TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Rabu, 26 Juli 2017

Sejarah Organisasi Islam di Indonesia

Sejarah Organisasi Islam di Indonesia

Materi Kuliah : Kamis, 27 Juli 2017

Perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami, serta munculnya partai-partai yang memakai platform islam.
Setelah Reformasi, kebangkitan islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif.

A. Nadhatul Ulama ( NU )
Nadhatul Ulama adalah salah satu organisasi keagamaan yang terbesar jumlah anggotanya di Indonesia, Nadhatul Ulama berdirinya pada tanggal 16 Rajab 1344 atau 13 Januari 1926 M di Surabaya dengan pemrakarsa KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah[1]. NU sendiri berpahamkan “Ahlusunnah wal Jama’ah” berasaskan Pancasila, yang dalam aqidah mengikuti aliran Asy-ari’yah Maturidiyah, dalam syariah/fiqh mengikuti salah satu madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali, dan dalam tashawuf mengikuti Al-Junaid dan Al-Ghozali[2].
Pembentukan NU dilatar belakangi keinginan Raja Abdul Aziz Ibnu Saud untuk menerapkan asas tunggal yakni Madzhab Wahabi di Mekah, serta menghancurkan semua peninggalan Sejarah Islam maupun Pra Islam yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan tersebut disambut hangat kaum modernis Indonesia, namun kalangan pesantren menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Karena perbedaan itu, kalangan pesantren memutuskan keluar dari anggota Kongres Al-islam di Yogyakarta 1925 yang akan berangkat menghadiri undangan Raja Ibnu Saud di Mekah. Mereka akhirnya membentuk Komite Hejaz. Rapat pertama Komite Hejaz diadakan pada tanggal 31 Januari 1926 ditempat kediaman KH Abdul Wahab Abdullah di Desa Kertopaten, Surabaya.
Rapat Komite Hijaz menghasilkan dua keputusan, yaitu :
1.      Kalangan pesantren membuat delegasi sendiri yang diketuai KH Wahab Chasbullah ke Mekkah bertemu langsung Raja Ibnu Saud.
2.      Membentuk satu jami’ah sebagai wadah persatuan ulama yang bernama Jami’ah Nadhatul Ulama atas usulan KH Alwi Abdul Aziz.
Faham Ahlussunnah wal Jama;ah yang dianut NU adalah sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah Antara ekstrim aqli ( rasionalis ) dengan kaum ekstrim naqli ( skripturalis ). Sumber pemikiran NU tidak hanya berdasarkan Al-qur’an dan Sunnah, namun juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiric.
NU memiliki 13 bidang cakupan pada program kerja, Antara lain bidang keagamaan, pendidikan, budaya, dakwah, sosial, ekonomi, tenaga kerja, pertanian, nelayan, generasi muda, kewanitaan, pengembangan sumber daya manusia, penerbitan dan informasi, kependudukan dan lingkungan hidup.
Nadhatul Ulama memiliki 7 lajnah ( panitia ) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan program-program di lapangan, yaitu :
1.      Lajnah  Falakkiyah (  Lembaga Falak )
2.      Lajnah At-Ta’lif wa An-Nasyr ( Lembaga Penerbitan dan Publikasi )
3.      Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
4.      Lajnah Waqfiyah
5.      Lajnah Penyuluhan dan Bantuan Hukum
6.      Lajnah Zakat, Infaq, Shadaqah, dan
7.      Lajnah Bahs Al-Masa’il Ad-Diniyyah
Selain itu NU memiliki 12 lembaga, dan 9 badan otonom yang berfungsi untuk membantu pelaksaan kebijakan organisasi. Kini anggota NU tersebar di berbagai daerah, dan Negara sahabat,yang berjumlah tidak kurang dari 45 jiwa. NU pun sering dijuluki penganut islam tradisionalis, karena system pendidikannya yang berupa pesantren.
Setelah berakhirnya Masa Orde Baru, perbedaan Antara konservatif dan progresif mereka ingin membawa NU ke politik dan yang ingin kembali ke Khittah 1926. Namun pengalaman selama 21 tahun menjadi partai politik telah cukup menyulitkan posisi NU, selain menjadi kurang terbinanya kerja NU dalam bidang pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Akhirnya diputuskan untuk mengembalikan fungsi NU sesuai semangat tahun 1926[3].

B. Jami’at Khair Al-Irsyad
Pada tahun 1901, di Pekojan mereka mendirikan organisasi Al-Jami’at Al-Khariyah ( Perkumpulan Kebaikan ). Organisasi ini memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1905. Jami’at Khoir ini didirikan oleh Sayid Muhammad Al-Fakhir bin Abdurahman Al-mansur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Syehan bin Sihab.
Anggota organisasi ini terbuka bagi setiap muslim, namun mayoritas anggotanya adalah Masyarakat Arab. Tujuan berdirinya organisasi ini karena beberapa hal menyangkut pendidikan, yaitu :
1.      Keterbatasan sarana pendidikan dan kekurangsesuaian fasilitas pendidikan.
2.      Masyarakat Arab kurang suka mengikuti pendidikan di sekolah Belanda.
3.      Sekolah pribumi kurang bermutu.
System pendidikan Jami’at Khoir menggunakan system modern, seperti adanya kurikulum, mata pelajaran umum, mata pelajaran agama, kelas-kelas yang sudah terorganisasi. Jami’at Khoir pun mendatangkan guru-guru dari luar yaitu:
1.       H.Muhammad Mansur dari Padang
2.       Alhasimi dari Tunis yag memperkenalkan kepanduan dan olahraga
3.      Syekh Muhammad Thaib dari Maroko tahun 1911
4.      Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah tahun 1911
5.      Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan tahun 1911
Soorkati memiliki peranan penting dalam perkembangan Jami’at Khoir. Soorkati lahir pada tahun 1875, didesa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan. Ayahnya adalah seorang lulusan Universitas Al-azhar yang bernama Jabir bin Abdullah Al-ansari. Pada tahun 1875 ia mengikuti pendidikan tradisional di Sudan dan melanjutkan studi di Universitas Al-azhar. Tahun 1896, ia pergi ke Madinah dan tinggal selama empat tahun untuk belajar agama.
Jami’at Khair dibawah pimpinan Soorkati mengalami kemajuan pesat dengan didirikannya dua madraah di Krukut dan Pekojan, dan satu di Bogor. Muridnya pun tidak hanya berasal dari daerah sekitar, tetapi juga dari dareah Batavia dan Sumatera.
Setelah dua tahun aktif di Jami’at Khair terjadi etegangan Antara Soorkati dan pengurus Jami’at Khair berawal dari lawatan Soorkati keliling Jawa Tengah pada tahun 1913. Soorkati singgah di kediaman Alhamid di Solo. Saat bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan seorang syarifah dengan pria non alawi, Soorkati menjawab perkawinan itu dibolehkan menurut hukum syar’I yang adil. Jawaban Soorkati ini dianggap telah menghina golongan alawi.
Akhirnya Soorkati menyadari bahwa organisasi ini didominasi oleh golongan Sayyid yang menganggap dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan keturunan Ali dan Fatimah yang memiliki kemuliaan dan kedudukan lebih tinggi dari yang lainnya, sebagai manusia pilihan Allah SWT yang diberi hak untuk memberi syafaat dan menjadi wasilah Antara manusia dan Tuhan, sehingga mereka meminta penghormatan, seperti adanya taqbil ( mencium tangan para sayyid kapan dan dimana pun ketika bertemu ), wanita alawi tidak boleh menikah dengan pria non-alawi[5].
Soorkati yang merasa dirinya tidak disukai pun mengeluarkan diri dari Jami’at Khair. Pada tahun yang sama atas dukungan pemuka Hadrami non-alawi  ia membuka madrasah AL-Irsyad Islamiyah, ia juga menyetujui pendirian organisasi yang menaunginya yaitu Jam’iyah Al-islah wa Al-irsyad Al-islamiyah pada tanggal 6 September 1914. Kemajuan Al-irsyad mengalami kemajuan, sedangkan Jami’at Khoir mengalami kemunduran.
Pembentukan Al-irsyad ditujukan kepada golongan Arab Hadrami bahwa tafaddul ( kemuliaan ) tidaklah didasari pada keturunan, melainkan pada ilmu, amal, dan takwa. Ia menentang taklid buta, khufarat, dan bid’ah dalam berbagai bentuk keyakinan dan keagamaan yang dihubungkan dengan orang tertentu dari keluarga Alawi.  Karena itulah Al-irsyad bergerak dalam bidang pendidikan formal, tujuan kedepannya adalah :
1.      Memperbaiki kondisi keberagaman dan sosio-ekonomi umat islam, khususnya golongan arab dengan mendirikan madrasah, panti asuhan dan rumah sakit.
2.      Menyebarkan reformasi islam diantara para muslim melalui tulisan, publikasi, diskusi, kelompok studi dan tablig.

C. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang terpenting di Indonesia dari sebelum Perang Dunia II sampai sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan[6].  Didirikannya Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan merupakan hasil pengalamannya aktif di organisasi Budi Utomo, Jami;at Khair dan Srekat Islam. Ahmad Dahlan mengamati belum adanya organisasi pribumi yang berorientasi pada gerakan modernism Islam.
Organisasi ini bergerarak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Tujuan didirikan organisasi ini adalah :
1.      Untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupan yaitu dengan menerapkan pengajaran Nabi Muhammad.
2.      Membebaskan dari praktek-praktek Agama yang menyimpang dari kemurnian Islam yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi.
Saat itu Islam dipengaruhi sifat fatalism, bid’ah, khufarat, dan konservatisme yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan sosial dan ekonomi masyarakat muslim di Indonesia. Muhammadiyah tampil untuk memperjuangkan nasib umat islam dan memajukan kehidupan keagamaan umat islam. Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mengadakan rapat-rapat, tabligh, mendirikan masjid, menerbitkan buku, brosur, surat kabar dan majalah.
Melihat pendidikan Islam yang sangat tradisional, akhirnya Muhammadiyah memutuskan untuk memperbarui system pendidikan islam secara modern sesuai dengan kondisi zaman. Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sekolah-sekolah umum yang didalamnya diberi pengetahuan umum dan pengetahuan agama.[7]
KH. Ahmad Dahlan berusaha untuk memurnikan ajaran Islam dari takhayul, bid’ah, dan khufarat. Muhammadiyah kemudian menetapkan beberapa hal dalam pengajarannya, seperti  penentuan arah kiblat secara eksak, penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa Ramadhan, penyelenggaraan shalat hari raya di lapangan, pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban, penyamapaian khutbah dalam Bahasa yang dimengerti jama’ah, pelaksanaan shalat Jum’at dan tarawih berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW, penghilangan beduk dari masjid, peniadaan  ziarah kubur kepada tokoh yang dianggap keramat, penyederhanaan syukuran kelahiran, khitanan, perkawinan dan pengurusan jenazah.
Hingga tahun 1920, Muhammadiyah mulai menyebar dan memiliki cabang dibeberapa kota Surakarta, Surabaya, Madiun, Pekalongan, Garut dan Jakarta. Sewafatnya Ahmad Dahlan pada tahun 1923, kepemimpinannya digantikan oleh sahabatnya KH. Ibrahim. Pada periode ini Muhammadiyah menyebar keluar Jawa dan sampai akhirnya keseluruh Nusantara.
Organisasi ini memiliki peranan yang sangat penting dan mempunyai dampak yang paling luas diseluruh Indonesia. Walaupun pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan terutama dari kaum adat dan ulama tradisional karena dianggap telah keluar dari ahlussunah wal jama’ah . akan tetapi lambat laun masyarakat menerima pembaruan keagamaan dan inovasi yang dilakukan Muhammadiyah. Selain itu perkembangan Muhammadiyah didukung faktor lain seperti cara dakwah mereka yang cenderung toleran, kegiatan sosial yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, dan sebagai organisasi tandingan terhadap aktivis misionaris Kristen. Muhammadiyah juga memiliki Majelis Tarjih yang berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah yang dipertikaikan umat islam.

D. Persatuan Islam ( PERSIS )
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagaman yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus[8].
Persis mengembangkan cita-cita dan pemikirinnya melalui pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pamflet, majalah dan kitab[9]. Dalam kegiatannya Persis mendapat dukungan dan partisipasi daru dua tokoh penting yaitu :
1.      Ahmad Hasan, seorang yang dianggap sebagai guru Persatuan Islam sebelum perang.
2.      Mohammad Natsir, seorang pemuda yang sedang berkembang dan bertindak sebagai juru bicara dari Persatuan Islam kalangan terpelajar.
Sama halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persatuan Islam juga memberikan perhatian besar pada kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah dasar, kursus, kelompok diskusi, pengajian dan pesantren. Dalam pendidikan ini Persatuan Islam mendirikan sebuah madrasah yang awalnya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persatuan Islam, dan kemudian madrasah tersebut dibuka untuk umum. Madrasah ini membahas soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah yang sangat menarik pada saat itu adalah poligami dan nasionalisme.
Selain mendirikan madrasah, Persatuan Islam juga mendirikan Pesantren Persatuan Islam pada bulan Maret 1939 di Bandung.  Dengan harapan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untukmenyebarkan agama, usaha ini merupakan inisiatif Hasan. Kemudian Pesantren ini dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur. Setelah pesantren dibuka di Bangil, maka muridnya bertambah dari kepulauan Indonesia. Pada tahun 1941dibuka pesantren bagian perempuan. Dan kedua pesantren ini berjalan baik.[10]
Persis dan Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama namun memiliki beberapa perbedaan, yaitu :
1. Muhammadiyah sangat giat dalam membentuk banyak cabang.
Persis tidak terlalu giat dalam membentuk banyak cabang
2. Muhammadiyah berusaha mengiring orang masuk, lalu kemudian dibina orang tersebut dalam organisasi
Persis membina dahulu diluar, jika dianggap sudah pantas baru direkrut menjadi anggota
3 Lebih mengutamakan aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan
Lenih mengutamakan dakwah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku, mengadakan diskusi umum dan lain-lain.

Tidaklah mengherankan jika organisasi Persis jauh lebih kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan aktivitasnya. Persatuan Islam hanya memiliki 200 cab
ang diseluruh Indonesia, yang menangani ratusan sekolah dan pesantren.

E. Serikat Islam
Serikat Islam adalah organisasi rakyat terbesar pada awal abad ke-20. Sejarah pendirian organisasi ini, para sejarahwan berbeda pendapat mengenai tahun dan tokoh penggagasnya. Takashi Siraishi seorang sarjana Jepang menyatakan bahwa Serikat Islam berasal dari sebuah organisasi yang bernama Rekso Roemekso yang dibentuk H. Samanhudi dan para pengikutnya pada tahun 1868-1958. Rekso Roemekso terbentuk karena adanya persaingan perdagangan batik Antara pedagang Jawa dan Cina. Organisasi  ini dibentuk untuk membela kepentingan pengusaha pribumi yang merasa dirugikan, karena pemerintah Hindia Belanda memberikan monopoli kepada para pedagang Cina dalam menyediakan bahan baku dan pemasaran batik. Akhirnya Rekso Roemekso memutuskan untuk mengganti nama dengan Partai Serikat Islam tahun 1923 organisasi ini mengarah pada bidang politik dan merupakan organisasi politik pertama di Indonesia.
Tujuan Serikat Islam, adalah :
1.      Memajukan semangat dagang kalangan bumiputra
2.      Memberikan bantuan kepada para anggota perkumpulan
3.      Memajukan pendidikan rohani bumiputra
4.      Menghilangkan salah pengertian mengenai agama islam
5.      Memajukan kehidupan keagamaan dikalangan bumiputra.
Keanggotaan Serikat Islam tidak dibatasi di Pulau Jawa saja, namun terbuka untuk  pribumi muslim diseluruh Tanah Air. Ketika SI berpindah dari Surakarta ke Surabaya, SI dipimpin oleh orator ulung yaitu H. Oemar Said Tjokroaminoto tahun 1882-1934, daan lambat laun H. Samanhudi yang menggagas organisasi ini mulai tergeser dan hanya memimpin sampai tahun 1916.
SI terus melakukan propaganda melalui media cetak dan rapat umum sehingga dalam waktu kurang dari setahun SI sudah tersebar luas. Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa cabang di Kudus, Bandung, Surabaya, Madiun, Ngawi, Ponorogo, dan Semarang yang terdiri dari ribuan anggota. Anggota inti SI adalah golongan pedagang, kaum agamawan, dan kebanyakan rakyat.
Keangotaan SI yang begitu massif ini sangat mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, karena pidato Tjokroaminoto dalam setiap pertemuannya selalu membakar semangat massa. Sehingga sering terjadi kerusuhan sosial. Tercatat banyak terjadinya kerusuhan sosial yang ditimbulkan dari sikap fanatic dan radikal pengikut SI, sepert pemogokan buruh, penyerangan, pembakaran dan insiden pembunuhan terhadap golongan Cina dan Eropa.
Walaupun adanya banyak hambatan dalam perkembangan SI, SI tetap berkembang pesat, ada beberapa faktor yaitu :
1.      Pemakaian nama Islam untuk organisasiini cukup membuat penduduk yang mayoritas muslim merasa harus mendukung Serikat Islam.
2.      Serikat Islam merupakan organisasi masyarakat pribumi yang menganut paham sama rata sama rasa . dalam paham ini SI tidak membeda-bedakan status sosial.
3.      Adanya sikap anti Cina dan anticolonial Eropayang secara tidak langsung dimiliki SI dan kemudian ditiup untuk menarik anggota baru.
4.      Adanya harapan millenaristis dan messianistis didalamnya.
Sejak berganti nama  PSI berusaha menjalankan politik hijrah semacam politik non-kooperasi yang berarti menolak sama sekali kerjasama dengan pemerintah. Tokoh PSI mengajak Muhammadiyah untuk menolak subsidi yang diberikan pemerintah Belanda bagi sekolah Muhammadiyah, akan tetapi usulan itu ditolak karena bagi Muhammadiyah subsidi itu berasal dari uang umat islam yang diambil Belanda sehingga harus dimanfaatkan kembali untuk pendidikan umat Islam.
Hubungan SI dan Muhammadiyah pun semakin merenggang. Pertentangan semakin meruncing dengan adanya kritik PSI kepada Muhammadiyah yaitu :
1.      Muhammadiyah lebih takut kepada presiden daripada kepada Allah SWT
2.      Muhammadiyah lari dari politik dan tidak mau melawan penjajah
3.       Muhammadiyah melakukan hal yang haram dengan meminjam uang dengan bunga.
4.      Keislamana Muhammadiyah mulai dipertanyakan karena sikapnya yang non-politik dan tidak berjuangmelawan penjajah yang kafir.
Tahun 1926, PSI mengintruksikan anggotanya untuk meninggalkan Muhammdiyah atau anggota akan dikeluarkan dari PSI jika tidak menaati disiplin. Namun ternyata tindakan itu merugikan PSI sendiri sebab banyak anggota yang justru memilih Muhammadiyah dan meninggal PSI. mulai saat itu PSI mengalami kemunduran yang disebabkan beberapa hal :
1.      Anggota Muhammadiyah tidak lagi menjadi anggota PSI.
2.      Timbulnya partai politiklain yang lebh menarik hati rakyat, yaitu Partai Nasional Indonesia.
3.      Politik hijrah yang dijalankan PSI semakin diawasi oleh Belanda
Sekali lagi pada tahun 1929 PSI berganti nama lagi menjadi Partai SerikatIslam Indonesia ( PSII). Namun perpecahan terus menerus terjadi pada PSII menyebabkan partai ini semakin ditinggalkan sebagian umat besar Islam[12]

DAFTAR PUSAKA
Al-Hafni, Abdul Mun’im, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ).
Hasan, Muhammad Thalhah, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, ( Jakarta :  Lantaroba Press, 2005) .
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,  1982 ).
Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 ).
Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Departemen Agama RI,  2005 )
Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana,  2007 )

[1] Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ), hal 914-917.
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, ( Jakarta :  Lantaroba Press, 2005) , hal 11.
[3] Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ), hal 914-917
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana 2007 ), hal 322.
[5] Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 )
[6] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia : 1982 ), hal 84.
[7] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana 2007)
[8] Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Departemen Agama RI : 2005 ), Hal 70-73.
[9] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia : 1982 ), hal 95.
[10] Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Departemen Agama RI : 2005 ), Hal 70-73.

[11] Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999
[12] Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 )!

Kamis, 20 Juli 2017

SENI DALAM KEPEMIMPINAN



SENI DALAM KEPEMIMPINAN

Banyak pemimpin masa kini yang mengeluh tentang sulitnya mengatur orang-orang yang mereka pimpin. Para bawahan ibarat binatang liar yang sulit untuk dijinakkan. Apapun posisi Anda, entah kepala toko, manajer sampai direktur, Anda dituntut untuk menundukkan orang-orang itu.
Apakah memang benar anak buah kita adalah tipe orang-orang yang susah untuk diajak kerjasama dan tidak mengerti apa kemauan kita? Ataukah kita sendiri yang tidak pernah berkaca dan introspeksi diri? Berikut ini adalah beberapa tips untuk menjadi pemimpin yang mudah mempengaruhi orang-orang di sekitar Anda :
A.   Mengelola Emosi
Bayangkan jika Anda adalah seorang bawahan. Ada seorang atasan Anda yang mempunyai tipe kepemimpinan ala diktator. Ia sering mengkritik dan menyalahkan bawahan. Suka menyerang secara pribadi yang tidak ada kaitannya dengan masalah pekerjaan. Lalu ada lagi seorang atasan Anda yang mau mengerti tentang kesulitan Anda. Ia memotivasi Anda untuk bersabar, lalu meyakinkan Anda bahwa akan selalu ada solusi untuk keluar dari masalah.
Kira-kira pemimpin mana yang akan anda ikuti sarannya? Ya. Saya juga punya jawaban yang sama. Kita semua cenderung mengikuti saran dari orang-orang yang berempati atas permasalahan yang sedang kita hadapi. Ia mempunyai semacam magnet yang membuat kita ingin selalu dekat. Kita sering meminta saran padanya saat terjadi hambatan dalam pekerjaan karena dialah yang membuat kita merasa nyaman untuk menyampaikan segala macam permasalahan.
Sebagai pemimpin, kita harus menyampaikan dengan baik maksud dan tujuan kita pada bawahan. Dan emosi adalah kunci untuk memuluskan langkah itu. Ketidakcakapan pemimpin dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuannya dapat berakibat fatal. Para bawahan bisa jengkel dan marah hanya karena bos mereka tidak sedikit pun menunjukkan rasa simpatinya. Celakanya, jika hal ini terus terjadi, sang pemimpin akan kehilangan wibawanya di mata anak buah. Mereka akan memberontak atau lebih memilih mundur, lalu mencari perusahaan dan bos yang lebih respek atas kinerja mereka.
Emosi memainkan peranan penting tidak hanya dalam kehidupan pribadi, namun juga dalam dunia kerja. Saat terjadi masalah dalam perusahaan, respon pertama bawahan adalah melihat reaksi pemimpinnya. Reaksi ini adalah tanda atau sinyal emosi yang sedang dirasakan sang bos. Dan emosi ini akan menyebar dari bawahan yang satu ke yang lain. Artinya, jika emosi positif yang coba ditunjukkan pemimpin pada saat terjadi krisis, para bawahan pun tidak akan gampang menyerah dan tetap optimis dengan segala kemungkinan. Sebaliknya apabila emosi negatif yang keluar dari raut wajah dan sikapnya, anak buah pun akan menjadi cemas dan panik. Emosi bagai virus yang dapat menular dan menyebar.
Pemahaman yang selalu disadari oleh para pemimpin besar adalah mereka tidak hanya memimpin sekelompok orang secara fisik, jasmani atau tubuhnya. Tapi mereka juga mendorong jiwa dan perasaan orang-orang ini ke arah yang lebih baik. Itu semua harus dimulai dari diri sendiri. Untuk menyebarkan emosi positif, pemimpin terlebih dahulu harus memelihara benih emosi di dalam dirinya.Caranya dengan menanamkan sikap optimisme, selalu berpikiran positif, tampil penuh percaya diri, dan terus berinisiatif. Tidak masuk akal jika berharap gelombang positif akan dipancarkan dari pribadi yang memiliki sikap temperamental, pesimis dan mudah putus asa.

B.   Gunakan Humor
Humor mampu memecah ketegangan. Anda tidak perlu menjadi pelawak untuk membuat orang lain tertawa atau paling tidak tersenyum. Cukup dengan melontarkan candaan ringan. Tapi humor yang dimaksud di sini bukan jenis humor yang biasa kita tonton di TV yang sering melecehkan dan membanding-bandingkan fisik seseorang. Humor yang bermanfaat disini adalah lelucon yang ringan dan segar yang dapat dinikmati semua orang tanpa menyinggung SARA. Contohnya seperti, “Wah..sudah jam istirahat nih, pantesan perut saya dari tadi teriak-teriak minta diisi”
Humor yang dilontarkan pada waktu yang tepat dapt mengubah susana kerja jadi lebih menyenangkan. Orang akan cenderung bekerja maksimal saat mereka merasa senang. Tapi tentu saja tidak efektif untuk selalu malakukan candaan. Tidak disarankan melontarkan humor melebihi waktu yang diperlukan. Terlalu banyak bercanda juga tidak bagus. Hal itu dapat membuat pekerjaan menjadi tidak fokus.
Humor sering dimanfaatkan oleh sebagian besar pemimpin untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan bawahan. Humor ini efektif untuk meredam ketegangan yang sering muncul di tempat kerja. Suasana kerja yang menyenangkan selalu mendukung para pekerja untuk saling berbagi ide dan bersama-sama menyelesaikan tugas. Sedangkan tempat kerja yang tidak pernah diisi dengan candaan atau joke-joke ringan lebih sering membuat para pekerja stres dan menciptakan lingkungan kerja yang membosankan.

C.   Menjalin Silaturahmi
Sudah seharusnya kekompakan tim tidak hanya dijalin di dalam perusahaan, tapi juga diluar lingkungan kerja. Apabila mendengar kabar bahwa ada seorang karyawan yang sedang sakit dan harus dirawat dirumah sakit, pemimpin yang cerdas secara emosi pasti akan menjadi yang pertama menjenguk si karyawan. Dengan begitu, pemimpin telah menunjukkan ketulusan dan perhatiannya pada bawahan. Efeknya juga akan menyebar pada bawahan yang lain. Mereka akan merasa nyaman memiliki bos yang punya sikap empati.
Tidak ada salahnya bos sesekali menanyakan kabar keluarga anak buahnya. Dan berharap suatu saat mereka bisa saling berkenalan. Kedekatan semacam ini membentuk jalinan positif yang membuat bawahan merasa diperhatikan. Mereka bekerja untuk menghidupi keluarga mereka, dan apabila pemimpin mau memotong jarak antara bos dengan anak buah, maka karyawan akan merasakan kenyamanan saat bekerja. Dan ini akan berimbas pada kinerja yang maksimal dan produktif.

Rabu, 12 Juli 2017

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

Tugas : RESUM
Kamis, 13 Juli 2017

Pendahuluan
Gerakan dan pemikiran pembaruan keagamaan senantiasa menjadi bagian penting dari tradisi Islam sepanjang sejarah perkembangannya. Para pelopor pembaruan hadir untuk merenovasi kepercayaan, pengetahuan, maupun praktek keberagamaan masyarakat Muslim. Sekalipun kaum ortodoks tidak mengakui hadirnya figur profetik pasca Nabi Muhammad SAW, mayoritas masyarakat Muslim meyakini, bahwa pada setiap episode sejarah dan kawasan dunia Islam yang berbeda, para pembaharu tampil untuk melawan status quo dan menginisiasi perubahan. Misalnya, pada abad 17-19 M, muncul beberapa tokoh dan gerakan pembaruan di dunia Islam, yang berdasarkan setting kemunculan dan orientasi gerakannya dapat dibedakan ke dalam tiga episode.
Pertama, Shah Waliullah di India, Ahmad bin Abdul Wahhab di Saudi Arabia, dan Muhammad bin Ali al Sanusi di Afrika Utara. Pada masa ini, para tokoh dan gerakan pembaruan mengemuka berkaitan dengan tekanan atau lingkungan internal (Khalid, 2009: 240), dan sedikit bersentuhan dengan dampak dari perkembangan peradaban Barat. Kehadiran mereka adalah dalam rangka menentang praktek taqlid (blind imitation) dan fanatisme mazhab (taqdis al afkar al diniy), karena keduanya dipandang telah meng-akibatkan keretakan dalam komunitas Muslim (Saeed, 2006: 129).
Kedua, seiring dengan meningkatnya penetrasi koloni Eropa ke dunia Islam, muncul beberapa gerakan jihad (jihadiy movements) pada abad ke-19, sebagai aspek kunci dari pembaruan Islam. Misalnya, sebagai respons terhadap kolonisasi Inggris di anak benua India, para ulama mendeklarasikan, bahwa India tidak bisa lagi disebut dengan “abode of Islam” (dar al Islam), tetapi sebagai “abode of war” (dar al harb). Pada awal tahun 1800an, Hajji Shariatullah manyatakan bahwa India adalah kawasan perang dan menyerukan jihad melawan koloni Inggris di Bengal. Begitu juga di Afrika Barat, Syekh Usman bin Fudi (w. 1817), yang lebih dikenal sebagai Shehu Usman dan Fodio, bersama putrinya (seorang sastrawan dan pendidik ternama) Nana Asmau (w. 1864), telah berhasil memulai jihad dan membangun kekhalifahan Sokoto, sebuah kekuatan Islam terbesar di Afrika pada abad ke-19 (Saeed, 2006: 134). Dua ilustrasi aspek pembaruan di bidang militer ini penting, sebagai suatu pandangan yang juga turut membentuk bagian signifikan dari pemahaman terhadap agenda anti-kolonialisme masyarakat Muslim pada abad ke-20.
Ketiga, bersamaan dengan kedatangan era modern (abad ke-19 dan seterusnya), tradisi pembaruan keagamaan berlanjut secara lebih intensif dari pada era sebelumnya. Suatu era yang mengumumkan konfrontasi militer dan politik dari kekuatan-kekuatan Barat dengan dunia Islam, dimana masyarakat Muslim mengalami kekalahan (Boyd, 2001: 7-22). Modernisme masyarakat Muslim yang terjadi pada era ini sebagiannya merupakan kelanjutan dari gerakan pembaruan abad 18-19M, dan sebagian yang lain adalah suatu cara untuk menjawab tantangan yang ditunjukkan oleh kemodernan Barat ketika masih tersisa sekepal keyakinan terhadap dasar-dasar keagamaan. Beberapa pembaharu Muslim yang berusaha memberikan renspons yang sepadan dengan tingkat tantangan dari modernitas Barat itu, misalnya, Jamaluddin al Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh (1905) di dunia Arab, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) dan Muhammad Iqbal (w. 1938) di anak benua India, serta sejumlah pemikir dari Turki Usmani, seperti Namik Kemal (w. 1888).
Pada penggalan ini, reformasi atau pembaruan merupakan tema sentral (key theme) bagi kaum modernis. Jamaluddin al Afghani, misalnya, berargumentasi bahwa masyarakat Muslim harus melakukan gerakan reformasi sebagaimana peran penting tersebut dimainkan oleh masyarakat Kristen Eropa. Konteks modern tersebut menuntut sebuah penghargaan kembali atas warisan budaya intelektual Muslim, termasuk karya-karya para ulama generasi awal. Gagasan kunci yang lain dari kaum modernis adalah kembali pada Islam murni (return to the pristine Islam) generasi Muslim paling awal (salaf), revitalisasi tradisi intelektual Islam, interpretasi atau reinterpretasi tradisi dan sumber-sumbernya untuk menjawab tantangan yang diajukan oleh era modern, sehingga di sini diperlukan sistem teologi baru (Khalid, 2009: 241), yang tidak lagi mendikotomikan antara akal dan wahyu, masyarakat Muslim harus membangun semua usahanya untuk mempelajari Barat, termasuk pengetahuan ilmiah dan teknologi, serta memperbarui lembaga-lembaga pendidikan dan kurikulumnya.
Pasca Modernisme: TrendBaru Pemikiran Islam Indonesia Pembaruan pemikiran Islam yang diintrodusir pada abad 17-19 M. di atas dapat ditemukan pengaruhnya di Indonesia sejak permulaan abad ke-20 melalui kehadiran Muhammadiyah dan Persatuan Islam, yang menjadikan purifikasi atau pemurnian akidah sebagai tema sentral gerakan mereka. Sebagaimana pemikiran pembaruan Ahmad bin Abdul Wahhab dan Muhammad Abduh, episode awal sejarah modernisme Islam Indonesia juga dicirikan oleh semangat untuk keluar dari ikatan-ikatan kaum ortodoks dengan mengedepankan ijtihad dari pada taqlid, menekankan pentingnya qiyas agar dapat merebut semangat hukum yang tersimpan dalam tulisan hukum; dan memilih mengurangi ketergantungan pada Hadis demi mendahulukan al Quran dan Sunnah Nabi (Barton, 1999: 45).
Visi modernitas yang diajukan oleh Muhammadiyah dan Persis tersebut selama hampir satu setengah dekade melahirkan ketegangan dengan kelompok konservatif, yang terdiri dari para kiai pesantren. Kelompok kiai tradisional ini beranggapan bahwa ijtihad yang terkait masalah-masalah fundamental dalam hukum adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan. Mereka berpendapat bahwa para ulama klasik pendiri empat madzhab memiliki keahlian yang belum tertandingi sejak abad kesepuluh, sehingga kebenarannya di bidang hukum Islam tidak perlu diragukan. Dengan alasan inilah para ulama tradisionalis memperlakukan taqlid terhadap prinsip-prinsip hukum yang diajukan para imam mazhab. Perseteruan ini pada saatnya mendorong para kiai untuk membentuk suatu organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada tahun 1926 sebagai puncak dari reaksi kaum konser-vatif terhadap gerakan modernis Muhammadiyah (Ayu, 2008: 27).
Sampai paroh kedua abad ke-20, gerakan modernisme di Indonesia ditandai dengan ketegangan teologis dan bahkan berkembang ke arah politis antara Muhammadiyah dan NU, sehingga sebagaimana terjadi pada dunia Islam yang lain, gerakan pembaruan Islam Indonesia pada akhirnya juga mengambil corak yang cukup kuat dalam bidang politik. Sekalipun ketegangan Muhammadiyah dan NU bukan refleksi sepenuhnya dari sikap anti terhadap Barat. Modernisasi di Indonesia ini memiliki kemiripan dengan Iran pasca revolusi, dimana para intelektual terpolarisasi ke dalam dua spektrum, yaitu mereka yang mengamini narasi modernitas Barat dengan persepsi keberagamaan masyarakat yang anti Barat. Melihat kondisi tersebut, Michel Foucoult mengajukan pertanyaan yang agak sarkastis “apa sebenarnya yang sedang terjadi di Iran (dan Indonesia, pen.), dimana kebanyakan orang, yang berada pada haluan kiri maupun kanan tampak agak mengalami iritasi?” (Lawrence, 1988: 224).
Kondisi seperti inilah barangkali yang mendorong intelektual Muslim, seperti Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdur Rahman Wahid, untuk melakukan eksplorasi tentang genealogi intelektual Muslim secara serius dalam memaknai dan mengisi kemodernan. Apakah modernitas merupakan totalitas ideologi semata yang- tidak dapat diingkari--berakar pada pengalaman moral dan budaya Eropa, dan menghindari pemahaman terhadap budaya lain? Ataukah modernitas dimaknai sebagai model pengalaman sosial dan budaya saat ini yang terbuka terhadap semua bentuk pengalaman dan kemungkinan kontemporer? (Berman, 1988:23) Disinilah, para intelektual Muslim Indonesia dihadapkan pada suatu dilema pembaruan, bagaimana merekonsiliasi ketegangan antara harapan atau janji modernitas mengenai keterbukaan dan kesederajatan dengan narasi Eurosentris tentang modernisasi, yang menutup kemungkinan terhadap segenap realitas pengalaman “lokal” dan kontribusi mereka bagi realisasi kemodernan (Appadurai, 1996: 5).
Para intelektual muslim pasca modernisme atau, meminjam istilah Fazlur Rahman, neomodernisme, lebih concern dengan pemahaman terhadap esensi dari pada bentuk ajaran-ajaran Islam. Misalnya, mereka lebih tertarik dengan apakah kaum perempuan Muslim memiliki kepastian hidup yang produktif dari pada sudah atau tidaknya mereka memakai hijab (headscarf). Mereka yang tergabung dalam kelompok neo-modernis, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Shahrur, Muhammad Abid al Jabari, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Abdul Karim Soroush, juga mempercayai bahwa perubahan sosial sekarang ini harus direfleksikan dalam melakukan interpretasi terhadap teks-teks dasar Islam. Lebih dari itu, mereka juga menegaskan kebutuhan atas penyegaran ijtihad dengan menerapkan metodologi baru untuk melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks suci dalam menyelesaikan isu-isu sosial dan moral kontemporer (Eickelman, 2003: 205). Kalangan neomodernis tersebut juga menegaskan bahwa masalah-masalah sosial dan ekonomi harus lebih dijadikan sebagai prioritas bagi masyarakat Muslim ketimbang kekuatan politik. Mereka tidak memusuhi Barat maupun pengaruh-pengaruh luar yang lain dan lebih berselera untuk mengakui minat dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok sekuler yang sah.
Gagasan-gagasan kelompok neomodernis tersebut memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan pemikiran Islam pada akhir abad ke-20 di Indonesia. Pada tahun awal 1970an, setelah kedatangan Nurcholish Madjid dari studinya di Chicago dan Abdur Rahman Wahid dari Kairo, generasi baru intelektual dari kalangan terpelajar Muslim pada dekade ini mulai menunjukkan kecenderungan pemikiran yang lebih dinamis dan progresif dalam memandang agama. Penampilan mereka berbeda secara signifikan dari generasi Muslim awal era modern, yang lebih mengapresiasi pemahaman keislaman berdasarkan pendekatan-pendekatan kritis dan historis. Suasana pembaruan Islam Indonesia pada gelombang kedua ini secara menarik dinarasikan (Martin dan Woodward, 1997:148) sebagai berikut:
Indonesian Muslim intellectuals are increasingly concerned with the questions of the proper role of Islam in national development and how Islamic values can be reconciled with Western rationalism, rather than with the nature of an Islamic state...What distinguishes thinkers associated with this movement from earlier modernists is the combination of empirical and historical approaches  they employ in formulating a vision of an Islamic society.
Ide-ide Nurcholish Madjid, yang diklasifikasikan oleh Barton ke dalam tiga tema besar, yaitu mengenai pembaruan pemikiran Islam, Islam dan masyarakat modern industrial, serta Islam dan hubungan antara iman dan ilmu, menghubungkan generasi muda intelektual berikutnya dengan pemikiran neomodernis Pakistani Amerika, Fazlur Rahman. Islamic Methodology in History yang diterbitkan Rahman pada tahun 1965, sebagai pendekatan baru dalam memahami Islam dan modernitas, misalnya, menginformasikan bahwa aturan-aturan hukum di dalam al Quran hanya dapat dipahami dan diperluas pada situasi modern dengan menempatkannya dalam konteks sejarah. Rahman menerapkan metodologi ini untuk menganalisa ayat-ayat al Quran tentang status kesaksian hukum perempuan, usia perkawinan, poligami, dan perceraian (Khalid, 2009: 252).
Fazlur Rahman mendefinisikan modernitas dengan mengacu pada kekuatan-kekuatan spesifik yang dibangkitkan dan dipertanggungjawabkan untuk ekspansi intelektual dan sosio ekonomik Barat modern. Dia menegaskan bahwa, meskipun dampak dari Barat tidak dapat dihindari, modernisme Islam tidak dapat dimengerti secara tepat, kecuali dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaruan pada abad ke-18. Modernisme Islam, dalam pandangan anggota Dewan Ideologi Islam Pakistan (Pakistan’s Council Islamic Ideology) tersebut, adalah suatu usaha secara terus menerus untuk menegaskan pemeliharaan agama atas semua aspek kehidupan. Dia menolak anggapan kaum modernis sekuler yang membagi kehidupan ke dalam dua bagian, yakni keagamaan dan sekuler. Bagi Rahman, pembagian tersebut hanya bersifat aksidental, karena Islam belum tentu berpangkal pada negara berpenduduk Muslim, Islam hanya dapat diterapkan pada ruang keagamaan yang sempit, seperti hukum-hukum personal (Rahman, 1969: 248-262).
Rahman tidak sependapat tentang sekularisme tersebut, ketika kaum modernis sekuler memahaminya sebagai fase puncak dari modernisasi. Dia menjelaskan bahwa kehadiran sekularisme di tengah masyarakat Muslim itu bersifat sementara disebabkan oleh rigiditas ulama konservatif. Selain itu dia juga bermaksud meminta tanggung jawab kaum modernis Islam atas literatur apologetic kontroversial yang sentimental terhadap peradaban Islam dan menciptakan rintangan menentang perkembangan modern yang lebih jauh lagi. Bagi (Rahman, 1969:252), sekularisme secara esensial bukan merupakan kesatuan kekuatan dalam masyarakat Muslim:
Unless secularism can be made into an effective force for positive progress, the only way for these (Muslim) countries seems to be to accept religion as the basis of the state and to find within their religions not only adequate safeguards but formulas of genuine equality for minorities with the majority communities. Otherwise sooner or later, but probably in the predictable future these countries would break up into racial and linguistic units on the pattern of Europe.
Tidak jauh berbeda dari penolakan Rahman terhadap sekularisme, Nurcholish Madjid juga memandang sekularisme sebagai suatu proses yang secara esensial dicela dan bahkan ditolak oleh Islam. Nurcholish membedakan dengan tegas antara sekularisme dengan sekularisasi, jika yang pertama sebagai penegasian Tuhan dalam kehidupan jelas tidak memiliki pijakan ajaran dalam Islam, maka yang kedua justru sebaliknya. Menurut Nurcholish, Islam menerapkan sekularisasi, bahkan bertalian dengan ajarannya yang paling fundamental, yaitu tauhid (Nurcholish, 1987: 222). Bagi Nurcholish, kalimah syahadah merupakan suatu bentuk pengakuan atau penegasan tentang hanya ada “Satu Yang Suci” yang harus diyakini, sedangkan segala sesuatu selainNya (ma siwa Allah) harus didesakralisasikan atau diturunkan ke ranah duniawi (seculum). Inilah makna sekularisasi yang dikehendaki oleh Nurcholish, sebagai bentuk pemurnian ajaran Islam dari segala praktik takhayul maupun penghambaan terhadap segala sesuatu selain Allah.
Adapun Abdur Rahman Wahid sekalipun tidak ditemukan secara khusus pandangannya mengenai sekularisasi pada era itu, tetapi generasi muda utama pesantren ini juga tidak membenarkan sekularisme bagi dunia Islam. Gus Dur melalui tulisannya di Jurnal Prisma tahun 1978 “Penafsiran Kembali Ajaran Agama di Pedesaan Jawa” dengan tegas mengkritik pandangan pejorative terhadap agama, bahwa agama merupakan elemen sosial paling sulit untuk berubah, atau perubahannya dinilai selalu tertinggal oleh masyarakatnya (Wahid, 1981: 56-57). Baginya, justru agama dalam setting sejarah Indonesia kerap tampil sebagai agen perubahan itu sendiri. Selain memberikan contoh kontribusi Calvinisme dan ajaran Mahatma Gandhi tentang Satyagraha sebagai agen perubahan sosial, Gus Dur juga mengemukakan tengara Snouck Hurgronje mengenai dinamika yang tersembunyi dari kajian terhadap kitab-kitab klasik abad pertengahan Islam bagi perubahan fundamental komunitas Muslim Indonesia. Kesalahan dalam memahami posisi agama dalam proses perubahan masyarakat selama ini, menurut Gus Dur, tidak terlepas dari pengaruh teori fungsionalis yang terlalu menekankan pada aspek perpaduan dan penyatuan dari ajaran agama, sehingga melupakan dimensinya yang bersifat transformatif (Wahid, 1981: 56-57).
Dari kedua ilustrasi pemikiran Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid tersebut dengan jelas dapat dilihat adanya pergeseran pemikiran yang linier dengan perkembangan pemikiran pembaruan Islam, yang dibawa oleh kelompok Muslim modernis "generasi kedua" di Barat maupun Timur Tengah di atas. Kecenderungan pembaruan pemikiran Islam Indonesia ke arah modernisasi babak baru, seperti dikemukakan oleh Richard Martin dan Mark Woodward di atas, karena penerapan metodologi baru yang lebih kritis dan menempatkan agama dalam konteks historis untuk memformulasikan jawaban atas masalah-masalah kemodernan dan kemasyarakatan. Hasil penelitian Karel Steenbrink, sarjana Belanda yang pernah menjadi dosen tamu di IAIN Yogyakarta, menunjukkan bahwa, pengaruh penerapan metodologi baru yang diinisiasi oleh kalangan neo-modernis tersebut membawa pada dinamika pemikiran keislaman yang signifikan di PTAIN (Steenbrink, 1998: 156-157) dari sejak akhir 1970an hingga sekarang. Terutama setelah dibukanya program pascasarjana di lingkungan IAIN pada tahun 1982, di bawah kepemimpinan Harun Nasution, transformasi pemikiran keislaman di Indonesia semakin menemukan momentumnya yang tepat.
Hasil penelitian Steenbrink tersebut juga diperkuat oleh pengamatan Eickelman, bahwa kombinasi pendidikan masa dan komunikasi-komunikasi masa merupakan faktor penting yang telah mentransformasikan dunia berpenduduk mayoritas Muslim, yang terbentang dari Afrika Utara melalui Asia Tengah, anak Benua India, dan kepulauan Indonesia (Eickelman, 2003:203). Dalam jumlah besar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, keyakinan agama di kota-kota besar yang tersebar luas di seluruh dunia, apakah di Istambul, kota-kota pinggiran di Paris, di oase-oase pegunungan bagian dalam Oman yang jauh sedang menguji dan memperdebatkan fundamental kepercayaan dan praktek-praktek keberagamaan Muslim dengan menggunakan caracara dan metodologi dimana para pendahulu mereka kurang memiliki kesadaran-diri dalam hal membincang masalah-masalah keyakinan tersebut.
Isu Demokrasi dan Pluralisme dalam Negosiasi Modernitas
Manakala modernitas didefinisikan sebagai kemunculan jenisjenis baru ruang publik, termasuk jenis-jenis yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh generasi terdahulu, maka perkembangan terkini di Prancis, Turki, Iran, Indonesia, dan dimana saja mengingatkan bahwa kita semua sedang hidup dalam suatu era dari transformasi sosial yang sangat besar bagi dunia berpenduduk mayoritas Muslim. Hal yang sangat jelas dari era modern ini adalah perdebatan mengenai tradisi Muslim yang melibatkan masyarakat dalam skala besar. Peristiwa 9 November yang memporandakan WTC di Amerika Serikat telah melahirkan intensifikasi seruan bagi reformasi Islam, untuk memperkuat relevansinya terhadap perubahan dunia abad ke-21 yang sangat cepat. Jika sebagian kalangan masih mengatakan bahwa Islam merupakan agama sempurna yang tidak memerlukan perubahan dan adaptasi, maka yang lainnya menegaskan bahwa Islam adalah bagian dari dinamika zaman yang melekat, sehingga reinterpretasi dan reformasi merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perjuangan merespons kebutuhan era ini, seperti menepikan terorisme, mempromosikan keadilan gender (gender equity), pluralisme keagamaan, dan hak asasi manusia (Esposito, 2010: 89).
Situasi dan kebutuhan kontemporer masyarakat dunia tersebut jelas memerlukan kesadaran untuk mengerti dan memahami tradisi Muslim yang lain maupun non Muslim. Kemajuan-kemajuan dalam teknologi media, pendidikan massa, dan komunikasi masa pada dunia modern telah memfasilitasi sebuah kesadaran mengenai yang baru dan tidak konvensional. Dalam perubahan style dan skala dari berbagai kemungkinan wacana, aspek-aspek kekinian itu mengkonfigurasikan kembali sifat pemikiran dan tindakan keagamaan, menciptakan bentukbentuk baru dari ruang publik, dan mendorong perbincangan yang melampaui makna-makna.
Pendidikan massa dan komunikasi massa merupakan fenomena yang sangat penting dari agama-agama dunia kontemporer. Namun, akibat yang maksimum dari pendidikan massa, khususnya pendidikan tinggi, mulai banyak dirasakan hanya di dunia Muslim sejak pertengahan abad ke-20. Pada beberapa negara sedang berkembang, termasuk Maroko, Mesir, Turki, dan Indonesia, peluang-peluang pendidikan tersebut meluas secara dramatis di hampir semua level. Bahkan dimana rata-rata remaja buta huruf yang masih tinggi di beberapa penduduk, seperti Mesir dan Maroko, sekarang ini masa kritis dari kalangan terdidik mereka mulai dapat membaca, berpikir mengenai diri mereka sendiri, dan bereaksi terhadap pemegang otoritas politik dan keagamaan ketimbang sekedar mendengarkan perbincangan mereka. Akses kaum perempuan sekalipun masih selangkah di belakang kaum laki-laki, tetapi kesenjangan tersebut dengan cepat mulai tertutup di beberapa Negara (Eickelman, 2003: 204).
Apabila fenomena-fenomena kontemporer, mulai dari kemajuan teknologi media, pendidikan massa, komunikasi massa, hingga ekstrimisme dan terorisme agama atas nama Tuhan, telah menjadi bagian dari dunia Islam. Lantas siapakah para pembaharu Muslim itu dan dimana mereka saat ini, apakah mereka telah mereformulasi gagasan dan pemikiran yang sanggup memenuhi tantangan kekinian tersebut, ataukah justru sedang sibuk mempertahankan self identity sebagai bagian dari kolektifitas keagamaan kecil mereka sendiri?
Mustofa Ceric seorang mufti besar Serbia Herzegovina, jika terdapat beberapa pemimpin keagamaan dan aktivis Islam hari ini menyerukan pembentukan nagara Islam dan mengutuk demokrasi, maka Ceric justru menegaskan bahwa demokrasi adalah keuntungan terbesar yang disajikan dari pembentukan negara-negara modern. Sebagai orang eropa yang dilahirkan pada saat pembentukan Serbia Herzegovina, dan dididik dalam setting pendidikan Arab dan Barat, Ceric merupakan pemimpin keagamaan Muslim, namun juga memiliki skill sebagai seorang politisi. Dia adalah figur luar biasa yang memiliki kelengkapan untuk menjembatani dunia Muslim dengan Barat, dan di antara Muslim Eropa yang majemuk, baik dari segi latar belakang ras, etnis, bahasa, agama, dan budaya. Ceric mencapai gelar sarjana mudanya (B.A.) dari departemen Teologi Universitas al Azhar Mesir, perguruan tinggi yang disebut juga oleh orang-orang Arab sebagai Vatican dunia Muslim, dan gelar Ph.D di bidang Islamic Studies digapainya dari University of Chicago. Sebagaimana pembaharu Indonesia, Nurcholish Madjid, dosen pembimbing Ceric adalah Fazlur Rahman, yang telah melahirkan para generasi pembaharu Muslim, termasuk Amina Wadud, seorang feminis Muslim, sarjana al Quran dan Islamic Studies, yang memecahkan tradisi Islam selama berabad-abad bahwa hanya kaum laki-laki yang boleh memipim shalat berjamaah Jumat. Amina memperoleh kesempatan menjadi imam shalat Jumat di Masjid New York City, pada tanggal 18 Maret 2005 dengan ratusan jamaah laki-laki dan perempuan (Esposito, 2010: 121).
Sebagai seorang yang sangat mempercayai teori kontrak sosial Rousseau, Ceric menekankan pentingnya empat hak-hak dasar, yaitu pemeliharaan terhadap kehidupan, agama, kepemilikan, dan martabat (Azam, 2005:15). Namun, ketika mempercayai peradaban Barat, khususnya Eropa, untuk mendirikan sistem hukum demokrasi, Ceric meminta dengan tegas kepada umat Islam untuk tidak menjadi Barat eksklusif, membendung dari nilai-nilai Barat yang inherent, karena nilainilai yang sekarang juga diterima oleh orang lain diklaim sebagai Barat.
Ceric berbagi sentimen umum dengan beberapa bagian dunia Muslim, bahwa sekalipun Barat mendukung demokratisasi, ia telah gagal untuk menerapkan konsep serupa di dunia Muslim. Dukungan Barat terhadap rezim-rezim Muslim otoritarian, penyamaan kemapanan politik dengan stabilitas dan keamanan, dan ketakutan terhadap Islam merefleksikan standar ganda: “Apa yang terjadi sekarang?” Ceric menjawab, “sebenarnya ini merepresentasikan krisis peradaban Barat, yang mana Barat sungguh-sungguh tidak menginginkan berbagai nilainilai tersebut dengan yang lain” (Erich, 2004: 46).
Belajar dari pengalaman masyarakat Bosnia Herzegovina yang multirelijius, Ceric menganjurkan sebuah konsep demokrasi yang menemani kebijakan pluralisme keagamaan dan menolak berbagai bentuk dukungan terhadap “clash” sebagai berikut:
We don’t believe in the clashes of civilizations, we don’t believe in the clashes of religions, we believe in the clashes of civilization and noncivilization. We believe in clashes between religion and nonreligion, we believe in the clashes between good and evil, because it happens all the time.
Ceric mencela Muslim yang menentang kemajemukan budaya, pluralitas agama, dan keanekaragaman kehidupan bangsa. Pandangannya ini dia sandarkan pada pernyataan al Quran, “apabila Tuhan berkehendak, maka Dia dapat menciptakan kamu menjadi satu bangsa, tetapi Dia menginginkan kamu tetap sebagai bangsa yang berbeda-beda”.
Menurut Esposito, pandangan Nurcholish Madjid, sebagai tokoh demokrasi, merefleksikan pengalaman personalnya sebagai aktivis Islam pada suatu negara paling padat dengan penduduk Muslim. Sekalipun pada usia mudanya, Nurcholish adalah pemimpin aktivis mahasiswa, pengalamannya sebagai penentang rezim Soekarno dan Soeharto, meyakinkan dirinya sia-sia menentang kekuasaan negara. Lebih dari itu, perkelahian dan ketidakmampuan partai-partai politik Islam untuk saling bekerja sama telah mendorong Nurcholish menutup peluang percampuran agama dan negara adalah langkah yang kontraproduktif, sebagaimana sikap tersebut tertuang dalam slogannya yang popular, “Islam yes, partai Islam no” (Esposito, 2010: 109).
Penegasan bahwa tidak ada dasar-dasar al Quran bagi pendirian negara Islam, Nurcholish mengingatkan bahwa konstruksi negara Islam modern itu mereduksi Islam ke tataran ideologi yang profan, sehingga mudah dimanipulasi bagi siapa pun yang ingin mengangkat pandangan mereka sendiri atas nama agama. Dalam kasus ini, Nurcholish menyamakannya dosa syirik atau politeisme, dosa terbesar dalam konsepsi ajaran Islam. Atas dasar itu, penulis buku Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ini juga menolak usulan para Islamis modern untuk mengangkat syariah sebagai pedoman hukum demi menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih islami. Justru Nurcholish menegaskan, bahwa kebenaran spiritualitas dan religiusitas timbul melalui transformasi dari dalam (diri maupun bangsa). Dari pada mengangkat hukum Islam, jalur kultural dan spiritual lebih dibutuhkan dalam membangun kekuatan etika masyarakat Indonesia. Pengertian utama yang dikehendaki dari kedua jalur yang terkahir tersebut adalah jalur pendidikan, untuk mentransformasikan individu dan masyarakat, dan dialog terbuka, untuk menciptakan hubungan-hubungan antara Muslim dengan komunitas agama lain, begitu juga antara dunia Islam dan Barat.
Setelah menolak gagasan pembentukan “negara Islam”, Nurcholish mendasarkan anjurannya tentang demokratisasi pada keyakinan, bahwa demokrasi memiliki pijakan yang kokoh dalam al Quran, yakni gagasan-gagasan al Quran dan Sunnah tentang deliberasi dan konsultasi (musyawarah). Namun, tidak ada model tunggal tentang pemerintaham yang dapat dianjurkan, sehingga beraneka ragam negara perlu merumuskan sendiri model-model pemerintahan yang sesuai dengan lingkungan mereka.
Seperti halnya Mustofa Ceric, gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, baik dari aspek budaya, agama, etnis, maupun bahasa. Keduanya sama-sama mempercayai, bahwa pluralisme dan toleransi keagamaan bukan persoalan teologis yang mudah, tetapi sebuah mandate yang berakar dari QS al Baqoroh: 62 dan QS al Maaidah: 69, yang artinya
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kiamat, dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Shabiin, dan Nasrani, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kiamat, dan beramal shaleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Berdasarkan kedua ayat tersebut, terlihat dengan jelas adanya kesetaraan di antara agama-agama, dan Tuhan memastikan akan jaminan keselamatan dan memberikan penghargaan pada setiap orang pemeluk agama. Oleh karena itu, ketika masing-masing agama telah berkomitmen pada nilai-nilai etika, maka semua agama, bukan hanya Islam, memiliki tanggung jawab untuk memainkan peran dalam melaksanakan nilai-nilai keagamaan, seperti keadilan sosial serta pengelolaan politik dan masyarakat secara demokratis.
Barangkali tidak ada isu yang lebih sensitif dalam hubunganhubungan antar iman (interfaith) dari pada pernikahan antar agama (interreligious marriage). Sekalipun tidak ada larangan resmi terhadap pernikahan antaragama di Indonesia, namun pada prakteknya pasangan calon suami istri menghadapi satu di antara dua pilihan, yaitu menikah di pengadilan agama bagi Muslim atau di kantor catatan sipil bagi non muslim. Sebagian orang memilih untuk berpura-pura konversi agama dari pada menghadapi berbagai bentuk regulasi, namun sebagian yang lain memilih pergi ke Singapura, Hongkong atau Australia untuk menikah di sana (Asmarani, 2004;1). Menurut catatan Esposito (2010: 110), Paramadina yang didirikan oleh Nurcholish Madjid pernah memfasilitasi pernikahan masal antaragama pada tahun 2002, sebanyak ribuan pasangan Indonesia. Paramadina menawarkan bantuan bagi pasangan antar iman, termasuk memberikan konseling bagi orang tua yang enggan melakukannya karena persoalan landasan keagamaan bagi pernikahan antar agama.
Dalam konteks pembaruan pemikiran Islam Indonesia, Islam pluralis model Nurcholish tersebut juga memiliki pautan dengan Islam kosmopolitan yang digagas oleh Abdur Rahman Wahid. Secara sekilas, menurut (Esposito, 2010: 110), figur Abdurrahman Wahid tampak sebagai anomali dalam jajaran tokoh pembaharu, karena dia merefleksikan akar sejarah, kepemimpinan, dan kharisma tradisionalis, namun pada saat yang sama menampilkan perspektif sebagai modernis Islam yang luar biasa. Meskipun Gus Dur memimpin NU, sebagai organisasi masa kaum tradisional dalam kurun waktu yang cukup lama, namun tetap mengilhami masyarakat luas dalam melakukan penafsiran kosmopolit dan modern tentang Islam.
Menjembatani antara dunia Islam tradisional dengan pemikiran “modern”, Gus Dur telah menyajikan Islam yang responsif terhadap kebutuhan kehidupan modern dan merefleksikan keahliannya dalam mengelola divesitas keberagamaan Islam Indonesia, serta sejarah dan komunitas etnis. Tidak sedikit sarjana dan akademisi yang mengamati pemikiran dan perilaku cucu hadratus syeikh NU tersebut, sebagai kekuatan utama pluralisme, demokrasi, dan Islam inklusif di era kontemporer Indonesia (Hefner, 2002: 5).
Gus Dur berkeyakinan bahwa masyarakat Muslim kontemporer sedang berada di persimpangan jalan yang kritis. Dia menolak fundamentalisme dan formalisme hukum kelompok Muslim konservatif sebagai penyimpangan dan rintangan bagi pembaruan Islam dan respons Islam terhadap perubahan global. Gus Dur melihat hanya ada dua pilihan atau jalan yang menantang Muslim pada saat ini, yaitu mengikuti Islam tradisional, statik, dan legal formal ataukah mengubah lagi secara lebih dinamis pandangan dunia yang plural, universal, dan kosmopolit. Gus Dur juga menolak menjadikan Islam sebagai dasar bagi sistem hukum dan politik negara-negara sebagai tradisi Timur Tengah yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Muslim Indonesia, menurutnya, harus menerapkan Islam yang moderat dan dimensi ajarannya mengenai toleransi dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat (Mujiburrahman, 1999: 342).
Simpulan
Penjelasan dan diskusi di atas mungkin belum menyajikan pemahaman yang komprehensif mengenai perbincangan kaum intelektual Muslim, khususnya Indonesia, di seputar isu-isu yang lagi aktual dalam setting pembaruan pemikiran Islam. Namun, setidaknya tulisan ini telah berusaha untuk menunjukkan apa yang telah dilakukan oleh generasi muslim terdahulu, berikut kecenderungan dan isu-isu yang relevan dengan kondisi saat ini.
Tradisi pembaruan dalam Islam di atas adalah adanya karakteristik isu dan tantangan yang menyebabkan munculnya diversitas pemikiran dan gerakan pada tiap-tiap episode modernisme di dunia Muslim. Tantangan yang mungkin tidak begitu krusial di masa-masa awal era modern, tetapi dirasakan signifikansi kemunculannya di era kontemporer adalah isu di seputar pembaruan hukum Islam, terorisme, keadilan gender, demokrasi dan pluralisme agama, serta hak asasi manusia.
Konstalasi pembaruan pemikiran Islam Indonesia, yang dalam tulisan ini hanya menyuguhkan sosok Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, tentu belum mewakili gambaran mengenai dinamika gerakan yang tentu saja jauh lebih komprehensif. Tetapi, karena keduanya merupakan figur utama yang diakui formulasi gagasan dan pemikiran-nya dalam wacana pembaruan Islam di Indonesia, barangkali yang sedikit itu pun ada gunanya dalam upaya menemukan benang merah gerakan dan pemikiran pembaruan Islam Indonesia itu sendiri.
Daftar Pustaka
Appadurai, Arjun. 1996. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Asmarani, Devi. 2004. No Glitch to My Inter faith Union, Straits Times. Singapore
Azam, Nadeem. 2005. A Conversation with Dr. Mustafa Ceric. http://www.angelfire.com/hi/nazam/Aceric.html.
Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina.
Berman, Marshall. 1988. All That is Solid Melts into Air: The Experience of Modernity. New York: Penguin.
Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies, 14.1, June 2001: 7–22.
Eickelman, Dale F. 2003. Revolutionaries and Reformers: Contemporary Islamist Movements in the Middle East. Inside the Islamic Reformation in ed. Barry Rubin. New York: State University of New York Press.
Esposito, John L. 2010. The Future of Islam. USA: Oxford University Press.
Heffner, Robert W.2002. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton, NJ: Princeton University Press).
Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.
Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge.
Madjid, Nurcholish.1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1987.
Martin, Richard C. Woodward, Mark R. and Atmaja, Dwi S. 1997. Defenders of Reason in Islam: Mu’tazilism from Medieval School to Modern Symbol. England: Oneworld Publications.
Mujiburrahman. 1999. Islam and Politics in Indonesia: The Political Thought of Abdurrahman Wahid. Di dalam Islam and Christian Muslim Relations, 10 No. 3. October 1999.
Rahman, Fazlur.1969. The Impact of Modernity on Islam. in ed. Edward J. Jurji, Religious Pluralism and World Community, Interfaith and Intercultural Communication. Leiden: E. J. Brill.
Rathfelder, Erich.2004. Interview with Mustafa Ceric: TheWest Does NotWant to Share Its Values. Qantara.de: Dialogue with the IslamicWorld.http://www.qantara.de/webcom/show_article.ph p/_c-478/_nr-105/i.html.
Saeed, Abdullah.2006. Islamic Thought: An Introduction. USA and Canada: Routledge.
Steenbrink, Karel. 1998. Menangkap Kembali Masa Lampau: Kajian-kajian Sejarah oleh Para Dosen IAIN, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.
Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista.
Wahid, Abdurrahman. 1981. Muslim di Tengah Pergumulan. Jakarta:
Lapenas.