HAJI DAN QURBAN
Idul Adha juga merupakan hari istimewa, karena dua ibadah
agung dilaksanakan pada hari raya ini, yaitu ibadah haji dan ibadah
qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari
syi’ar Allah SWT yang harus dihormati dan diagungkan oleh setiap orang yang
beriman dan bertaqwa. Mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan
bukti akan ketaqwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya :
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa
mengagungkan syi’ar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati”. ( QS.Al-Hajj: 32)
Kedua ibadah agung ini, yaitu ibadah
haji dan ibadah qurban, tentu hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka
yang memiliki kedekatan dengan Allah. Jika
posisi seseorang jauh dari Allah, sungguh ia akan mengatakan “lebih baik
bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya - daripada pergi ke Makkah
menjalankan ibadah haji ataupun ziarah ke Madinah”. Namun bagi hamba-Nya yang
memiliki kedekatan dengan Rabbnya, dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma
Labbaik” lebih baik aku memenuhi seruan-Mu Ya Allah. Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang
yang jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini.
Namun bagi hamba yang dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan
segala apa yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.
Simbol manusia yang begitu dekat
dengan Allah yang karenanya diberi gelar Khalilullah (kekasih Allah) adalah
Ibrahim a.s.. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara totalitas
kepada Allah, tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha, yaitu ibadah
haji dan ibadah qurban.
Dalam ibadah haji, peran Ibrahim a.s.
tidak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal
dari panggilan nabi Ibrahim a.s. yang diperintahkan oleh Allah swt dalam
firmanNya dalam surah Al-Hajj ayat 26-27 :
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan
tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan) : “Janganlah
kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi
orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’
serta sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta
yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“.
(Al-Hajj: 26-27).
Ibadah haji ini harus diawali dengan
kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang
mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai
kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan antar seluruh
manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal
Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah.
Dengan penuh khusyu’ dan tawaddu’, seseorang akan larut dalam dzikir, munajat
dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh
perintahNya.
Dalam proses bimbingan spritual yang
cukup panjang, seseorang akan diuji pada hari berikutnya, dengan melontar
jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syaitan dan terhadap setiap yang
menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya diarahkan
hanya untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah, dan dalam ibadah thawaf
keliling satu titik fokus yang bernama ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk
mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia :
Katakanlah : “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Al-An’am: 162)
Akhirnya dengan modal keyakinan,
seseorang akan sanggup berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita
dalam naungan dan ridha Allah swt dalam bentuk sa’i antara bukit shafa dan
bukit marwah. Demikianlah ibadah haji yang sarat dengan pelajaran, yang
ditampilkan oleh Ibrahim a.s. dan keluarganya.
Dalam ibadah qurban, Nabi Ibrahim
tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt.
Ia harus menunjukkan kepatuhannya yang totalitas dengan harus menyembelih putra
kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama, sebagaimana disebutkan
dalam suroh Ash-Shaffat 102 :
“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar.”(Ash-Shaffat:102). Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan
apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.
Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit
untuk menentukan pilihan. Salah satu diantara dua pilihan yang memiliki
keterikatan besar dalam hidupnya, Allah atau Isma’il. Berdasarkan
rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan
menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata
Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya,
dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih
mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang
akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.
Dr. Ali Syari’ati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan
bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan kita cintai dalam
hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa
Isma’il kita? Bisa jadi diri
kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan
kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il yang karenanya kita
akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman
kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah.
Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois,
mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah
mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya:
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)
Oleh karena itu, dengan melihat keteladanan dan pengorbanan
yang telah ditunjukkan oleh seorang Ibrahim atapun Isma’il a.s., ... apapun
yang kita miliki dan yang kita cintai, maka kurbankanlah manakala Allah SWT menghendaki-Nya. Janganlah
kecintaan kita terhadap isma’il-isma’il itu akan membuat kita lupa kepada
Allah. Tentu negeri kita tercinta ini
sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim-Ibrahim yang siap berbuat untuk
kemaslahatan ummat meski harus mengorbankan sesuatu yang dicintainya, untuk
menyelamatkan rakyat dan bangsa dari kemerosotan dan keterpurukan akibat
runtuhnya nilai-nilai dan semangat berkurban, yang kemudian didominasi oleh
sikap egois, mementingkan diri sendiri, keserakahan dan kerakusan oleh sementara
orang.
Ketaatan yang tidak kalah teguhnya
dalam menjalankan perintah Allah adalah ketaatan yang ditunjukkan oleh Ismail
a.s. untuk memenuhi tugas bapaknya nabi Ibrahim a.s. Pertanyaan yang timbul
adalah : Kenapa Isma’il seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya
? Bagaimanakah Isma’il mampu memiliki kepatuhan yang begitu tinggi ? Sesungguhnya Nabi Ibrahim a.s. senantiasa
berdoa :
“Ya Tuhanku, anugerahkan kepadaku (seorang anak)
yang termasuk orang-orang yang shalih” (Ash-Shaffat: 100).
Maka Allah mengabulkan doanya :
“Maka Kami beri dia khabar gembira dengan
seorang anak yang amat sabar”. (Ash-Shaffat: 101).
Inilah rahasia kepatuhan Isma’il
yang tidak lepas dari peran orang tuanya dalam proses pembimbingan dan
pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang amat sabar dan yang
santun, yang memiliki kemampuan mensinergikan antara rasio dengan akal budi,
tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang begitu panjang.
Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimat
yang indah :
“Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang
diperintahkan Allah kepadamu, niscaya kamu akan mendapatiku termasuk orang orang
yang sabar”. (Ash-Shaffat: 102)
Orang tua mana yang tidak terharu
dengan jawaban seorang anak yang rela menjalankan perintah Allah yang
dibebankan dipundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok
anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah pentingnya didikan agama
bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil, jangan menunggu ketika mereka
remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana
ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat ‘ghulamun halim’.
Setelah mencermati dua pelajaran
kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas, Prof. Dr. Mushthafa Siba’i
pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah hati kita semua : “Akankah
seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai dirinya
sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri tanpa menghiraukan
kepentingan orang lain ? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang
mementingkan orang lain, dan kemudian mendahulukan kepentingan orang lain di atas
kepentingan dirinya sendiri ?
Memang manusia cenderung bersikap
egois dan mementingkan diri sendiri, ia melihat kepentingan orang lain melalui
kepentingan dirinya. Namun berkat tuntunan agama seseorang akan mampu
menjadikan dirinya mencintai orang lain sehingga ia akan bersedia untuk berkorban
demi kepentingan orang lain. Dengan
tuntunan itulah, maka agama akan mampu meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Tidaklah
beriman seorang diantara kamu sehingga ia menyintai saudaranya sebagaimana ia
menyintai dirinya sendiri” (HR. Buchori).
Ungkapan Az-Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang
telah dilakukan oleh ulama salaf dalam bidang ilmu pengetahuan untuk
kepentingan ummat manusia masa sekarang : “Aku begadang untuk mempelajari dan
meneliti ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan
bersenang-senang dengan wanita yang cantik. Aku bergerak kesana kemari untuk
memecahkan satu masalah ilmu pengetahuan lebih enak dan lebih menarik seleraku
dibandingkan hidangan yang lezat”.
Kita sadar bahwa kita semua telah berhutang budi kepada para
pendahulu, perintis pejuang kemerdekaan. Kita telah berhutang budi kepada
generasi sebelumnya sehingga kita dapat merasakan kenikmatan saat ini sebagai pengorbanan,
perjuangan mereka. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan pengorbanan mereka
itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generasi berikutnya
seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita. Akankah
generasi kita saat ini mampu menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan
kepentingan orang lain ? Apakah generasi kita mampu mempertahankan akhlak luhur
yang memang telah diperintahkan oleh Allah SWT ? Allah telah memberi kan isyarat
sebagaimana termaktub dalam surah Al-Hasr ayat 9 :
“Dan orang-orang yang telah
menempati Kota
Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Al Hasyr : 9)
‘Idul Adha
hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai ibadah haji dan ibadah
qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukhuwah, pengorbanan serta
semangat mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan
lahir keluarga-keluarga Ibrahim di bumi Indonesia tercinta ini, yang layak
menjadi contoh tauladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh umat manusia.