LANDASAN AKHLAK
BALANCE LIFE
Akhirudin
DC, MA
@akhirudindc
Zuhud
Pengertian
zuhud sendiri dalam Alquran dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 23:
"Supaya kau tidak berputus asa terhadap sesuatu yang telah hilang di
hadapanmu dan tidak terlalu gembira terhadap karunia yang datang padamu".
Ada yang unik
dari penjelasan Al-Ghazali dalam Ihya-nya: "Az-Zuhdu fi az-Zuhdi
bin idhari diddihi" (zuhud dalam pengertian zuhud yang
sebenarnya adalah menampakkan perbuatan yang seolah-olah bertentangan dengan
zuhud itu sendiri). Beliau mengartikannya kesempatan seorang arif yang
zuhud adalah meninggalkan keinginan syahwatnya karena Allah tetapi
terkadang juga menampakkan dirinya mengikuti syahwatnya dengan tujuan menutupi
derajat kesufiannya di mata masyarakat sehingga ia tidak terganggu dari
penilaian mereka seperti dihormati, dipuji, dikultuskan, diagungkan atau
dicela.
Dalam Islam,
harta kejayaan bisa menjadi sesuatu yang terpuji bila digunakan untuk
kemaslahatan dan kepentingan dunia dan agama, sehingga dalam Alquran, Allah
sering menyebut harta dengan khair (kebaikan) dengan catatan banyak atau
sedikitnya rezeki tidak ditentukan ketakwaan seseorang tetapi memang sudah
ditentukan dalam catatan amal sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Rezeki
telah dibagi dan dialokasikan sesuai bagian yang telah ditentukan. Ketakwaan
seseorang tidak berarti menambah rezekinya dan kefasikan seseorang tidak pula
berarti mengurangi rezekinya".
Seorang sufi
ternama, Said bin Musayyab pernah berkata tidak ada kebaikan bagi orang yang
tidak mau mengumpulkan harta dari barang halal. Bahkan Sufyan al-Tsauri dengan
tegas mengatakan, "harta di zaman sekarang adalah senjata ampuh bagi orang
mukmin". Rasulullah SAW sendiri mengakui betapa pentingnya harta kekayaan
sebagai penopang hidup manusia modern baik urusan dunia maupun agamanya sebagaimana
sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Tabrani : "Apabila akhir zaman
datang maka penopang agama dan dunia seseorang adalah dirham dan dinar".
Dari penjelasan di atas, jelaslah menanamkan pola hidup miskin di zaman modern
sebagaimana yang diajarkan para sufi terdahulu merupakan konsep usang yang
harus ditinggalkan dan sudah tidak cocok dengan era globalisasi sekarang.
Terbukti kini
banyak para kiai, ulama dan mursyid tarekat yang nota bene pewaris para nabi
mempunyai rumah mewah, kendaraan yang sangat mahal dan harta yang berlimpah.
Sebuah pemandangan yang kontras dan jauh berbeda dengan gaya hidup panutannya,
Rasulullah SAW.
Beliau
menggoreskan sejarah hidupnya dengan hidup sederhana tetapi tidak berarti
menyuruh atau menganjurkan hidup miskin, sebab kenyataannya banyak sahabat
beliau yang kaya raya bahkan beliau mengawinkan dua putrinya kepada sahabat
yang kaya raya, Ustman bin Affan.
Ketika beliau
ditawari hidup kaya oleh Allah, beliau menjawab dengan dua alasan, pertama,
beliau malu kepada para nabi dan rasul terdahulu karena mereka merasakan
kepedihan luar biasa dalam menyampaikan Risalah Allah, tidak hanya lapar dan
miskin tetapi juga cacian, siksaan dan cobaan yang datang silih berganti, toh
mereka tetap sabar dan tabah.
Ketika beliau
ditanya tentang kebiasaan seseorang yang berpakaian dan memakai perhiasan bagus
beliau menjawab: Inna Allah jamilun yuhibbul jamal (Allah adalah Tuhan
Yang Maha Indah dan menyukai keindahan). Jadi beliau juga memberi justifikasi
kepada umatnya untuk hidup mewah asal tetap taat dan tidak lalai terhadap
kewajiban Allah. Adapun kepada umatnya yang hidup miskin, beliau menghibur dan
meyakinkan bahwa Allah akan memberi anugerah yang besar melebihi orang kaya
kepada orang miskin di akhirat kelak asal sabar dan menerima.
Yang menarik,
ada penjelasan dari seorang sufi besar Imam as-Syadzili yang selalu
menganjurkan hidup "ngota" dan parlente, beliau menyarankan pada para
sahabatnya, "Makanlah makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang
paling enak, berpakaianlah dengan pakaian yang paling mahal sebab bila
seseorang telah melakukan itu semua dan berkata "Alhamdulillah", maka
semua anggota badannya menjawab dan mengakui dengan bersyukur. Sebaliknya bila
seseorang makan hanya gandum dengan garam, berpakaian lusuh, tidur di lantai,
minum air tawar kemudian ia berkata, "Alhamdulillah", maka seluruh
anggota badannya malah marah, bosan dan mencela pada orang yang mengatakan itu,
sebab anggota badan tersebut merasa tidak diberi hak yang selayaknya, tidak
sesuai antara pernyataan syukur dan kenyataannya. Seandainya ia bisa melihat
langsung, tentunya ia akan melihat kebosanan dan kemarahannya. Tentunya ia
memilih dosa karena membohongi anggota badannya, kalau begitu lebih baik orang
yang menikmati kesenangan dunia dengan penuh keyakinan kepada Allah sebab pada
hakikatnya orang yang menikmati kesenangan dunia adalah melakukan sesuatu yang
diperbolehkan Allah dan barang siapa menimbulkan kebosanan dan kemarahan pada
anggota badannya pada hakikatnya melakukan sesuatu yang diharamkan Allah".
Dari
penjelasannya, beliau memberikan pembenaran dan pembelaan yang kuat bahwa
seorang sufi boleh hidup mewah di dunia dengan catatan memakai pakaian yang
mahal dengan niat menampakkan nikmat Allah bukan untuk memuaskan nafsunya. Juga
makan dan minum yang lezat dengan niat agar seluruh anggota badannya dapat
bersyukur dengan anugerah yang telah diberikannya.
Bahkan beliau
tidak menghendaki seorang sufi yang miskin, kelemproh, lusuh, kumal, dekil dan
kucel. Ini dibuktikan dalam sejarah, beliau selalu memakai pakaian yang mewah
dan mahal, berkendaraan yang bagus dan berbagai fasilitas yang serba lux,
sangat berbeda dengan gaya hidup para sufi pada umumnya. Toh beliau tetap
mempunyai reputasi dan nama yang harum sebagai sufi agung, dijadikan panutan dan
dikagumi hingga sekarang. Sebab kenyataannya beliau menggunakan fasilitas
kemewahan dunia semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah dan untuk
kepentingan umum umat Islam pada zamannya, sebuah ibadah sosial yang dianjurkan
dalam Islam.
Imam al-Syadzili
mengilustrasikan gaya hidup mewahnya dengan sebuah kisah. Pada suatu hari ada
seeorang yang hendak bertemu Imam Abu Hasan Ali al-Syadzili di rumahnya. Karena
belum tahu rumahnya, ia bertanya kepada orang lain, orang itu segera pergi ke
tempat yang ditunjukkan, begitu sampai ke alamatnya, ia tidak jadi masuk ke
rumah itu, karena ia mendapatkan sebuah bangunan rumah bagai istana raja yang
sangat indah dan megah. Ia tidak percaya kalau itu rumah tempat tinggal imam
yang dicarinya. Dalam hatinya ia yakin bahwa seorang wali tidak akan hidup
semewah itu. Seorang wali adalah orang yang hidup sederhana dan pasti
mengamalkan zuhud, yaitu sikap menjauhi dunia. Melihat kenyataan itu, ia segera
pulang, tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang pengendara kereta
kuda yang mewah mempersilakan naik bersamanya. Dengan penuh rasa waswas
akhirnya ia menerima tawaran orang tersebut. Dalam pembicaraan di atas kereta,
diketahuilah bahwa pengendara kereta itu tidak lain Imam Abu Hasan as-Syadzili
sendiri.
Ketika ia tahu
siapa yang ditumpanginya, ia pun tidak berani menyembunyikan niatnya semula dan
mengatakan bahwa sebenarnya ia baru saja pergi ke rumah beliau. Namun niat itu
digagalkan karena tidak percaya bahwa rumah itu adalah rumah Sang Imam.
Mendengar penuturan tersebut, Imam Abu Hasan kemudian memberikan sebuah gelas
yang berisi minuman anggur pilihan. Ia sangat kagum karena selama hidupnya
belum pernah melihat dan meminum anggur semacam itu. Rasa kagum itu membuatnya
merasa takut kalau anggur itu tumpah atau gelasnya terlepas dari genggamannya.
Apalagi kereta yang ia tumpangi sedang lari kencang mengelilingi kota. Seluruh
perhatiannya tertuju pada gelas dan anggur sehingga ia tidak bisa menikmati
indahnya perjalanan dan megahnya pemandangan kota sekelilingnya.
Setelah
selesai mengelilingi kota, kereta beliau berhenti di halaman rumahnya tanpa
disadari orang tersebut, ia terus saja memperhatikan anggurnya. Ia baru sadar
setelah Sang Imam bertanya kepadanya: "Bagaimana perjalanan tadi, apakah
kamu bisa menikmati keindahan kota ini?" Ia tidak bisa menjawab karena
selama perjalanan memang tidak melihat apa-apa selain anggur yang ada di
tangannya. Sebelum orang itu menjawab, Imam Syadzili melanjutkan kata-katanya,
"Nah, antara kamu, keindahan kota dan anggur di tanganmu itu ibarat aku
sendiri dengan hartaku dan Allah dalam batinku. Karena perhatianku hanya
tertuju kepada Allah, aku tidak pernah peduli apakah kota ini indah atau
tidak." Orang itu memahami apa yang dilihat dan didengarnya. Ia gembira
karena mendapatkan pelajaran zuhud dari Sang Imam.
Pengertian
zuhud yang sebenarnya ialah meninggalkan ketamakan dalam urusan keduniaan
sehingga lupa ketaatan kepada Allah, serta lengah untuk mencari bekalan hidup
di akhirat nanti, inilah pengertian bagi zuhud di dunia.
Maka sesiapa
yang mempunyai sifat zuhud ini, pasti dia akan dicintai oleh Allah dan seluruh
manusia.
Sabda
Rasulullah SAW: Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai oleh Allah dan
berlaku zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia.
Selain itu,
hendaklah jangan timbul perasaan ingin memiliki sesuatu yang bukan kepunyaan
diri kita, sehingga timbul hasrat ingin merebut atau merampas barang yang bukan
hak kita. Inilah yang di artikan sebagai zuhud dengan apa yang ada pada
manusia, kalau ini kita jadikan sebagai pegangan hidup kita, pasti tidak akan
ada orang yang membenci pada diri kita dan kita akan dicintai oleh manusia yang
lain.
Demikian lah
zuhud dalam Islam, jika selain dari ini, maka ia bukan lah dari ajaran Islam,
tetapi hanyalah ciptaan, atau di jiplak dari agama lain.
Lihat lah
sejarah Rasulullah s.a..w, beliau lah sezuhud- zuhud manusia di dunia ini,
tetapi beliau bersabda :
Badan mu itu wajib kamu penuhi haknya.
Artinya Rasulullah SAW menjalankan
tanggunggungjawabnya beribadah kepada Allah, Rasulullah juga adalah
seorang manusia, mengamalkan apa yang biasa di lakukan oleh manusia,
Rasulullah juga makan dan minum, Rasulullah juga tidur, kahwin, beristirehat,
bersenda gurau, berkumpul dengan keluarganya dan lain-lain lagi.
Pernah di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam
suatu hadis, Rasulullah SAW pernah bersabda kepada sahabat nya :
Demi
Allah, sesungguh nya aku ini adalah orang yang tertaqwa di antara kamu semua
kepada Allah dan paling takut kepada Nya, tetapi aku juga berpuasa dan berbuka,
aku juga bersembahyang (malam) tetapi juga tidur, juga aku kahwin dengan para
wanita. Maka barangsiapa yang enggan pada cara perjalanan ku, maka ia bukanlah
termasuk dalam golongan ku.
Maka jelas kepada kita, zuhud bukan lah bermaksud
meninggalkan dunia secara total, cuma sekadar jangan keterlaluan dalam mengejar
dunia sehingga melupakan akhirat. Ini konsep BALANCE LIFE