TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Jumat, 31 Mei 2013

Keseimbangan Akhlak

Keseimbangan Akhlak : Esensi Kejadian Manusia


Akhlâq adalah jamak dari khuluq. Al-Qur'an menyebutkan kata khuluq dalam suatu nada pujian kepada Nabi Muhammad SAW, "Dan engkau sungguh mempunyai akhlak yang agung,” (Q. 68: 4). Kalau nisbat, misalnya “sesuatu itu etis”, tidak pernah disebut sebagai khuluqî, tetapi akhlâqî. Mengapa? Karena di dalam budi pekerti ini ada ingredient yang sangat banyak, yang tidak pernah satu.
Akhlâq yang merupakan jamak dari khuluq adalah satu akar kata dengan khâliq dan makhlûq, dan dari situ akan tampak ada suatu asumsi yang sangat mendasar dalam Islam. Kalau khâliq berarti pencipta dan makhlûq berarti yang diciptakan, maka khalq adalah kata benda kerjanya, yaitu penciptaan (the act of creation). Dari sini terlihat bahwa konsep akhlâq dalam Islam dikaitkan dengan kejadian asal manusia.
Dengan demikian, budi pekerti itu tidak lain adalah esensi dari kejadian manusia itu sendiri. Karena itu untuk menjadi manusia, seseorang harus berakhlak, harus mempunyai budi pekerti luhur. Sebab, itu sebetulnya rancangan atau disain Tuhan tentang manusia. Maka dari itu, di dalam al-Qur'an ada suatu pernyataan yang sangat luhur tentang manusia, yaitu "Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk (taqwîm) yang terbaik," (Q. 95: 4). Taqwîm di sini tidak hanya dari segi fisik, melainkan juga dari segi makârim al-akhlâq (berbagai keluhuran budi), sebagaimana tersirat dalam hadis, “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi”.

Dari segi fisik, manusia memang unik. Maksudnya, ia adalah satu-satunya makhluk yang tegak, sehingga disebut sebagai erectus, homo erectus. Tidak ada makhluk yang tegak seperti manusia. Dan dalam literatur mengenai paleo-antropologi (ilmu mengenai manusia-manusia purba), atau dalam pandangan Darwin, fase yang paling menentukan dalam proses pertumbuhan kera menjadi manusia, ialah ketika kera itu turun dari pohon-pohon dan duduk di sabana lalu membebaskan tangannya dari harus berpegangan kepada ranting. Tangan inilah yang kemudian menjadi stimulator bagi tumbuhnya otak. Ia tidak lagi dipakai untuk berjalan karena kaki yang belakanglah yang berjalan. Kemudian tangan ini, misalnya, mulai dipakai untuk meraih pucuk daun dan sebagainya. Menurut para paleo-antropolog, tahap itu merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pertumbuhan otak manusia.
Bebasnya tangan dari berpegang pada ranting-ranting kemudian diikuti oleh tahap di mana tangan harus dipakai untuk berjalan seperti binatang kaki empat. Dengan demikian manusia pada mulanya adalah binatang berkaki empat juga, di mana tangan merupakan kaki depannya. Tahapan berikutnya, ketika manusia menjadi seperti sekarang ini, dimulai dengan pithecanthropus erectus: phitec berarti kera, anthropus berarti yang bersifat manusia, dan erectus artinya yang tegak. Jadi, manusia kera yang tegak. Lalu mulailah tumbuh otak dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini, yaitu homo-sapien. Karena itu ada yang menafsirkan dengan suatu pendekatan ilmiah atau pseudo-ilmiah, bahwa ahsan-u taqwîm itu dalam bentuk lahir pun sudah kelihatan, yang sekaligus juga menandai keunikan manusia sebagai makhluk, karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang tegak. Bayangkan kalau ada kerbau yang tegak, misalnya, pasti semua orang akan takut.

Dinyatakan dalam al-Quran, “Demi tin dan zaitun, dan bukit Sinai, dan kota ini yang aman, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik,” (Q. 95: 1-4). Menarik bahwa persumpahan Tuhan menggunakan pohon tin, sebab pohon ini merupakan ciri-ciri dari Sinai, dari Timur Tengah, mencakup Laut Tengah yang meliputi Italia, Yunani dan derah-daerah Syiria. Daerah-daerah ini adalah daerah asal mula peradaban manusia. Kemudian pohon zaitun, suatu pohon yang sangat berkah. Dalam al-Qur’an zaitun berarti bekal, yaitu pohon zaitun yang diberkati. Bahwa zaitun adalah sebuah buah yang sangat tinggi nilai gizinya, dan pohonya tahan cuaca, dapat hidup ribuan tahun. Tetapi menurut banyak ahli tafsir, maksud Tuhan bersumpah dengan pohon tin dan pohon zaitun adalah untuk merefleksi dua peradaban yaitu Yunani dan Romawi. Kemudian Gunung Tursina (Sinai) yang bukitnya merupakan tempat Nabi Musa menerima wahyu berupa The Ten Commandements yang disebut Taurat (hukum). Dan maksud “negeri yang aman” adalah Makkah, tempat Nabi Muhammad. Maksud ini semua adalah adanya kontinuitas antarseluruh peradaban, dari Yunani, Romawi, Yudeo-Kristian dengan titik pangkalnya The Ten Commandements, dan dilanjutkan dengan Islam yang terdapat di Makkah. Dan setelah itu dikata­kan bahwa manusia adalah puncak makhluk, seolah untuk mengingatkan bahwa semua peradaban yang ada berdiri di atas dasar konsep manusia sebagai puncak dari makhluk. Maka kalau manusia sudah tidak lagi menghargai dirinya sebagai puncak ciptaan Tuhan berarti, “Kemudian Kami jatuhkan serendah-rendahnya. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan, maka bagi mereka pahala yang tiada putusnya,” (Q. 95: 5-6). Bahwa persyara­tan bagi keunggulan harkat dan martabat manusia beradab adalah iman kepada Allah dan berbuat baik.
Manusia menjadi puncak ciptaan karena dia diciptakan menurut gambaran Tuhan, yang tentu tidak bisa diartikan secara harfiah. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa dalam diri manusia selain terdapat unsur nâsût (bersifat psikis biologis) juga terdapat unsur lâhût (besifat ketuhanan). Unsur ketuhanan yang paling penting dalam diri manusia adalah kebebasan dan kemam­puannya untuk melakukan pilihan-pilihan. Hal ini di dalam al-Qur’an dilukiskan sebagai suatu amanat yang pernah ditawarkan Tuhan kepada semua ciptaan tetapi tidak ada yang sanggup kecuali manusia.
            Dalam semacam drama kosmis ketika selesai menciptakan alam kemudian Tuhan menawarkan amanat kepada gunung-gunung, kepada bumi, kepada langit, tetapi semuanya menolak. Dan ketika ditawarkan kepada manusia amanat itu diterima (33:72). Dengan begitu berarti manusia merupakan makhluk yang menanggung resiko, bahwa hidupnya tidak lagi secara otomatis baik dan benar. Baik dan benar kemudian ditentukan melalui pilihan manusia sendiri yang pada gilirannya menjadikan manusia sebagai makhluk moral. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi puncak ciptaan Tuhan. Oleh karena itu manusia tidak boleh melihat ke atas kecuali kepada Tuhan dan kepada selain-Nya harus melihat ke bawah dalam arti menyadari hirarki eksistensi, tidak dalam arti menghina. Hal demikian dimaksudkan agar manusia tetap berada di atas. 
#BalanceLife ... @akhirudindc ... Email: akhirudindc@gmail.com

Rabu, 29 Mei 2013

MEMBANGUN KETERATURAN DAN KESEIMBANGAN






MEMBANGUN KETERATURAN DAN KESEIMBANGAN
DENGAN SPIRITUALITAS
Akhirudin DC


Sekarang ini sebetulnya kita sudah mengalami zaman yang agak anomali, karena peradabannya berpusat di Eropa Barat yang dulu merupakan daerah pinggiran. Daerah tengahnya seputar Laut Tengah terutama yang terbentang dari Sungai Nil sampai dengan Sungai Oxus. Di luar sungai Oxus--yang oleh orang Inggris disebut Transoxiana yang artinya di seberang sungai Oxus, dan sebenarnya terjemahan dari bahasa Arab “mâ warâ’-a al-nahr” (daerah di belakang sungai)--ialah “daerah yang tidak berperadaban”. Atau, mirip dengan istilah “gentile” dalam bahasa Yunani. Orang Yahudi suka menamakan diri mereka sebagai “the choosen people” (bangsa yang dipilih), dan orang lain sebagai “gentile”, yang artinya kurang lebih kasar, najis, masuk neraka. Sebetulnya ini biasa karena hampir semua bangsa punya stereotip semacam itu. Orang Cina, misalnya, menamakan diri mereka Tionghoa atau Tiongkok yang artinya daerah tengah. Kalau itu daerah tengah, berarti yang lainnya pinggiran. Ada suatu konsep kosmologis bahwa “daerah tengah” berhak mendahulukan daerah pinggiran. Maka kalau RRC mencoba-coba mengklaim kepulauan Spratly, dan kemudian sudah mulai merembet ke Natuna, tidak lain adalah karena konsep “daerah tengah”-nya itu. Orang Jawa pun begitu. Mereka percaya bahwa pusat dunia ada di gunung Tidar (Magelang), yang lainnya cuma pinggiran saja. 

Daerah yang oleh orang Yunani kuno disebut pusat peradaban yaitu yang terbentang dari lembah sungai Nil sampai sungai Oxus itulah yang disebut Oikoumene (istilah itu sekarang menjadi jargon dalam agama Kristen yang artinya suatu gerakan nonsektarian). Orang Arab menyebutnya al-Dâ’irah al-Ma‘mûrah. Di sinilah bisa dilihat mengapa Ibn Khaldun menyebut ilmunya sebagai ‘ilm ‘umran (ilmu peradaban). Lalu bisa juga dilihat bagaimana Islam terkait dengan konsep-konsep ini, melalui berbagai jembatan.
Hadlârah dan tsaqâfah sedikit banyak dibentuk oleh lingkungan dan pola kehidupan di padang pasir, yang membedakan antara kehidupan mengembara dengan kehidupan menetap. Kalau di Indonesia hampir sama dengan konsep urban dan rural. Di sinilah bisa ditafsirkan mengapa Nabi begitu pindah ke Yastrib lalu mengubah nama kota itu menjadi Madinah. Secara sosiologis biasa ditafsirkan bahwa Nabi hendak menciptakan peradaban. Tetapi ada lagi asosiasi yang lain, yaitu adagium orang Yunani bahwa manusia adalah zoon politicon (manusia adalah makhluk politik). Lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yaitu, al-insân-u madanîyun bi ‘l-thab‘i, bahwa manusia itu menurut takdirnya bersifat “ingin hidup teratur”. Makhluk yang paling sosial di samping manusia adalah semut. Komunitas semut itu ternyata sangat kompleks, karena di situ ada pembagian kerja yang bagus; ada semut pekerja (the workers) yaitu yang kepalanya besar-besar, dan ada semut yang tugasnya hanya bertelur. Itulah sebabnya semut disebut makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial atau politik, menurut nature-nya, manusia harus hidup beradab atau bermasyarakat. Madanîyah yang artinya civilization itu sebetulnya juga berarti politik. Perkataan politik waktu itu diambil dari perkataan polish yang berarti pola kehidupan yang teratur (sebelum orang mengartikan politik sebagai ‘suka menipu orang’ seperti sekarang ini). Dalam bahasa Arab, politik adalah siyâsah yang juga biasa diartikan sebagai strategi dan taktik. Kata siyâsah ini bisa diasosiasikan dalam perkataan Indonesia sais (dari bahasa Arab, sâ’is-un), yang artinya orang yang mengendalikan. Jadi siyâsah artinya ilmu atau metode mengendalikan manusia. Lalu kata benda pelakunya sâ’is-un. Karena itu peradaban, politik, dan kebudayaan, ialah bagian dari kehidupan manusia. Karena itu pula Islam tidak bisa dipisahkan dari semuanya; itu adalah wujud kehidupan manusia yang kemudian mengejawantah dalam ruang dan waktu yang disebut sejarah. Sejarah, dengan demikian, tidak lain adalah wujud dari pengalaman manusia untuk berperadaban dan berkebudayaan.
 Tuhan menciptakan manusia terdiri dari tiga unsur bertingkat, yaitu jasmani, ruhani dan nafsani. Tingkat terendah adalah jasmani, yaitu fisik, badan manusia yang kelihatan sehari-hari. Tingkat yang lebih tinggi adalah nafsani (Arab: nafsânî), yaitu unsur manusia yang bersifat nafs, psikologi, jiwa. Tingkat yang paling tinggi adalah ruhani (Arab: hânî), yang bersifat ruh. Istilah-istilah ini penting, sebagaimana kebaha­giaan dan kesengsaraan juga tiga tingkat, begitu juga pengalaman-pengalamannya. Ada pengalaman jasma­ni yang tidak sampai pada tingkat nafsani, sehingga secara jasmani orang tampak bahagia tetapi jiwanya sakit. Meskipun yang demikian ini ditolak dalam psikologi karena ada istilah psikosomatik, yaitu sakitnya badan oleh karena sakitnya jiwa, tetapi bagi bukan psikolog sakit badannya itu tidak begitu tampak.
Meningkat lagi, ada juga orang yang secara psi­kologis sehat tetapi secara spiritual sakit sehingga menyebabkan, misalnya, ketidaksadaran tentang benar dan salah. Ada situasi ketika kita mengalami tingkat perkembangan ruhani begitu rupa sehingga tidak bisa membedakan antara baik dan buruk, antara benar dan salah. Inilah yang disebut al-Qur’an sebagai keburukan telah dihiaskan dalam diri kita, “Adakah orang yang pekerjaannya, buruk dibayangkan baik lalu menjadi baik (sama dengan orang yang mendapat bimbingan) (apakah orang yang dihiaskan badannya, kejahatannya sehingga kelihatan baik)?,” (Q. 35: 8). Dengan perkataan lain, kalau kita sudah mulai melihat kejaha­tan sebagai yang baik, itu adalah kebangkrutan ruhani, dan sebenarnya merupakan kesengsaraan yang tertinggi. Sebagaimana kesengsaraan nafsani yang tidak selalu tampak pada jasmani, kebangkrutan spiritual juga tidak selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari. 
Pertanyaannya kemudian adalah kapan orang akan merasakan efek dari kebangkru­tan spiritual? Kalau sudah kembali ke alam ruhani, yaitu setelah mati. Tetapi di dunia ini sebenarnya sudah mulai terasa efeknya. Hal ini seba­gaimana yang disinyalir psikolog bahwa kesehatan psikologis punya efek kepada kesehatan jasmani, maka begitu juga kesehatan ruhani punya efek kepada kesehatan nafsani maupun jasmani meskipun tidak langsung. Artinya, kebahagiaan dan kesengsaraan itu juga bisa kita rasakan sekarang ini meskipun tidak dalam ukuran yang sepenuhnya.
 #HidupSeimbang... @akhirudindc / akhirudindc@gmail.com

Selasa, 28 Mei 2013

Shalat Membentuk Akhlak Manusia


Shalat Membentuk Akhlak Manusia

QS. Ali Imran: 159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Seluruh ibadat dalam Islam mempunyai tujuan untuk membina hubungan kita dengan Allah. Hubungan itu akan menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya yang baik. Allah kita hadirkan dalam bentuk kualitas-kualitas, agar kualitas-kualitas tersebut tertransfer ke dalam diri kita, dan kita akan mengalami pengembangan pribadi yang sempurna. Tetapi, sifat Allah yang paling dominan dari semua sifat-Nya adalah sifat kasih (rahmah). Dalam al-Qur'an Allah berfirman, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,” (Q. 7: 156). Malah di antara semua sifat Allah, yang oleh Allah sendiri dilukiskan sebagai diwajibkan atas diri-Nya sendiri hanyalah kasih, “Ia telah menentukan dalam Diri-Nya sifat kasih sayang,” (Q. 6: 12). Dari akar kata rahmah itulah muncul rahmân dan rahîm, yang paling banyak kita sebut dalam rangkaian bism-i ‘l-Lâh-i ‘l-rahmân-i ‘l-rahîm. Karena itu, kalau dalam doa kita tidak bisa menghadirkan Tuhan melalui kualitas-kualitas yang tersimpul dalam nama-nama yang baik, yang setelah dihitung-hitung konon berjumlah 99, maka sebetulnya menghayati Tuhan melalui sifat-Nya Yang Mahakasih itu saja--dengan segala pengertiannya yang luas--sudah cukup. Diharapkan bahwa kualitas-kualitas seperti itu kemudian tertransfer ke dalam diri kita, sehingga menjadi bagian dari bahan untuk mengembangkan kepribadian kita. Inilah akhlak Ilahi, moralitas ketuhanan.
Dari sini kita mengenal istilah yang memperkaya kebudayaan kita sendiri, yaitu “manusia seutuhnya”. Manusia akan utuh hanya apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang integral, manusia yang utuh. Allah memperingatkan dalam al-Qur’an, “Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah, dan Allah akan membuat mereka lupa akan diri sendiri,” (Q. 59: 19). Artinya, kalau kita lupa kepada Allah, maka kita akan lupa kepada diri kita sendiri. Bukan berarti lupa daratan, tetapi artinya kita kehilangan makna hidup kita, kita kehilangan tujuan hidup kita, kita kehilangan integritas kepribadian kita. Sebab kita tidak berhasil mengaitkan wujud kita dengan wujud Yang Mahatinggi, yaitu Allah. Apalagi pada dasarnya manusia tidak mungkin--dan tidak akan kuat--hidup sendirian. Mengapa kita tahan hidup, itu tidak lain adalah karena adanya harapan.
Salah satu fungsi adanya iman kepada Allah adalah harapan. Maka dari itu Allah dilukiskan sebagai al-shamad (tempat menggantungkan harapan). Kalau orang lupa kepada Allah, salah satu akibat yang akan berat sekali ditanggungnya ialah hilangnya harapan, dan itu akan membuat hidupnya sengsara. Jadi harapan adalah bagian dari iman; dan putus harapan adalah bagian dari kekafiran. Allah juga mengingatkan kita, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, tak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak beriman,” (Q. 12: 87). Maka, sekali lagi, manusia yang utuh, manusia yang integral, adalah manusia yang sanggup membina hubungan dengan Allah.
Sebetulnya, masalah ini juga berkaitan dengan ajaran mengenai percaya kepada takdir. Kita tahu bahwa rukun iman yang terakhir adalah percaya kepada qada dan qadar. Tetapi barangkali perlu kita ingatkan bahwa percaya kepada qada dan qadar itu berkenaan dengan masa lampau yang sudah tertutup. Adapun yang berkenaan dengan masa depan yang masih bersifat terbuka, kaitannya bukan dengan qada dan qadar, tetapi dengan kewajiban ikhtiar. Ikhtiar artinya memilih, memilih di antara berbagai kemungkinan yang tersedia di depan kita.  
Mengapa untuk masa lampau (sesuatu yang sudah terjadi) kita harus percaya pada qada dan qadar? Itu sebetulnya untuk kepentingan kesehatan ruhani, kesehatan mental kita sendiri. Itu secara tegas memang difirmankan dalam al-Qur’an, “Setiap ada musibah terjadi di bumi dan dalam dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya,” (Q. 57: 22). Jadi ada predestination. Lalu bagaimana ini bisa terjadi, ayat tersebut selanjutnya menjawab, “Sungguh itu bagi Allah mudah sekali,” (Q. 57: 22). Kalimat terakhir ini menjelaskan bahwa memang kita mungkin tidak bisa memahaminya, karena itu rahasia Tuhan. Tetapi yang lebih penting untuk kita perhatikan mengapa Allah membuat ketetapan seperti itu adalah, “Agas kamu tidak berduka cita atas apa yang sudah hilang, dan merasa bangga atas apa yang diberikan,” (Q. 57: 23). 
Artinya, kalau kita gagal tidak boleh berputus asa, dan kalau berhasil tidak boleh sombong. Dari situ kita akan menjadi manusia yang balance, seimbang. Ini penting sekali untuk kesehatan kita. Jadi dalam iman kepada qada dan qadar, juga tersangkut harapan kepada Allah. #TrainingBalanceLife @akhirudindc

Senin, 27 Mei 2013

BALANCE LIFE MUHAMMAD AL-FATIH

BALANCE LIFE MUHAMMAD AL-FATIH


Sultan Muhammad Al Fatih sangat tegas terhadap musuh. Namun, lembut qolbunya bagai selembar sutra dalam menghadapi rakyat yang dipimpinnya

Qiyamul lail, shalat tahajud, inilah senjata utama Muhammad Al Fatih dalam mengarungi kehidupan di dunia yang fana ini. Inilah Pedang Malam, yang selalu diasahnya dengan tulus ikhlas dan khusuk, ditegakkan setiap malam. Dengan pedang malam ini timbul energi yang luar biasa dari pasukan Muhammad Al Fatih. Sjarah mencatat Muhammad Al Fatih yang baru berusia 21 tahun berhasil menggapai sukses besar, menerobos benteng Konstantinopel, setelah dikepung beberapa bulan maka takluklah Konstantinopel.

Suatu hari timbul soal ketika pasukan islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di kota itu.

“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” tak ada jawaban. Tak ada yang berani yang menawarkan diri ! lalu Muhammad Al Fatih tegak berdiri. Beliau meminta kepada seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri.

Kemudian beliau bertanya. “ Siapakah diantara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan meninggalkan shalat wajin lima waktu, silakan duduk!!” Subhanalloh……!!! Maha suci Allah ! tak seorangpun pasukan islam yang duduk. Semua tegak berdiri. Apa artinya? Itu berarti, tentara islam pimpinan Muhammad Al Fatih sejak masa remaja mereka hingga hari ini, tak seorangpun yang meninggalkan shalat fardhu. Tak sekalipun mereka melalaikan shalat fardhu. Luar biasa…..!!!!! !

Lalu Muhammad Al Fatih kembali bertanya: “ Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk!!!”. Sebagian lainya segera duduk. Artinya, pasuka islam sejak remaja mereka ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat sunah setelah maghrib, dua roka’at sebelu shubuh dan shalat rowatib lainaya. Namun ada yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter dan keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi, sungguh jujur, pasukan islam Al Fatih.

Dengan mengedarkan matanya ke seluruh rakyat dan pasukanya Muammad Al Fatih kembali berseru lalu bertanya: “ Siapa diantara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!!”

Apa yang terjadi…???? Terlukislah pemandangan yang menakjubkan sejarawan barat dan timur. Semua yang hadir dengan cepat duduk!!” Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri. Siapakah dia??? dialah, Sultan Muhammad Al Fatih, sang penakluk benteng super power Byzantium Konstantinopel. Beliaulah yang pantas menjadi imam shalat jumat hari itu. Karena hanya Al Fatih seorang yang sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya dengan bersujud kepada Allah SWT, tidak pernah kosong/absen semalampun.

@akhirudindc