Akhlâq adalah jamak dari khuluq.
Al-Qur'an menyebutkan kata khuluq dalam suatu nada pujian kepada Nabi
Muhammad SAW, "Dan engkau sungguh mempunyai akhlak yang agung,” (Q.
68: 4). Kalau nisbat, misalnya “sesuatu itu etis”, tidak pernah disebut sebagai
khuluqî, tetapi akhlâqî. Mengapa? Karena di dalam budi pekerti
ini ada ingredient yang sangat banyak, yang tidak pernah satu.
Akhlâq yang merupakan jamak dari khuluq
adalah satu akar kata dengan khâliq dan makhlûq, dan dari situ
akan tampak ada suatu asumsi yang sangat mendasar dalam Islam. Kalau khâliq
berarti pencipta dan makhlûq berarti yang diciptakan, maka khalq
adalah kata benda kerjanya, yaitu penciptaan (the act of creation). Dari
sini terlihat bahwa konsep akhlâq dalam Islam dikaitkan dengan kejadian
asal manusia.
Dengan
demikian, budi pekerti itu tidak lain adalah esensi dari kejadian manusia itu
sendiri. Karena itu untuk menjadi manusia, seseorang harus berakhlak, harus
mempunyai budi pekerti luhur. Sebab, itu sebetulnya rancangan atau disain Tuhan
tentang manusia. Maka dari itu, di dalam al-Qur'an ada suatu pernyataan yang
sangat luhur tentang manusia, yaitu "Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk (taqwîm) yang terbaik," (Q. 95: 4). Taqwîm
di sini tidak hanya dari segi fisik, melainkan juga dari segi makârim
al-akhlâq (berbagai keluhuran budi), sebagaimana tersirat dalam hadis, “Sesungguhnya
aku (Muhammad) diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi”.
Dari
segi fisik, manusia memang unik. Maksudnya, ia adalah satu-satunya makhluk yang
tegak, sehingga disebut sebagai erectus, homo erectus. Tidak ada
makhluk yang tegak seperti manusia. Dan dalam literatur mengenai
paleo-antropologi (ilmu mengenai manusia-manusia purba), atau dalam pandangan
Darwin, fase yang paling menentukan dalam proses pertumbuhan kera menjadi
manusia, ialah ketika kera itu turun dari pohon-pohon dan duduk di sabana lalu
membebaskan tangannya dari harus berpegangan kepada ranting. Tangan inilah yang
kemudian menjadi stimulator bagi tumbuhnya otak. Ia tidak lagi dipakai untuk
berjalan karena kaki yang belakanglah yang berjalan. Kemudian tangan ini,
misalnya, mulai dipakai untuk meraih pucuk daun dan sebagainya. Menurut para
paleo-antropolog, tahap itu merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
pertumbuhan otak manusia.
Bebasnya
tangan dari berpegang pada ranting-ranting kemudian diikuti oleh tahap di mana
tangan harus dipakai untuk berjalan seperti binatang kaki empat. Dengan
demikian manusia pada mulanya adalah binatang berkaki empat juga, di mana
tangan merupakan kaki depannya. Tahapan berikutnya, ketika manusia menjadi
seperti sekarang ini, dimulai dengan pithecanthropus erectus: phitec
berarti kera, anthropus berarti yang bersifat manusia, dan erectus
artinya yang tegak. Jadi, manusia kera yang tegak. Lalu mulailah tumbuh otak
dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini, yaitu homo-sapien.
Karena itu ada yang menafsirkan dengan suatu pendekatan ilmiah atau
pseudo-ilmiah, bahwa ahsan-u taqwîm itu dalam bentuk lahir pun
sudah kelihatan, yang sekaligus juga menandai keunikan manusia sebagai makhluk,
karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang tegak. Bayangkan kalau ada
kerbau yang tegak, misalnya, pasti semua orang akan takut.
Dinyatakan dalam
al-Quran, “Demi tin dan zaitun, dan bukit Sinai, dan kota ini yang aman,
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik,” (Q. 95: 1-4).
Menarik bahwa persumpahan Tuhan menggunakan pohon tin, sebab pohon ini
merupakan ciri-ciri dari Sinai, dari Timur Tengah, mencakup Laut Tengah yang
meliputi Italia, Yunani dan derah-daerah Syiria. Daerah-daerah ini adalah
daerah asal mula peradaban manusia. Kemudian pohon zaitun, suatu pohon yang
sangat berkah. Dalam al-Qur’an zaitun berarti bekal, yaitu pohon zaitun yang
diberkati. Bahwa zaitun adalah sebuah buah yang sangat tinggi nilai gizinya,
dan pohonya tahan cuaca, dapat hidup ribuan tahun. Tetapi menurut banyak ahli
tafsir, maksud Tuhan bersumpah dengan pohon tin dan pohon zaitun adalah untuk
merefleksi dua peradaban yaitu Yunani dan Romawi. Kemudian Gunung Tursina
(Sinai) yang bukitnya merupakan tempat Nabi Musa menerima wahyu berupa The
Ten Commandements yang disebut Taurat (hukum). Dan maksud “negeri yang
aman” adalah Makkah, tempat Nabi Muhammad. Maksud ini semua adalah adanya
kontinuitas antarseluruh peradaban, dari Yunani, Romawi, Yudeo-Kristian dengan
titik pangkalnya The Ten Commandements, dan dilanjutkan dengan Islam
yang terdapat di Makkah. Dan setelah itu dikatakan bahwa manusia adalah puncak
makhluk, seolah untuk mengingatkan bahwa semua peradaban yang ada berdiri di
atas dasar konsep manusia sebagai puncak dari makhluk. Maka kalau manusia sudah
tidak lagi menghargai dirinya sebagai puncak ciptaan Tuhan berarti, “Kemudian
Kami jatuhkan serendah-rendahnya. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan
amal kebaikan, maka bagi mereka pahala yang tiada putusnya,” (Q. 95: 5-6).
Bahwa persyaratan bagi keunggulan harkat dan martabat manusia beradab adalah
iman kepada Allah dan berbuat baik.
Manusia menjadi
puncak ciptaan karena dia diciptakan menurut gambaran Tuhan, yang tentu tidak
bisa diartikan secara harfiah. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa dalam diri
manusia selain terdapat unsur nâsût (bersifat psikis biologis) juga
terdapat unsur lâhût (besifat ketuhanan). Unsur ketuhanan yang paling
penting dalam diri manusia adalah kebebasan dan kemampuannya untuk melakukan
pilihan-pilihan. Hal ini di dalam al-Qur’an dilukiskan sebagai suatu amanat
yang pernah ditawarkan Tuhan kepada semua ciptaan tetapi tidak ada yang sanggup
kecuali manusia.
Dalam semacam drama kosmis ketika
selesai menciptakan alam kemudian Tuhan menawarkan amanat kepada gunung-gunung,
kepada bumi, kepada langit, tetapi semuanya menolak. Dan ketika ditawarkan
kepada manusia amanat itu diterima (33:72). Dengan begitu berarti manusia
merupakan makhluk yang menanggung resiko, bahwa hidupnya tidak lagi secara
otomatis baik dan benar. Baik dan benar kemudian ditentukan melalui pilihan
manusia sendiri yang pada gilirannya menjadikan manusia sebagai makhluk moral.
Inilah yang menyebabkan manusia menjadi puncak ciptaan Tuhan. Oleh karena itu
manusia tidak boleh melihat ke atas kecuali kepada Tuhan dan kepada selain-Nya
harus melihat ke bawah dalam arti menyadari hirarki eksistensi, tidak dalam
arti menghina. Hal demikian dimaksudkan agar manusia
tetap berada di atas.
#BalanceLife ... @akhirudindc ... Email: akhirudindc@gmail.com