MANAJEMEN SHALAT
@akhirudindc
Manfaat
shalat apabila kita kembangkan betul-betul, sangat luar biasa dan canggih
dibandingkan dengan yoga. Sayang sekali tidak ada universitas yang sengaja
mengembangkan teknik gerakan shalat ini, apalagi yang mempelajari manajemen
yang terkandung dalam bacaan shalat. Coba kita pikirkan, kenapa manajemen yang
terkandung dalam shalat sangatlah canggih?
- Doa
Iftitah, yang kita ucapkan lima kali sehari, sebetulnya sama dengan
mission statement kalau kita belajar manajemen strategi. Misi hidup yang
manalagi yang lebih canggih dibandingkan dengan hanya mendapatkan
keridhaan Allah, tidak musyrik dan menjalankan perbuatan islami?
- Al-Fatihah,
yang diucapkan minimal 17 kali sehari, merupa-kan objective statement.
Tujuan hidup yang mana lagi yang lebih canggih dibandingkan dengan hidup
di jalan yang lurus, yaitu jalan kebaikan seperti yang diperoleh para nabi
dan rasul?
- Ayat-ayat
lainnya setelah Al-Fatihah merupakan petunjuk pelaksanaan dan pengendalian
setelah selesai shalat untuk diaplikasikan dalam kehidupan.
Sebenarnya,
Allah mengajarkan kita bagaimana menggunakan manajemen yang canggih sehingga
menjadi kebiasaan yang efektif dan efesien dan dapat dilakukan tanpa harus
sekolah MBA atau bahkan S3 sekalipun.
1. Mengapa Shalat Harus Tepat Waktu?
Mari kita lihat salah satu waktu shalat,
yaitu Maghrib.
a. Maghrib hanya sebentar, terjadi perubahan
Macro cosmis/ Sistem elektrik jagat raya, (manusia adalah miniatur dari alam
semesta/ jagad raya) medan magnet tubuh kita akan ter-pengaruh. Ada sistem
saraf yang otomatis diaktifkan jika kita khusuk melakukan gerakan shalat dan
ini timing yang tepat dan sangat bermanfaat.
b. Pada saat yang bersamaan dengan arah yang
sama bacaan shalat tersebut memancarnya frekuensi radio yang dapat menggetar-kan
sistem pengabulan doa jika syarat doa terpenuhi.
c. Shalat subuh, zhuhur, dan ashar pun juga
demikian.
2. Kenapa Shalat Tahajud Malam Hari?
a. Cuaca pada malam hari biasanya dingin atau
lembab, banyak lemak jenuh yang melapisi saraf kita menjadi beku. Sehingga
kalau tidak segera digerakkan, sistem pemanas tubuh tidak aktif, saraf menjadi
kedinginan, bahkan kolesterol dan asam urat berubah menjadi pengapuran.
b. Saluran kelebihan uap air dari paru-paru
ke ginjal yang ada di bagian belakang tubuh kita, kalau terlalu lama tidur akan
tergencet berat tubuh kita sehingga menyebabkan paru-paru menjadi lembab dan
saluran tersebut tersumbat. Saraf di belikat akan tersalut pengapuran. Kalau
dibiarkan lama, akan menyebabkan paru-paru basah, dan ini sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan sel paru-paru membusuk.
c. Jadi, memang shalat malam itu lebih baik
daripada tidur. Kebanyakan tidur malah jadi penyakit. Bukan lamanya masa tidur
yang diperlukan oleh tubuh kita melainkan kualitas tidur. Dengan shalat malam,
kita akan dapat mengendalikan urat tidur kita.
d.
Tidur di
kasur yang empuk akan menyebabkan urat saraf yang mengatur tekanan ke bola mata
tidak mendapat tekanan yang cukup untuk memulihkan posisi saraf mata kita.
Tidur dengan bantal yang tebal atau tinggi akan menyebabkan posisi klep jantung
kita menjadi miring. Dalam jangka lama akan menyebabkan klep jantung kurang fungsional.
C.
Gerakan Shalat Khusuk
Coba simak
Al-Baqarah/2 ayat 45.
Artinya:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu'.
Ayat ini memiliki dua pesan moral yang
seharusnya menjadi pegangan kita dalam setiap langka kehidupan ini;
- Minta tolong kepada Allah dengan
Sabar dan shalat
- Shalat itu Berat sekali, kecuali
dilakukan dengan Khusuk. Dalam al-Fatihah, kita memohon hanya kepada
Allah.
Dan yang kita
minta itu adalah jalan kebaikan, cara hidup yang lurus, yang bermanfaat, yang
menghasilkan nikmat seperti yang pernah dicontohkan oleh para rasul dan nabi.
Pertolongan itu akan diberikan sedikit demi
sedikit sesuai kebutuhan, tapi harus sabar dan shalat (gerakannya dan aplikasi
makna bacaannya).
Shalat yang
betul yang berbuah pertolongan tersebut berat sekali dilakukan. Walaupun
begitu, lama-lama akan tidak terasa berat bagi orang yang serius dan mengerti
manfaatnya.
Kalau kita
menganggap bahwa shalat adalah manajemen hidup kita maka minimal dia terdiri
dari tiga unsur yang utuh/sistemik. Ketiga unsur tersebut adalah
Gerakan, Inti Bacaan, dan Aplikasi shalat dalam kehidupan.
Bagian ke dua
ayat di atas menyatakan bahwa shalat itu berat sekali. Apa maksudnya? Maksudnya
adalah gerakan shalat yang akan membetulkan posisi atau mengaktifkan sistem
saraf di tubuh kita sangat berat dilakukan. Walaupun berat sekali, tetapi dapat
dilakukan oleh orang yang mengerti manfaat, serius, dan sabar hingga menghasilkan
manfaat berupa perbaikan sistem saraf di tubuhnya.
Coba
pikirkan, jika cara gerakan shalat kita asal-asalan apakah ada urat saraf yang
dibetulkan? Apakah betul pintu oksigen ke otak akan terbuka? Apakah ada tuas
sistem keringat akan tertarik? Apakah maksimal manfaat gerakan shalat itu untuk
perbaikan sistem saraf di tubuh kita. Kalau begini yang kita lakukan jelas
bertentangan dengan ayat Allah, al-Baqarah 45, dan celakanya kita akan
tergolong orang yang lalai dalam shalatnya. Pantas, pertolongan tidak datang
kepada kita, dan membikin kita jadi tidak sabar lalu cari jalan pintas, jadilah
kita kufur, musyrik, munafik, melintir ayat dan kita jadi makhluk yang buruk
yang menurun kepada generasi berikutnya dan tidak terasa kalau kita telah berdosa
besar kepada generasi berikutnya.
Dahulu, waktu
pertama kali shalat diperkenalkan oleh Rasul, betul bahwa dengan asal gerak
saja akan dapat langsung menggetarkan sistem saraf di tubuh kita. Tapi waktu
itu saraf manusia belum tercemar oleh kolesterol, asam urat, gula darah, dan
pengapuran. Udara belum tercemar oleh karbon monoksida atau efek rumah kaca
belum terjadi, bahkan diyakini mereka tidak merokok, badan mereka sering
berkeringat, belum ada kerja kantoran yang duduk di belakang meja. Coba sekali
lagi kita pikirkan, kondisi sekarang, terutama di negara kita sebaliknya, makan
jeroan, gorengan, nasi kebanyakan, purin kebanyakan, lalapan mentah plus
terasi, gemar merokok, asap knalpot di mana-mana, air tercemar polusi limbah
pabrik kimia, makan obat kimia atau anti biotik, senang korupsi, percaya dukun,
dan di lokalisasi. Kita ini
negara yang terbesar di dunia yang mengaku beragama Islam. Tetapi, kenapa kerusakan terjadi di mana-mana?
Coba jawab sendiri!
Bagaimana
kita dapat hijrah dan jihad terhadap lingkungan yang seperti ini? Mari kita
sama-sama mempelajari, melaksanakan dengan utuh shalat yang menghasilkan
manfaat, dan jadikan shalat ini manajemen hidup kita. rubah diri kita sendiri,
lakukan perbuatan yang baik-baik saja, orang lain akan mengikuti kita untuk
berbuat baik.
Ayat di atas
jangan diplintir menjadi : Sesungguhnya shalat Khusuk itu serat sekali atau
Khusuk dalam shalat itu berat sekali!
Plintiran
seperti ini akan menyesatkan sekali, karena kita dapat nenganggap bahwa karena
khusuk itu berat sekali dilakukan dan nyaris tidak mungkin, jadilah dia asal
shalat, malas shalat, bahkan tidak shalat.
Pengertian
khusuk di sini jangan diplintir menjadi: Khusuk adalah shalat yang tidak
melakukan gerakan di luar tata tertib standard. Marilah kita gunakan pikiran
kita dan dapatkanlah manfaat dari setiap gerakan shalat yang membetulkan sistem
saraf di tubuh kita. Kita meski malu kepada diri kita sendiri kalau kita asal
shalat atau tidak shalat. Sadarlah bahwa shalat itu adalah manajemen hidup yang
terbaik yang diajarkan oleh Allah yang Maha Tahu dan memiliki seluruh alam
semesta beserta isinya termasuk diri kita sendiri. Sebenarnya, shalat adalah
obat segala penyakit dan pertanggunganjawab hidup atau kualitas hidup.
Kesehatan jiwa dan raga, sebenarnya, tergantung kualitas shalat kita.
Khusyuk dalam
shalat pada dasarnya adalah spiritual situation, suatu keadaan secara
ruhani, tetapi yang ditopang oleh jasmani dan nafsani. Ketiga aspek tersebut
harus dibuat sedemikian rupa agar saling menopang untuk mencapai tujuan-tujuan
yang lebih tinggi. Memang khusyuk merupakan aspek ruhani, tetapi sebelum itu
harus dikembangkan melalui proses yang menyangkut jasmani dan nafsani. Itulah
sebabnya kenapa shalat harus dijalankan dengan thuma’nînah (tenang,
tidak tergesa-gesa). Makanya rukuk, umpamanya, harus dengan betul dan sempurna
sehingga dapat memberi dukungan kepada kondisi nafsani. Tenang di dalam rukuk,
seolah merupakan kesiapan bagi nafsani untuk meningkat, dan kemudian dapat
diteruskan kepada peningkatan ruhani. Inilah makna thuma’nînah.
Thuma’nînah dibahas dalam kitab-kitab fiqh karena
bisa diobservasi dan kemudian menjadi salah satu syarat sahnya shalat. Ini
terlihat dalam fiqih mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa rukuk yang tidak
tenang sampai hitungan ketiga berarti shalatnya batal. Tetapi sebenarnya yang
diharap dari thuma’nînah tidak berhenti hanya sampai di situ, melainkan
shalat yang sempurna harus diteruskan secara nafsani. Tentu saja ini melalui
jenjang-jenjang tertentu, seperti secara psikologis bisa dimulai dari hal yang
lebih kognitif, yaitu mengerti apa yang dibaca. Kalau bukan bahasanya, minimal
mengerti maknanya, dan justru ini yang penting. Misalnya bacaan subhânallâhi
rabbiyal ‘alâ wa bi hamdih” dan beberapa variasi lain dalam rukuk,
tetapi yang lebih penting adalah tasbih (memahasucikan Allah), sehingga
memberikan kondisi bagi nafsani untuk meningkat, karena ternyata tasbih,
memahasucikan Allah memang bertingkat. Tingkat paling mendasar adalah
memahasucikan Allah dari persekutuan (syirik).
Maha Suci Allah dari apa
yang mereka sifatkan
(QS. Al-Shâffât/37: 159).
Seperti dalam “syirik yang telanjang” (naked
polytheism) yang menggambarkan Tuhan punya anak, punya istri dan
sebagainya. Dalam hal ini termasuk juga prasangka yang tidak baik tentang
Tuhan, seperti sifat curiga kepada-Nya atau bahkan menuduh-Nya tidak adil
dengan dalih nasib tidak berubah meskipun sudah berbuat baik, sementara orang
lain yang tidak peduli dengan moral justru maju terus. Sifat curiga dan menuduh
Allah tidak adil demikian sangat berbahaya, sebab kalau sudah mulai tidak punya
harapan kepada Allah, lalu kepada siapa harus menaruh harapan? Ini berkaitan
dengan peringatan Nabi dalam sebuah hadis Qudsi (firman Allah tetapi kalimatnya
dari Nabi) yang berbunyi, “Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku mengenai
diri-Ku”. Jadi kalau seorang hamba mengira Tuhan tidak adil kepadanya maka
itulah yang terjadi, tetapi kalau ia mengira Allah baik maka Dia pun akan baik.
Di sini ada aspek psikologisnya.
Untuk mencapai tingkat lebih tinggi,
nafsani memerlukan dukungan jasmani berupa tum’nînah yang dimulai dengan
memahami apa yang kita baca. Setelah memahami apa yang kita baca dan kemudian
menjadi bagian dari kesadaran nafsani kita, maka akan mudah meningkat menjadi
kesadaran ruhani, yaitu berupa penghayatan akan kehadiran Allah. Karena selain
Allah al-A‘lâ, Dia juga dekat kepada kita; Allah adalah yang lahir (al-Zhâhir) maupun yang
batin (al-Bâthin), dekat dan jauh, karena tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Efek dari menghayati Allah beserta kita,
tak terhitung banyaknya, tetapi yang tertinggi adalah efek ruhani berupa
perasaan dekat dengan-Nya. Perasaan dekat inilah yang menjadi kebahagiaan
ruhani, yang tentu saja tidak bisa digambarkan. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa:
(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (QS. Al-Ra’d/13: 28).
Di sinilah letak konsep ridha Allah; Allah
rela kepada kita. Tanpa keridhaan
Allah, kita tidak akan merasakan kebahagiaan. Meskipun tanpa ridha, bisa jadi
permintaan-permintaan kita tetap dikabulkan. Inilah yang namanya istidrâj,
memberi dengan nada marah, sehingga yang diberi tidak merasa bahagia. Seperti
analog seorang ibu yang marah kepada anaknya waktu minta uang lalu
memberikannya dengan cara melemparkan.
Kata istidrâj satu akar dengan derajat (Arab: darajah), yang berarti
seseorang diberi derajat tetapi sebenarnya dijerumuskan oleh Tuhan. Inilah yang
disebut al-Qur’an sebagai balâ’un hasanun (percobaan baik) (QS. Al-Anfâl/8:
17), yaitu ujian dari Tuhan dalam bentuk kenikmatan-kenikmatan. Artinya, dengan
kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan sebenarnya Allah ingin mengetahui
apakah seseorang bersyukur atau tidak, apakah kita dapat memanfaatkannya atau
tidak. Kalau tidak, maka azabnya jauh lebih dahsyat. Buya Hamka menyebutnya
dengan istilah “dari nikmat menjadi niqmah; dari anugerah menjadi bencana”.
Itulah sebabnya kenapa kita harus selalu bertakwa kepada Allah dalam senang atau susah. Dalam senang kita harus
bertakwa karena jangan-jangan itu merupakan niqmah.