TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Senin, 12 Juni 2017

TUGAS DAN MATERI KULIAH TGL 13-16 JUNI 2017

TUGAS DAN MATERI KULIAH TGL 13-16 JUNI 2017

1. PELAJARI
2. RESUM

GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDIA DAN PAKISTAN
Abul Kalam Azad dan Al Maududi

A.    Biografi Abul kalam Azad
Maulana Abul Kalam Azad dilahirkan di Makkah, pada tanggal 11 November 1888. Orang tua Abul Kalam Azad adalah seorang ulama dan pemimpin yang pindah ke Makkah setelah gagalnya pemberontakan tahun 1857. Didikan pertama diperolehnya di Makkah dan didikan selanjutnya di Al-Azhar Kairo. Setelah orang tuanya meninggal ia pergi ke India dan menetap di sana untuk selama-lamanya. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa sepuluh tahun sejak keberadaannya di Makkah, Khairuddin yang tidak lain adalah ayah Abul Kalam Azad, kembali ke Calcuta India bersama seluruh keluarganya dan menetap disana.
Dari proses pendidikan yang dilaluinya di perguruan-perguruan di Makkah dan Kairo-Mesir, Abul Kalam Azad hanya memperoleh pengetahuan bahasa Arab dan Agama. Setelah di India, ia menambah pengetahuannya tentang bahasa Inggris dan ilmu-ilmu pengetahuan modern barat dengan usaha sendiri. Sejak kecil Abul Kalam Azad bercita-cita menjadi pengarang dan politikus. Ia tidak ingin menjadi ulama seperti Ayahnya. Meskipun ada yang mencatat bahwa ketika di Mesir Abul Kalam Azad akrab dengan ide-ide reformis Syeikh Muhammad Abduh dan ide Nasionalisme dan anti Imperialisme Mustafa Kamal.
Dalam usia masih muda, pada tahun 1912 Maulana Abul Kalam Azad membuat suatu majalah di calcuta yang bernama Al-Hilal. Padamulanya sirkulasi majalah itu berjumlah sebelas ribu tetapi kemudian meningkat menjadi 25.000. Di majalah inilah ia keluarkan ide-idenya mengenai Agama yang pada waktu itu mengejutkan bagi golongan Ulama. Al-Hilal juga mengandung ide-ide politik dan karena serangan dan kritiknya yang tajam terhadap pemerintah Inggris, majalah itu akhirnya dilarang terbit.
Dalam meniti karier politik, sejak muda ia telah menggabungkan diri dengan partai Kongres. Aktivitasnya dalam lapangan politik menyebabkan ia beberapa kali ditangkap dan dipenjarakan. Pada tahun 1923, dalam usia 35 tahun, ia dipilih sebagai presiden partai Kongres. 17 tahun kemudian, pada tahun 1940, ia dipilih untuk kedua kalinya menjadi presiden. Selama hidupnya ia selalu memegang jabatan penting di Partai Kongres, dan setelah India merdeka, ia pernah menjadi menteri pendidikan India.
Dari semenjak muda ia telah memasuki lapangan politik dan menggabungkan diri dengan partai Kongres. Aktivitasnya dalam lapangan politik membuat ia beberapa kali ditangkap dan dipenjarakan. di tahun 1923, dalam usia 35 tahun, ia dipilih menjadi presiden partai Kongres. 17 tahun kemudian, pada tahun 1940, ia dipilih untuk kedua kalinya menjadi presiden. Selama hidupnya ia selalu memegang jabatan penting di partai Kongres, dan setelah India merdeka ia pernah menjadi menteri pendidikan India. Abul Kalam Azad meninggal dunia di New Delhi pada 22 Februari tahun 1958.

B.     Pembaharuan Pemikiran Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India
Peranan Abul Kalam Azad dalam lapangan pemikiran pembaharuan dalam Islam kurang menonjol jika dibandingkan dengan kegiatannya dalam bidang politik. Banyak penulis menyebutkan bahwa di masa mudanya dia adalah seorang Pan-Islamis dan kemudian berubah menjadi Nasionalis India. Ketika masih muda, Abul Kalam Azad sangat berpengaruh terhadap golongan Intelegensia Islam India. Namun setelah Abul Kalam Azad  berubah menjadi Nasionalis India, ia dianggap kurang menarik lagi bagi golongan Intelegensia Islam India tersebut.
Pemikirannya dalam bidang agama tidak seliberal pemikiran Akhmad Khan. Sebagai murid Sibli, pembaharuannya terlihat bersifat moderat. Tujuannya seperti tersebut dalam Al-Hilal ialah melepaskan umat Islam dari  pemikiran-pemikiran abad pertengahan dan taklid. Ia menganjurkan kembali kepada Al-Qur’an. Dan untuk keperluan ini ia terjemahkan Al-Qur’an kedalam bahasa urdu dengan diberi tafsiran. Al-Qur’an harus dipahami sebagaimana adanya, terlepas pengaruh dari pemikiran ahli hukum, sufi, teolog, filosof, dan sebagainya.
Menurut Abul Kalam Azad, kemunduran umat Islam disebabkan oleh dogmatisme dan sikap taklid, juga karena umat Islam tidak seluruhnya menjalankan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan komprehensif. Kebangkitan umat Islam menurut Azad dapat diwujudkan dengan melepaskan paham-paham asing, juga dengan melaksanakan ajaran Islam dalam segala bidang kehidupan umat Islam. Juga tidak lupa menurut azad kekuatan umat Islam akan timbul kembali dengan memperkuat tali persaudaraan dan persatuan umat Islam di seluruh dunia. Dalam hal ini Abul Kalam Azad sangat kagum kepada Jamaludin Al-Afghani.
Ditengah penjajahan Inggris di India, muncul para tokoh yang berjuang untuk kemerdekaan India. Diantaranya adalah munculnya sejumlah pemikir muslim yang memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui pemurnian, pembaharuan pemikiran dan berbagai gagasan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Dari sejumlah pemikir yang ada, Abul Kalam Azad adalah salah satunya. Keinginan agar India merdeka, Abul Kalam Azad akhirnya menjadi seorang Nasionalis. Menurut Abul Kalam, antara Islam dan Nasionalisme tidak ada pertentangan. Oleh karena itu ia menentang keras gerakan Aligarh yang menggaungkan anti Nasionalisme. Tapi ia juga mengkritisi pendidikan modern yang dibawa sayyid Akhmad Khan yang hanya menghasilkan orang-orang berjiwa pegawai dan tunduk serta patuh pada Inggris.
Menurut Abul Kalam Azad, rasa takut umat Islam terhadap mayoritas Hindu tidak mempunyai dasar. Karena menurutnya, jika umat Islam masih tetap ingin hidup dan tinggal di India, maka ia harus menjadikan umat Hindu sebagai tetangga dan saudara yang saling berdampingan. Tetapi jika umat Islam tetap khawatir jika India merdeka, mereka tidak aman dari orang-orang Hindu, maka pilihannya adalah ia tetap berada dibawah jajahan Inggris. Sedangkan Azad berpendapat Islam tidak membolehkan untuk mengorbankan kemerdekaan.
Perjuangan Abul Kalam Azad untuk kemerdekaan India tidak main-main, sejarah India mencatat ia sebagai orang penting dalam usaha membebaskan India dari penjajah Inggris. Dia juga dianggap sebagai tokoh pembangunan India modern yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk membebaskan India. Banyak yang menganggap ia sebagai seorang yang tercerahkan, terpelajar, sederhana, rendah hati dan pemimpin yang senantiasa memberikan ketauladanan untuk orang lain. Sehingga banyak yang menuliskan tentang Abul Kalam Azad dalam enam decade terakhir.
Perjuangannya untuk kemerdekaan India ia Iakukan dengan kendaraan politiknya yaitu partai Kongress. Pasca meninggalnya tokoh partai Kongress MA. Ansari pada 1936, Abul Kalam Azad menjadi tokoh muslim paling berpengaruh di partai tersebut. Sehingga pada tahun 1939 akhirnya Azad terpilih sebagai presiden partai Kongress. Meski sempat mengalami pembuangan oleh penguasa Inggris karena Abul Kalam Azad dianggap akan membahayakan kedudukan mereka di India, tapi Azad tetap memimpin partai Kongress hingga tahun 1946.
Menyusul kemerdekaan India, Abul Kalam Azad akhirnya menjabat sebagai menteri pendidikan selama sepuluh tahun. Walau bukan seorang administrator yang efektif, tetapi selama masa jabatannya sempat membuat beberapa kebijakan penting seperti mengadakan pendidikan teknis bagi perempuan dan orang dewasa, pendirian akademi sastra, menolak membuang bahasa Inggris sebagai bahasa Nasional.
Pernyataan Abul Kalam Azad yang menunjukkan jati dirinya sebagai Muslim Nasionalis. "Saya seorang Muslim dan sangat sadar akan fakta bahwa saya telah mewarisi tradisi mulia Islam dari empat belas ratus tahun terakhir, dan  saya tidak siap untuk lepaskan meskipun sebagian kecil dari warisan itu. Sejarah dan ajaran Islam, seni dan surat-surat, budaya dan peradaban adalah bagian dari kekayaan yang saya miliki, dan itu adalah tugas saya untuk menghargai dan menjaga itu semua. Tapi, dengan semua perasaan ini, saya memiliki keinginan yang sama dalam, lahir dari pengalaman hidup yang diperkuat, dan tidak terhalang oleh ruh Islam. Saya juga bangga dengan fakta bahwa saya seorang India, merupakan bagian penting dari kesatuan tak terpisahkan dari kebangsaan India. Ini merupakan faktor penting dalam merubah total, tanpa adanya ini bangunan tetap tidak akan lengkap.
Jika seluruh dunia adalah negara kita dan harus dihormati, debu India memiliki tempat pertama. Jika semua umat manusia adalah saudara kita, maka India memiliki tempat pertama.
Tidak hanya kebebasan nasional, kita mustahil tanpa persatuan Hindu-Muslim, kita juga tidak dapat membuat tanpa itu, prinsip-prinsip utama dari umat manusia. Jika malaikat mengatakan kepada saya " Buang persatuan Hindu-Muslim dan dalam waktu 24 jam saya akan memberikan kebebasan ke India”.
Saya lebih suka persatuan Hindu-Muslim. Untuk keterlambatan dalam pencapaian kebebasan akan menjadi kerugian bagi India saja, tetapi jika persatuan Hindu-Muslim menghilang, yang akan menjadi kerugian bagi seluruh umat manusia.
Itu takdir sejarah India bahwa ras-ras manusia, budaya, dan agama harus mengalir padanya, dan bahwa banyak kafilah harus menemukan beristirahat di sini. Salah satu yang terakhir ini adalah bahwa karavan-karavan para pengikut Islam. Ini datang ke sini dan menetap untuk kebaikan Di India menanggung segala cap upaya bersama dari Hindu dan Muslim. Bahasa kami berbeda, tapi kami tumbuh untuk menggunakan bahasa yang umum sikap kami dan adat-istiadat yang berbeda, tetapi mereka menghasilkan sintesis baru. Tidak ada fantasi atau buatan licik untuk memisahkan dan memecah belah kita dapat mematahkan kesatuan ini.

C.    Biografi Abul A’la Al Maududi
Abul A’la al Maududi dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 bertepatan dengan 25 September 1903 di Aurangabad, suatu kota terkenal di daerah yang sekarang dikenal sebagai Andra Pradesh, India. Ia dilahirkan dari keluarga yang terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama Sayyid. Keluarga al Maududi adalah keturunan langsung dari Khawajah Maunuddin Ajmeri.
Ayah al Maududi, adalah Ahmad hasan yang dilahirkan pada 1855 M, ia seorang ahli fiqih yang sangat shlmeh, disamping seorang pengacara, ia juga seorang pengikut tasawuf yang pernah belajar di Aligarh. al Maududi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memperoleh pendidikan dasarnya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Setelah berusia 11 tahun, ia masuk ke Faqaniyat di Aurangabad sebuah sekolah menengah agama yang memadukan antara system pendidikan modern dan system pendidikan tradisional. Setamat dari sekolah ini, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi Dar al ‘Ulum di Hiderabat. al Maududi terpaksa harus meninggalkan sekolah ini pada uisa 16 tahun, karena kematian ayahnya. Keadaan ini mendorong bekerja di salah satu penerbit Islam di Delhi. Sementara pada waktu kosong, ia belahar secara otodidak membaca buku-buku sastra Arab, tafsir, mantik dan filsafat, ditopang oleh kemampuan bahasanya yaitu : Arab, Inggris, Persia dan Urdu (bahsa Ibu).
Sejak mudanya al Maududi telah mempunyai kecenderungan kuat pada bidang jurnalistik, pernah menjadi editor beberapa massa. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur (India). Kemudian menjadi pemimpin al Jami’ah salah satu harian Islam yang paling berpengaruh dan populer di New Delhi (1920 an). Minatnya pada politik tumbuh pada usia sekitar 20 tahun, dan buah tangannya yang pertamadalam masalah ini adalah al Jihaad fi al Islam (Jihad dalam Islam), salah satu buku yang cermat dan tajam dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai.
Pemikiran al Maududi, tidak saja berpengaruh dan bergema di kawasan sub kontinen Indo-Pakistan. melainkan di seluruh dunia Islam. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di samping ia pernah berkeliling dunia untuk memberikan kuliah di berbagai ibu kota negara-negara timur tengah, London, New York, Toronto dan sejumlah pusat studi di kota-kota besar lainnya. Ia pernah juga malakukan studi tour ke beberapa tempat seperti Jordan, Jerussalem, Suriah, Mesir dan Saudi Arabia, untuk mempelajari aspek-aspek geografi dan historinya.
Akhirnya pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan “subversif” yang berkaitan dengan masalah sekte Ahmadiyah Qadani. Akan tetapi, al Maududi bukannya minta naik banding atau memohon pengampunan pada penguasa pada waktu itu. Dengan semangat gembira ia memilih kematian dari pada meminta pengampunan kepada mereka yang memang ingin menggantungnya. Keteguhan al Maududi ini, justru menggoncangkan pemerintah dan di bawah tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Pakistan mengubah hukuman mati itu menjadi hukuman seumur hidup.

D.    Pembaharuan Abul A’la Al Maududi
Pembaharuan yang ditekankan oleh al Maududi, pada prinsipnya dilandaskan pada visinya terhadap Islam yang berpangkal pada doktrin “tauhid”. Doktrin inilah yang menjadi risalah para Nabi dan Rasul Allah untuk mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan, The Unity of Godhead) kepada seluruh umat manusia dan sepanjang masa.
Doktrin tauhid terpatri dengan tepat dalam kalimat ”tiada Tuhan melainkan Allah” suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan kukuh tentang keesaan sang pencipta. Dalam pandangan al Maududi, mempunyai implikasi yang lebih jauh dari pada apa yang ditujukan oleh keterangan itu sepintas lalu. Menurut beliau, ”syahadat” itu bukan hanya menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai satu-satunya sasaran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, sebagai Maha Pengatur.
Dengan demikian, seorang yang bertauhid akan loyal, tunduk secara loyal kepada Allah. Kemudian “syahadat” merupakan deklarasi moral, suatu ajakan kepada manusia menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk beramal dan berbakti kepada-Nya, dan keadaan inilah yang disebut muslim, karena ketundukannya secara total kepada hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kebebasan untuk tunduk atau tidak mematuhi hukum-hukum yang ditetapkannya. Hanya mereka yang patuh saja disebut muslim.
Kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum Tuhan, terpenuhi dengan adanya misi keNabian. Dari al Qur’an dan sunnah dapat diketahui aturan-aturan hidup yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. al Maududi menolak adanya anggapan bahwa Islam hanyalah seperangkat doktrin tentang metafisika dan ritual belaka. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa Islam adalah “Way of Life”, karena Islam mempunyai ajaran yang konprehensif dan mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.
Selanjutnya untuk mendukung pernyataan di atas, al Maududi menginterprestasikan kembali ayat-ayat al Qur’an dan hadits untuk menjawab tantangan zaman. Dalam hlm ini, ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan konsep-konsep kehidupan sosial politik Islam dari kedua sumber ajaran tersebut di atas.
Konsep-konsep al Maududi yang ditujukan bagi masyarakat abad ke-20, mencakup problem modernitas, menganalisis hubungan Islam dan nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, marxisme, perbankan modern, pendidikan, hukum, kaum perempuan, pekerjaan, zionisme dan hubungan internasional. Dengan demikian, pemikiran al Maududi secara luas dan sistematis berusaha menunjukkan relevansi komprehensif Islam dalam semua aspek kehidupan.
Dalam perspektif kita tentang teori politik modern atau teori politik sekuler, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh al Maududi kelihatan menarik, bahkan ”ganjil”. Keunikan atau keganjilan teori politik al Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Oleh karena itu, teori politik al Maududi berbeda dengan teori demokrasi dari Barat pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia melihat dalam kenyatan yang tampak dari praktek demokrasi Barat adalah kegagalan menciptakan keadaan sosio-ekonomi, sosio-politik serta keadilan hukum.
Hak-hak politik rakyat hanya terbatas sampai formalitas empat atau lima tahun sekali, dan dalam prakteknya, yang memperoleh perlindungan hukum hanya mereka yang berasal dari lapisan atas. Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hukum hanya merupakan slogan kosong tanpa dirahasiakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedaan seperi di atas, jelas bertentangan dengan prinsip Islam. Bahwa setiap manusia adalah khalifah Allah dan masing-masing memikul tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhalifahan. Dengan demikian, status atau kedudukan setiap manusia adalah sederajat dalam masyarakat. Seseorang yang terpilih menjadi penguasa, kemudian ia berkuasa secara mutlak dan semena-mena, berarti ia telah merampas hak-hak orang lain sebagai khalifah Allah, dan tindakan ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam.
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan rakyat, tidak hanya berdasarkan adanya bukti praktek Demokrasi yang sering menyeleweng, tetapi terutama berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat al Qur’an, yang menunjukkan beberapa prinsip Negara Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :
a)      Otoritas dan kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan
b)      Tuhan saja yang berhak memberikan hukum bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum serta menentukan apa yang halal dan apa yang haram. Jadi, hukum di sini berarti norma-norma dasar.
c)      Pemerintahan yang menjalankan aturan-aturan dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat,  karena pada dasarnya pemerintah bertindak sebagai badan politik yang memperlakukan hukum-hukum Tuhan.

Konsep  kenegaraan Islam al Maududi, muncul karena keinginannya menjadikan Pakistan sebagai sebuah Negara yang betul-betul Islam. Konsepsi kenegaraan ini, yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas dijabarkan sebagai berikut :
a)      Sistem kenegaraan Islam bukan demokrasi, karena dalam system ini, kedaulatan (kekuasaan) negara secara mutlak di tangan rakyat. Sistem kenagaraan Islam adalah “Theo demokrasi”, karena system ini mengakui bahwa kedaulatan rakyat itu dibatasi oleh hukum-hukum Tuhan dari al Qur’an dan sunnah. Manusia sebagai khalifah-Nya di bumi ini.
b)      Pemerintah atau badan eksekutif, hanya dibentuk oleh umat Islam. Persoalan kenegaraan yang tidak diatur di dalam nash yang jelas, dipecahkan melalui kesepakatan umat Islam. Untuk mengetahui penjelasan dari al Qur’an dan sunnah diperlukan ijtihad dari orang yang mencapai tingkat mujtahid. Sedangkan hukum-hukum yang diambil dari nash-nash yang jelas, tidak seorang pun boleh mengubahnya. Seperti hukum riba, waris dan lain-lain.
c)      Kekuasaan negara, dilakukan oleh tiga lembaga yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan ketentuan debagai berikut :
1)      Kepala negara atau pemerintah, merupakan pemimpin tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyat. Ia harus selalu berkonsultasi dengan majelis syura yang mendapat kepercayaan umat.
2)      Keputusan pada majelis syura, pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak.
3)      Jabatan kepala negara dan jabatan-jabatan lain yang penting tidak boleh diduduki oleh orang yang ambisius
4)      Anggota majelis syura, tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing harus menyampaikan pendapatnya secara perorangan.
5)      badan yudikatif atau lembaga peradilan berada di luar lembaga eksekutif, hakim bertugas melaksanakan hukum-hukum Allah atas hambanya, bukan mewakili kepala negara, tetapi mewakili Allah.
d)     Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga negara yang beragama Islam, laki-laki dewasa, shaleh, mampu menafsirkan dan menerapkan syariah, serta menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah Nabi. Selanjutnya tugas majelis syura sebagai berikut :
1)      Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk-petunjuk yang ditemukan secara jelas dalam al Qur’an dan hadits, serta peraturan pelaksanaannya.
2)      Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al Qur’an atau hadits, maka harus dapat memutuskan mana yang lebih tepat untuk ditetapkan.
3)      Jika terdapat petunjuk yang jelas, maka penentuan hukum dilakukan dengan memperhatikan petunjuk umum dari al Qur’an.
e)      Dalam negara Islam, terdapat dua kategori kewarganegaraan ; warga negara muslim dan non muslim (dzimmi). Yang disebutkan terakhir ini mendapatkan perlindungan dari negara, hak serta kewajiban tertentu, seperti hak untuk beribadah menurut ajaran agamanya. Dalam masalah keagamaan, mereka dibina oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, mereka tunduk kepada hukum Islam sebagai hukum mayoritas.

Dengan demikian, negara Islam adalah negara yang berdasarkan syari’ah atau agama. Dan hanya mereka yang menerima ideology islam yang berhak mengatur negara. Jadi, inilah yang menjadi salah satu perbedaan yang mendasar antara nasional dan negara Islam. Negara nasional, mendasarkan keanggotaan warganya pada kesamaan bangsa, ras, atau etnik yang sederhana. Negara nasional mengutamakan serta mendahulukan bangsanya sendiri daripada bangsa-bangsa lain. hal ini berpeluang menimbulkan ketegangan dan permusuhan di antara mereka. Sedangkan kewarganegaraan Islam didasarkan atas ideology atau agama, mereka yang menerima prinsip-prinsip Islam tidak dibeda-bedakan, baik perbedaan kebangsaan, ras, kelas maupun negaranya.

Senin, 05 Juni 2017

MATERI KULIAH TANGGAL 6 - 9 MEI 2017



MATERI KULIAH TANGGAL 6 - 9 MEI 2017

KELAS :
4B01 BSA DAN KPI
4B01 PAI
4C01 PAI DAN AS

TUGASNYA :
1.       Baca tulisan ini…
2.       Resum

  
 
Memahami pembaharuan pemikiran Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan pengaruhnya

1.   Sayyid Amir Ali (1849- 1928)
Nama  lengkapnya Amir Ali, Ia dilahirkan di India pada tanggal 6 April 1849.[1] Dia berasal dari keturunan Syi’ah yang pindah dari Khurazan bersama dengan Nahdhirsyah dan menetap di India pada tahun 1736 M.[2]
Semasa kecilnya Amir Ali terkenal sebagai anak yang pintar dan punya etos kerja yang tinggi. Keluarganya bekerja pada Istana raja Mughol dan Awadh dan kompeni India Timur. Syed Amir Ali memperoleh pendidikan di perguruan Tinggi Muhsiniyya Hooghl Calcutta. Kemudian beliau melanjutkan ke Universitas Aligarh dengan mempelajari Bahasa Arab, sastra dan hukum Ingrish. Setelah itu Amir Ali meneruskan pendidikannya di Ingrish pada tahun 1873 ia meraih gelar sarjana hukum.[3]
Amir Ali seorang yang luas pengetahuannya dan terkenal baik di timur maupun di Barat. Dia mengetahui Bahasa Arab dan Persia. Pada masa remajanya ia telah berhubungan dengan sastrawan Ingris sekaligus mendalami hasil-hasil karyanya dan telah membaca novel-novel Shakespeare, Firdausnya Halmilton dan roman Walter Scoott. Dia juga telah membaca buku Gibbon yang berisi sejarah jatuhnya Imperium Romawi. Setelah memperoleh kesarjanahannya dia kembali ke India dan bekerja pada berbagai lapangan penting. Ia menjadi guru besar dalam hukum Islam, pengacara, hukum, pelayan masyarakat, pegawai pemerintah Ingris, politikus, dan juga seorang penulis.[4]
Pokok-pokok Pikiran Sayyid Amir Ali tentang pembaruan Islam dapat diketahui dari bukunya The Spirit Of Islam sebagai berikut:
Pada bagian pertama dalam buku tersebut adalah menyangkut uraian apologi terhadap kehidupan Nabi Muhammad SAW, hal ini dilakukan untuk menunjukan  pada dunia Barat bahwa sifat-sifat Nabi Muhammad itu tidak lain adalah manis, lemah lembut, satria, pemaaf serta belas kasih.[5]
Dengan sikap apologis yang di kumandangkan para pemikir Islam tersebut gunanya adalah mengajak umat Islam meninjau kembali kepada sejarah masa lampau untuk membuktikan bahwa agama Islam yang mereka anut bukanlah agama yang menyebabkan kemunduran dan menghambat kemajuan, akan tetapi sebaliknya. Amir Ali menguraikan mulai dari keadaan kota Mekkah pra Muhammad, kelahirannya, pengangkatannya sebagai rasul, hijrahnya, sampai pada pasca Muhammad seperti penggantinya dan Khalifah-khalifah sesudahnya.
Sedang pada bagian kedua pada buku tersebut ia mulai berbicara tentang Islam itu sendiri. Pada bab pertama Amir Ali berbicara tentang tauhid yaitu tentang keesaan Allah, tidak terwujud benda (materi), kuasa, penyayang dan maha pengasih.[6]
Pada bab kedua ia menjelaskan perihal peribadatan yang dilakukan umat Islam. Konsep sembahyang, puasa, membayar zakat dan naik haji. Dengan peribadatan sembahyang umat Islam mampu menguasai hasrat jiwa manusia untuk mencurahkan cintanya dan rasa syukurnya kepada Tuhan dan mewajibkan sembahyang itu dilakukan dalam waktu tertentu atau yang telah ditentukan. Untuk mencegah supaya pikiran jangan mengembara kepada soal-soal kebendaan, serta nilai sembahyang sebagai jalan untuk meninggikan moral dan mensucikan diri dan hati.
Sedangkan pada bab ketiga, Amir Ali berbicara tentang hari kiamat (hari berbangkit), yang harus dipercaya umat Islam. Di akhirat nanti tiap orang harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia ini. Kesenangan dan kesengsaraan seseorang bergantung pada perbuatannya dihidup pertama. Itulah kenyataan pokok yang harus diterima dalam Islam. Akan tetapi soal bentuk kesenangan dan kesengsaraan yang diperoleh nanti di akhirat umpamanya bukan menjadi soal pokok, perbedaan dalam hal ini boleh saja.[7] Namun ajaran mengenai akhirat ini amat besar arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan Jahat.
Dalam membahas soal perbudakan Syed Amir Ali, menerangkan bahwa sistem perbudakan sudah sejak lama dari zaman purba merata seluruh dunia. Bangsa Yahudi, Romawai dan Jerman pada masa lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan. Agama Kristen, demikian selanjutnya ia menulis. Tidak membawa ajaran untuk mengahapus sistem perbudakan itu. Islam berlainan dengan agama-agama sebelumya, datang dengan ajaran untuk membebaskan budak. Budak harus diberikan kebebasan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh. Budak harus pula diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dibedakan dengan manusia lain. Dalam ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW, sistem perbudakan diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam masyarakat dan dapat diterima hanya untuk sementara. Ajaran-ajaran mengenai perlakuan baik dan pembebasan terhadap budak. Pada akhirnya harus membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.
Pada bab keempat Syed Amir Ali berbicara tentang semangat jihad, dan jihad menurut konsep Amir Ali ini berbeda dengan konsep jihad dari pemikir Islam lain. Jihad dalam konsepnya merupakan alternatif terakhir yang dilakukan oleh umat Islam, apabila kita diserang maka kita harus berperang atau mempertahankan diri.
Sedang pada bab kelima ia berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam. Menurutnya salah satu ajaran yang asasi dalam Islam ialah menghormati wanita. Rasulullah SAW sangat menghargai hak-hak wanita, ia memberikan kedudukan yang sama antara wanita dengan kaum pria dalam menjalankan segala kekuasaan hukum dan jabatan. Poligami dengan membatasi jumlah maksimum perkawinan dalam masa yang sama dan menciptakan peraturan yang seadil-adilnya mengenai semua kewajiban laki-laki. Amir Ali lebih lanjut mengatakan, hendaklah diingat kenyataan bahwa adanya poligami tergantung keadaan. Ada masa-masa keadaan-keadaan masyarakat. Dimana poligami itu sungguh-sungguh perlu untuk memelihara wanita dari kelaparan atau kemelaratan. Sedangkan pada keadaan tertentu poligami itu tidak diperbolehkan. Dalam masalah politik Amir Ali mengungkapkan bahwa inti sari politik Islam bisa dilihat dari piagam Madinah dan dalam pesan yang dikirim kepada orang kristen di Najran dan daerah-daerah tetangga setelah Islam berdiri di Jazirah Arab. Dokumen tersebut yang kemudian sebagian besar memberikan tuntunan bagi semua penguasa Islam dalam caranya memperlakukan rakyatnya yang bukan Islam. Jika mereka menyeleweng dari padanya dalam menetapkan suatu peristiwa, maka hal itu disebabkan oleh sifat penguasa yang bersangkutan. Sikap toleransi yang tinggi ini hanya ada dalam Islam, seperti sikap yang diberikan kepada pemeluk lain oleh Nabi Muhammad SAW, asal mereka tidak mengingkari janji dan mengganggu, maka hak dan keselamatan mereka terjamin.
Dalam bab ilmu pengetahuan, Amir Ali mengemukakan bahwa kemunduran umat Islam terletak pada keadaan umat Islam yang menganggap pintu Ijtihad telah tertutup dan tidak dibolehkan lagi. Ia memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal, ia menguraikan bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam dahulu karena mereka berpegang teguh kepada ajaran Nabi Muhammad dan berusaha keras melaksanakannya.
Dalam uraiannya mengenai pemikiran dan filsafat dalam Islam, Syed Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam Al-Qur’an bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat. Dengan jelas ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Islam bukan dijiwai oleh paham Jabariah akan tetapi qodriyyah, yaitu faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan (free  will and free act). Paham inilah yang menimbulkan peradaban Islam zaman klasik. Kaum mu’tazilah mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[8]

2.   Muhammad Iqbal (1877-1938): Penyatu Dua KUtub Pemikiran
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot pada tanggal 9 November 1877. Dia seorang sasterawan, filosof, politikus dan pemikir Islam yang mampu memadukan metode pemikiran barat dengan perenungan timur.[9] Keberadaannya mendominasi kancah pemikiran dan politik Islam di India pada abad ke 20, menggantikan kedudukan Ahmad Khan pada abad sebelumnya.[10]
Dia berasal dari keluarga kelas menengah di Punjab kemudian belajar sampai ke peringkat Master di Lahore. Di kota ini dia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang mendorongnya untuk belajar ke Inggeris. Tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya  di Cambridge untuk mendalami Filsafat. Kemudian pindah ke Munich, Jerman menulis Desertasi berjudul The Development of Metaphysics in Persia.[11]
Tahun 1908 dia kembali ke Lahore bekerja sebagai seorang lawyer dan dosen filsafat di beberapa universitas. Hasil dari kuliah filsafatnya pada akhirnya  menjadi buku  sangat terkenal “The Recontruction of Religious Thought in Islam” yang membahas masalah keagamaan seperti Tuhan, kenabian, hukum, filsafat, tasawuf dan lainnya dengan pendekatan modern dan sangat sistematik.[12]
Inti dari pemikiran pembaharuan Iqbal juga tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh lain di India  khususnya dalam meresponi kondisi masyarakat yang zumud dan tertinggal. Selain itu dia juga menolak pemahaman dan pengamalan yang salah tentang konsep zuhud dalam ajaran tasawuf yang menjadi satu penyebab kemunduran umat Islam.[13]

Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
1.        Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaruan Islam dan pintu ijtihad tetap terbuka.
2.        Umat Islam perlu mengembangkan sikap dinamisme. Dalam syiarnya, ia mendorong umat Islam untuk bergerak dan jangan tinggal diam. 
3.        Kemunduran umat Islam disebabkan oleh kebekuan dan kejumudan dalam berpikir.
4.        Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai per- kembangan zaman.
5.        Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi yang dimiliki Barat.
6.        Perhatian umat Islam terhadap zuhud menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keduniaan dan sosial kemasyarakatan. 

3.   Muhammad Ali Jinnah (1876-1948): Bapak Pakistan
Tokoh yang sezaman dengan Iqbal adalah  Muhammad Ali Jinnah (selanjutnya disebut dengan Jinnah), anak seorang saudagar yang lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1876. Semenjak masa remaja dia telah meninggalkan India menuju London untuk melanjutkan studi di bidang Hukum dan menjadi pengacara sukses.
Jinnah mulai memasuki dunia politik pada tahun 1906, kemudian bergabung dengan Indian National Congress di bawah bimbingan Dadabhai Naoroji. Pada tahun 1910 dia terpilih menjadi ahli Viceroy’s Legislative Council mewakili masyarakat Muslim Bombay.
Berbeda  dengan tokoh pergerakan Islam sebelum dan sezamannya yang biasanya melalui pendidikan Islam tradisional, Jinnah justru melalui semua pendidikan di sekolah secular. Maka ada sebagian  pendapat menyatakan  bahwa Jinnah pada awalnya tidak lebih dari  seorang nasionalis moderat yang tidak memiliki keterikatan apapun dengan gerakan Islam.[14] Maka wajar jika   pada awalnya dia tidak menolak konsep satu Negara yang dicadangkan masyarakat Hindu dan nasionalis Muslim. Sesudah tahun 1913 barulah Jinnah lebih dekat kepada kepentingan Islam dan mendukung berdirinya Negara Islam Pakistan.[15]
Perubahan pada diri Jinnah terjadi pada April tahun 1913 saat mengunjungi London dan bertemu dengan Maulana Muhammad Ali dan Syed Wazir Hasan. Kedua tokoh ini meminta Jinnah untuk bergabung dengan Liga Muslim.[16]
Ide tentang negara Islam Pakistan sudah mulai ditiupkan oleh Shah Waliullah, lalu dimunculkan oleh Ahmad Khan, dan dikumandangkan oleh Iqbal, akan tetapi Jinnah sesungguhnya orang yang merealisasikannya.[17] Artinya, Jinnah mampu merealisasikan ide-ide tokoh sebelumnya ke alam nyata. Dia lebih cenderung kepada praktisi bukan pemikir.
Walaupun tidak banyak mengeluarkan filsafat dan pemikiran seperti Iqbal, akan tetapi perannya dalam membangun negara Islam Pakistan tidak dapat diingkari. Pada sisi lain perannya mewujudkan negara Islam adalah bukti bahwa  dia tetap berasusmsi Islam sebagai agama yang sempurna, bukan hanya mengatur permasalahan ibadah, akan tetapi juga negara.
Pada hakikatnya pendirian  negara Islam Pakistan yang merdeka  tanggal 15 Agustus 1947[18]  adalah klimaks dari perjuangan umat Islam di India untuk memiliki negara sendiri yang didasari keyakinan bahwa Hindu dan Muslim di India sesungguhnya tidak mungkin dapat bersatu. Karena agama, budaya dan adat yang berbeda akan menjadi penghalang perpaduan bangsa di masa akan datang seperti telah diramalkan oleh Shah Waliullah, Ahmad Khan dan Iqbal.[19]
Kenyataan ini ternyata terbukti dengan berbagai konfik yang terjadi di antara umat Islam dengan umat Hindu, seperti peristiwa bulan May 1923 di Calcuta, Juli 1924 di Bakrid dan Gulburga dan 2 April 1926 di Calcuta yang meninggalkan banyak korban. Bahkan di tahun 1927 saja ada lebih kurang 31 kasus pertumpahan darah.[20]
Penyebab konflik sudah sangat beragam, dari masalah sejarah, politik, agama, bahkan yang terakhir disebabkan oleh masalah ekonomi. Karena  dari aspek terakhir ini umat Islam berada pada tingkatan yang lebih rendah dibandingkan masyarakat Hindu.[21] Namun yang jelas benih konflik itu sudah wujud semenjak awal, dan peristiwa mutini tahun 1857 merupakan salah satu puncaknya.[22]



[1]  Syed Amir Ali,The Spirit Of Islam, terj. Oleh H.B Jassin, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 20.
[2] Muhammad Yasir: Syed Amir Ali: Rekonstuksi Islam
[3] Harun Nasution,Loc.cit
[4] Syed Amir Ali, A Short History of The Saracens. Lahoti Fine Press, Delhi 1991, hal ..
[5] Maryam Jamelah,Op.cit.,hal 93-94.
[6] Syed Amir Ali, The Spirit Of Islam, Terj. Oleh H.B Jassin, Op.cit., hal 267.
[7] Harun Nasution, Op.cit., hal 148.
[8] Harun Nasution, Op.cit., hal 108.
[9] John Obert Voll (1982), Islam Continuity and Change in The Modern World, Colorado : Westview Press, h. 224
[10] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 141
[11] Harun Nasution (1996), op.cit., h.
[12] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 147
[13] Harun Nasution (1996), op.cit., h.
[14] Ayesha Jalal (2000), Self and Sovereignty Individual and Community in South Asian Islam Since 1840, London and New York : Routledge, h. 182
[15] Asghar Ali Engineer (1985), Indian Muslims : A Study of The Minority Problem in India, Jawahar Nagar, New Delhi : Ajanata Publication, h. 93
[16] S.Abid Husain (1965), op.cit., h. 68
[17] Aziz Ahmad dan G.E.Von Grunebaum (1970), op.cit., h. 153
[18] Y.B.Chavan (1966), Pakistan Her Relation With India 1947-1966, New Delhi : Vir Publisihing House, h. 6-7
[19] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 165-166
[20] R.C.Majumdar (1963), History of The Freedom
JURNAL USHULUDDIN Vol. XVIII No. 1, Januari 2012 99
Movement in India. Calcuta : K.L.Mukhopadhyay, h. 286 ; Mushir U Haq (1970), Muslim Politics in Modern India, Meruurut, India : Meenakshi Prakashan, h. 55
[21] A.L.Basham (1964), op.cit., h. 12
[22] S.M.Ikram (1964), Muslim Civilization in India, New York : Columbia University Press, h. 291