraisy Bani
Hasyim untuk berhadapan diametral dengan bangsa Arab secara keseluruhan. Karena
bukan hanya suku Quraisy tetapi juga seluruh bangsa Arab telah memeluk
keyakinan terhadap berhala-hala yang ada disekeliling Ka'bah, berabad-abad yang
lalu.
Oleh sebab itu dengan gaya sebagai pendukung
Muhammad, Abu Lahab memperingatkan agar Muhammad menghentikan maksud tersebut.
Kalau tidak, dari pada seluruh bangsa Arab akan membunuh Muhammad, lebih baik
kaum kerabatnya terlebih dahulu
menangkapnya dan mengobati Muhammad dari penyakit yang diidap.
Setelah berlalu beberapa hari dari
undangan yang pertama, Rasulullah kemudian mengundang kaum kerabatnya yang
kedua kali. Beberapa bibi beliau melarang untuk tidak mengundang Abu Lahab
kembali. Namun Rasulullah tetap mengundangnya untuk datang. Demikianlah sesudah
selesai makan sebelum Abu Lahab kembali bicara, seperti pada undangan
sebelumnya, Rasulullah segera berdiri memulai pembicaraan.
"Segala
puji bagi Allah, aku puji Dia, aku mohon pertolongan kepada-Nya, aku beriman
kepada-Nya dan aku berserah diri kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang layak disembah melainkan Dia satu-satunya. Dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kemudian dari itu, sesungguhnya seorang al-Ra'id (perintis) tidak akan menipu
keluarganya. Andai saja aku menipu semua manusia, aku tidak akan menipu
keluargaku. Demi Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, sesungguhnya aku ini adalah
utusan Allah kepadamu khususnya dan kepada umat manusia umumnya."[9]
"Dan
sesunguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku, supaya aku memanggil kamu
kepada-Nya, dengan firman-Nya: "Berilah peringatan kepada kaum kerabatmu
yang terdekat." Aku panggil kamu kepada kalimat yang ringan di lidah,
berat di timbangan, yakni penyaksian bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan
bahwa sesugguhnya aku adalah utusan Allah. Dan demi Allah kamu pasti mati,
sebagaimna kamu tertidur, dan akan bangkit kembali sebagaimana kamu terbangun,
dan pasti kamu akan dipinta tanggung jawabmu atas apa yang kamu perbuat, dan
kamu akan diberi ganjaran yang baik atas amalmu yang baik, dan yang buruk atas
perbuatanmu yang buruk, dan sesungguhnya (di sana) ada surga yang kekal dan ada
neraka yang kekal."[10]
"Wahai
keturunan Abd al-Muththallib. Demi Allah tidak pernah melihat seorang pemuda
membawa sesuatu yang lebih tinggi nilainya dari apa yang ku bawakan kepadamu
(sekarang ini). Sesungguhnya kubawakan kepadamu kebaikan dunia dan kebaikan
akhirat. Maka siapakah (di antara yang hadir) yang bersedia menyambut seruanku
kepada urusan (penting) ini dan bersedia mendampingiku untuk
menegakkannya."[11]
Nabi Muhammad SAW mengawali
pidatonya dengan menyebut diri sebagai seorang Ra'id (perintis), bukan
sebagai seorang Shabi (penyeleweng), seperti yang dituduhkan oleh Abu
Lahab dalam pertemuan sebelumnya. Seorang perintis ingin membawa kaumnya kepada
keselamatan dan kesejahteraan, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam
kehidupan akhirat. Oleh sebab itu, dalam menemukan kesejahteraan dan kedamaian
hidup itu, setiap orang akan mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia ini.
Siapa yang berbuat baik akan diberi ganjaran kebaikan, sebaliknya siapa yang
bebuat jahat akan diberi ganjaran kejahatan pula. Di kehidupan nanti itu ada
surga yang kekal, untuk orang-orang yang berbuat baik, dan ada neraka yang
kekal untuk orang-orang yang berbuat jahat. Itulah inti dari apa yang dibawa
beliau untuk kaum kerabat pada khususnya dan untuk umat manusia pada umumnya.
Mendengar ucapan Rasulullah SAW
seperti itu, hadirinpun terdiam seketika. Apa yang dilontarkan oleh Abu Lahab
dalam pertemuan sebelumnya mendapat informasi berimbang. Terjadi suasana pro
dan kontra. Setiap orang menimbang-nimbang dalam pikirannya
masing-masing, apakah menerima tuduhan Abu Lahab sebagai penyeleweng,
atau mendengarkan kandungan maksud yang disampaikan oleh Muhammad Saw. yang
mereka kenal selama ini mempunyai sifat al-Amin (yang sangat dapat
dipercaya).
Dalam suasana keheningan seperti
itu, seorang pemuda belia putera pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, bangun
dari duduknya dan dengan suara yang lantang menyatakan:
"Aku ya Rasulullah!, Aku membelamu. Aku adalah musuh bagi siapa yang
memusuhimu."
Suasana tersebut menjadi sangat
menentukan. Terjadi situasi di mana setiap orang melihat ke arah Ali bin Abi
Thalib dan ayahnya Abu Thalib. Pernyataan Ali sudah jelas, yakni akan membela
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan bahkan dengan sangat lantang pula di
nyatakan bahwa dia siap menjadi musuh bagi siapa saja yang memusuhi Nabi
Muhammad Saw.
Dalam situasi mencekam ini Abu
Thalib ibn 'Abd al-Muththallib pun berdiri pula dari duduknya dan mulai bicara.
"Dan
(lihatlah), itu semua kaum kerabat keturunan ayahmu, yang sedang berkumpul. Dan
aku hanyalah salah seorang dari mereka. Tetapi aku tidak akan mendahului mereka
untuk memenuhi apa yang kau kehendaki. Teruskanlah menjalankan tugasmu yang
diperintahkan. Demi Allah aku akan tetap melindungimu dan membelamu. Hanya aku
sendiri tidak sanggup berpisah dari agama 'Abd al-Muththallib."[12]
Dari ungkapan sejarah di atas, jelas
terlihat betapa dakwah Rasulullah SAW terhadap kaum kerabatnya memunculkan dua
kasus penting bagi kegiatan dakwah. Abu Lahab menentang keras dakwah Rasulullah,
dan tidak mau memeluk agama Islam. Demikian pula Abu Thalib, mendengarkan
dengan seksama dakwah Rasulullah, namun tidak mau menerima agama Islam sebagai
agama. Dua paman beliau ini sama-sama tidak mau memeluk Islam, tetapi dengan
motivasi yang berbda. Abu Lahab muncul sebagai musuh Rasulullah, sebaliknya Abu
Thalib muncul sebagai pembela beliau.
B.
Respon Dakwah dan Polarisasi
Komunitas
Dari gambaran di atas dapatlah
disimpulkan sementara, sekurang-kurangnya ada empat kategori yang dapat
dideskripsikan bagi keluarga dekat Rasulullah, dalam penerimaan mereka terhadap
dakwah beliau. Pertama, mereka yang langsung menerima Islam sebagai
agama dan meninggalkan tradisi nenek moyang menyembah berhala. Kedua, mereka
yang menolak Islam sebagai agama dan berupaya menghalang-halangi dakwah yang
dilaksanakan oleh Rasulullah. Ketiga, mereka yang juga menolak Islam
sebagai agama, tetapi memberi dukungan terhadap kegiatan dakwah Rasulullah
tersebut. Keempat, mereka pada awalnya tidak menerima Islam, tetapi
dalam waktu agak lama kemudian baru memeluk agama Islam.
Uraian berikut akan membicarakan
satu persatu anggota keluarga dekat Rasulullah SAW yang menjadi objek dakwah
beliau, yakni klasifikasikan kedalam empat kategori tersebut. Kelompok
pertama, mereka yang langsung
menerima Islam dan meninggalkan agama nenek moyang. Orang-orang yang termasuk
kepada kelompok pertama ini diwakili oleh Khadijah bint Khuwailid serta Ali bin
Abi Thalib.
Siti Khadijah memeluk agama Islam
pada tahun 636 M. Ia terpikat kepada kepribadian Muhammad yang di kalangan
masyarakat Mekkah dijuluki dengan al-Amin. Khadijah dikenal sebagai
seorang pedagang kaya di Mekkah. Garis keturunannya bertemu dengan Rasulullah
pada Qushayy. Ayahnya bernama Khuwalid, adalah cicit dari Qushay.
Sebelum memeluk agama Islam dan
menikah dengan Muhammad, ia sudah menjadi janda dua kali. Pertama ia menikah
dengan Abu Halal al-Nabbasy ibn Zuhrah. Dari perkawinan ini ia dianugerahi
seorang anak bernama Halal. Abu Halal kemudian meninggal dunia. Siti Khadijah
kemudian menikah kedua kalinya dengan Atiq ibn Abid al-Makhzumi. Suami kedua
inipun meninggal dunia pula. Kembali Siti Khadijah menjadi janda. Dalam keadaan
menjadi janda kedua kali ini, beberapa lamaran dari pemuka Quraisy, dia tolak.
Tidaklah secara kebetulan, bila Abu
Thalib yang menjadi paman Muhammad itu, mempunyai hubungan dagang dengan Siti
Khadijah. Sementara itu Muhammad sendiri tinggal di rumah pamannya itu. Untuk
meringankan beban pamannya, Muhammad ikut membantu membawa dagangan ke Syam.
Dengan demikian Muhammad dapat mengenal pasar dengan baik. Berkat kejujurannya,
perdagangan Abu Thalib bertambah maju.
Keadaan ini diketahui oleh Siti
Khadijah. Untuk memastikan dan meyakinkan dirinya tentang kepribadian Muhammad
dalam perdagangan tersebut, Siti Khadijah kemudian mengutus seorang suruhannya
untuk mendampingi Muhammad dalam perdagangannya itu. Selanjutnya Muhammad
dipercaya pula untuk membawa dagangannya ke Syam.
Atas laporan Maisarah tentang
kepribadian Muhammad inilah, Siti Khadijah kemudian memutuskan untuk meminta
Muhammad sebagai suaminya. Permintaan itu ternyata mendapat sambutan. Dengan
demikian berlangsunglah pernikahan antara Muhammad dan Siti Khadijah, yang
ketika itu mereka masing-masing berusia 25 tahun dan 40 tahun. Dari perkawinan
ini keduanya peroleh keturunan 4 puteri;
Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah, ketika itu ia membenarkan bahwa
Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah. Rasulullah pernah berucap ketika Siti Khadijah wafat; "Ketika aku miskin
ia memberiku kekayaan dan ketika aku dianggap orang gila, ia tetap percaya
kepadaku."
Ali ibn Abi Thalib adalah orang
kedua memeluk agama Islam setelah Siti Khadijah. Ia adalah sepupu Rasulullah
dan kemudian menjadi menantu beliau. Ayahnya adalah 'Abd al-Muththalib ibn
Hasyim ibn 'Abd Manaf. Dalam usia 6 tahun, ia sudah tinggal bersama Rasulullah,
sebagaimana Rasulullah pernah tinggal bersama ayahnya. Ali berusia 8 tahun
ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul. Pembelaanya terhadap Rasulullah ia
nyatakan pada jamuan makan yang dilaksanakan Rasulullah untuk kaum kerabatnya,
ketika dakwah terhadap kaum kerabat pertama sekali dilakukan.
Tak pelak lagi, hubungan Rasulullah
dengan Ali sangat dekat. Begitu dekatnya hubungan tersebut sehingga ia banyak
menyaksikan Rasulullah SAW menerima wahyu. Disamping itu ia juga banyak menimba
ilmu berkenaan dengan keagamaan, baik teori maupun praktik.[13] Ali kemudian diambil menantu oleh
Rasulullah untuk putri baliau, Fatimah. Dari Fatimah, Ali dikaruniai dua orang
putra Hasan dan Husen.
Kelompok kedua, mereka yang menolak dakwah
Rasulullah SAW secara terus menerus. Adapun yang masuk pada kelompok kedua ini
diwakili oleh paman Rasulullah juga, yakni Abu Lahab. Nama lengkapnya 'Abd
al-Uzza ibn 'Abd al-Muththalib ibn
Hasyim. Ia diberi nama Abu Lahab karena mukanya agak kemerah-merahan
seperti api. Dengan nama itu dimaksudkan Abu Lahab adalah (orang bermuka
bagaikan gejolak api). Isterinya adalah saudara kandung Abu Sofyan ibn Fihr,
yakni Ummu Jamil. Baik Abu Lahab dikenal dikalangan masyarakat Mekkah adalah
orang yang kaya raya. Inilah yang menyebabkan dia menjadi takabbur dan tidak
mau menerima dakwah Rasulullah SAW.[14]
Abu Lahab dan isterinya sama-sama
menentang keras dakwah Rasulullah SAW Atas perbuatan kedua suami isteri ini,
Allah menurunkan surat
al-Lahab:
تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَتَبَّ. مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَاكَسَبَ. سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَامْرَأَتُهُ
حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ.
Artinya:
"Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab dan dia
telah celaka. Tidaklah bermanfaat baginya, harta benda yang dia punyai dan juga
apa-apa yang dia usahakan. Dia akan masuk kedalam neraka yang bernyala-nyala.
Dan isterinya sendiri yang mengangkat kayu bakarnya. Di lehernya terikat tali
dari sabut."
Kelompok ketiga, mereka yang menolak dakwah
Rasulullah, tetapi membela beliau dalam situasi apapun. Kelompok ini diwakili
oleh Abu Thalib ibn Abd al-Muththalib ibn Hasyim. Peranannya dalam membela
dakwah Rasulullah SAW sangat besar. Posisinya sebagai salah seorang pemuka Bani
Hasyim, Abu Thalib sering mendapatkan kecaman dari orang-orang suku Quraisy
lainnya. Ketika terjadi pemboikotan terhadap Rasulullah dan kaum Musliman,
sebenarnya hal itu tertuju juga terhadap keluarga Bani Hasyim, karena
perlindungan yang mereka berikan kepada Rasulullah.
Karena posisi seperti itulah
Rasulullah sangat mencintai Abu Thalib. Ketika ia dalam keadaan sakit keras dan
Rasulullah mengajaknya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, ia tidak mau
mengucapkannya dan tidak bersedia meninggalkan agama nenek moyang mereka.
Riwayat ini diuraikan oleh al-Zuhri
dari Sa'id ibn al-Musayyab yang menerimanya dari ayahnya al-Musayyab ibn Hazam
al-Makhzumy, salah seorang sahabat Rasulullah dari kalangan Muhajirin.
"Tatkala maut mendekati Abu Thalib, masuklah Nabi kedalam rumahnya dan
segera ke pembaringannya. Beliau dapati Abu Jahal ibn Hasyim dan Abd Allah ibn
Umayyah ibn Al-Mughirah telah duduk terlebih dahulu, lalu bersabda Nabi SAW
"Wahai pamanku, ucapkanlah "La ilaha illa Allah, supaya paman
dapat aku bela di hari kiamat di sisi Allah." Sebelum Abu Thalib
menjawabnya, Abu Jahal dan Abd Allah ibn Umayyah berujar: "Hai Abu Thalib,
apakah engkau tinggalkan agama ayahmu 'Abd al-Muththalib?" Tiap-tiap Rasulullah
membujuk pamannya mengucapkan syahadat, setiap pula Abu Jahal dan Abd Allah ibn
Umayyah mengganggu dengan menyebut agama Abd al-Muththalib, sehingga Abu Thalib
menyatakan sendiri: "Biarkan aku menurut agama 'Abd al-Muththalib
saja". Dan dia enggan mengucapkan kalimat la ilala illa Allah.[15]
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْكَانُوْا أُوْلي قُرْبَي مِنْ بَعْدِ
مَاتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ
Artinya:
"Tidak adalah bagi Nabi dan orang-orang beriman
untuk memohonkan ampun bagi orang-orang musyrikin, walaupun orang-orang itu
keluarga terdekat sekalipun, setelah nyata bagi mereka bahwa mereka akan
menjadi penghuni neraka jahim."
إِنَّكَ لَنْ تَهْدِيْ مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللهَ يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Artinya:
"Sesungguhnya engkau tidaklah akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberikan
petunjuk kepada barang siapa yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahu
siapakah yang dapat diberi petunjuk itu."
Kelompok keempat, mereka yang menerima dakwah
Rasulullah, tetapi dalam waktu yang cukup lama. Kelompok ini diwakili oleh
Hamzah ibn 'Abd Al-Muththalib. Hamzah ibn Abd Al-Muththalib adalah paman
Rasulullah juga. Usianya tidak jauh terpaut dengan Rasulullah. Oleh sebab itu,
sejak kecil mereka sudah teman sepermainan. Sebagai anggota suku Quraisy,
Hamzah memang tidak serta merta menerima dakwah Rasulullah Saw. tetapi
kecintaannya terhadap keponakannya ini tidak dapat diganggu. Tidak pernah
sekalipun Hamzah memperlihatkan ketidak sukaan terhadap Rasulullah, bahkan dia
dengan segala kemampuannya melindungi Rasulullah dari gangguan siapa saja.
Semakin agung nama Muhammad SAW semakin besar kedengkian musyrikin Mekkah. Maka
semakin ketat pula penjagaan Banu Muththalib terutama Hamzah terhadap
Rasulullah SAW.[18]
Abu Sufyan juga kerabat dekat
Rasulullah yang pada awal dakwah Rasulullah melakukan permusuhan terhadap
beliau. Posisinya sebagai saudagar Quraisy membuat ia membenci dakwah Nabi dan
melancarkan permusuhan. Ia menyuruh para penggubah sya'ir untuk menyusun sya'ir
berisi penghinaan kepada nabi Muhammad Saw. sekalipun demikian, Abu Sufyan
pernah secara sembunyi-sembunyi mendengarkan bacaan al-Qur'an dari nabi
Muhammad yang sedang shalat malam dan mengakui daya tarik dan pesona dari
al-Qur'an.[19]
Tetapi lama-kelamaan, setelah fathu
Mekkah ia kemudian memeluk agama Islam. Betapa sangat menyentuhnya dakwah yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Abu Sufyan ini. Di tengah situasi
mencekam yang menyelimuti masyarakat Mekkah, khawatir Muhammad balas dendam,
Rasulullah mengeluarkan tiga butir pengumuman penting sebagai berikut:
Barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka dia
aman. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya maka dia aman. Dan barang siapa
yang masuk masjid maka dia aman.[20]
Pengumuman inilah yang membuat Abu
Sufyan merasa mendapat penghormatan yang sangat tinggi. Ia ditempatkan pada
posisi yang sangat terhormat. Harga dirinya sebagai pembesar Quraisy dia
peroleh. Inilah sisi emosional dari dakwah Rasulullah SAW.
C.
Kesimpulan
Dari uraian tentang kegiatan dakwah Rasulullah
SAW yang dibentangkan di atas, dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikiut:
1.
Dakwah Rasulullah SAW terhadap keluarga dekatnya,
tidaklah berlangsung mulus tetapi dihadapkan pada berbagai problematika. Pada
waktu ajakan untuk menerima Islam dilakukan oleh Rasulullah, tidak serta merta
mereka menerimanya, tetapi mereka terpecah ke dalam empat kelompok.
2.
Mereka yang menerima dakwah Rasulullah SAW dan kemudian
memeluk Islam dengan meninggalkan kepercayaan nenek moyang mereka, yakni
menyembah berhala. Kategori ini diwakili oleh Siti Khadijah binti Khuwailid
serta Ali ibn Abu Thalib.
3.
Mereka yang menerima dakwah Rasulullah, tetapi penerimaan
tersebut mengalami proses yang sangat lama. Setelah melalui peristiwa yang
berliku-liku akhirnya mereka juga meninggalkan keyakinan nenek moyang menyembah
berhala. Kelompok ini diwakili oleh Abu Sufyan.
4.
Mereka yang menolak dakwah Rasulullah SAW dan tetap pada
keyakinan nenek moyang menyembah berhala. Di samping itu, kategori ini juga
memusuhi Rasulullah dan dengan berbagai cara bermaksud mencelakakan Rasulullah
Saw. kategori ini diwakili oleh Abu Lahab.
5.
Mereka yang juga menolak dakwah Rasulullah SAW dan tetap
pada keyakinan nenek moyang menyembah berhala. Namun kategori ini tidak
memusuhi Rasulullah, sebaliknya membela dakwah Rasulullah Saw. kategori ini
diwakili oleh Abu Thalib ibn Abd Al-Muththalib serta Hamzah Ibn Abd
al-Muththalib.
6.
Strategi dakwah Rasulullah yang berbasis keluarga
terdekat merupakan strategi dakwah yang efektif, kerena dari dukungan keluarga
terdekat inilah, beliau mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Dengan strategi
ini pula dakwah beliau membuahkan kesatuan umat: masyarakat madani yang
berkeadilan, berkeadaban dan peradaban.
[2]
M.
Quraish Sihab, Ensiklopedi al-Qur'an Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jakarta,
Yayasan Bimantara, edisi percobaan, 1997, h. 32
[13]
Dasuqi,
A. Hafizh, Ensiklopedi Islam, Vol. I dan II, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Cet. 1, 1993
[15]
Imad al-Din abi al-Fida Ismail Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th., h. 136
[20]
Muhammad Husein Haikal, op. cit., h. 419