TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Sabtu, 27 September 2014

Shalat Membentuk Akhlak Manusia



Shalat Membentuk Akhlak Manusia
@akhirudindc

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS. Ali Imran: 159.

Seluruh ibadat dalam Islam mempunyai tujuan untuk membina hubungan kita dengan Allah. Hubungan itu akan menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya yang baik. Allah kita hadirkan dalam bentuk kualitas-kualitas, agar kualitas-kualitas tersebut tertransfer ke dalam diri kita, dan kita akan mengalami pengembangan pribadi yang sempurna. Tetapi, sifat Allah yang paling dominan dari semua sifat-Nya adalah sifat kasih (rahmah). Dalam al-Qur'an Allah berfirman, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,” (Q. 7: 156). Malah di antara semua sifat Allah, yang oleh Allah sendiri dilukiskan sebagai diwajibkan atas diri-Nya sendiri hanyalah kasih, “Ia telah menentukan dalam Diri-Nya sifat kasih sayang,” (Q. 6: 12). Dari akar kata rahmah itulah muncul rahmân dan rahîm, yang paling banyak kita sebut dalam rangkaian bism-i ‘l-Lâh-i ‘l-rahmân-i ‘l-rahîm. Karena itu, kalau dalam doa kita tidak bisa menghadirkan Tuhan melalui kualitas-kualitas yang tersimpul dalam nama-nama yang baik, yang setelah dihitung-hitung konon berjumlah 99, maka sebetulnya menghayati Tuhan melalui sifat-Nya Yang Mahakasih itu saja--dengan segala pengertiannya yang luas--sudah cukup. Diharapkan bahwa kualitas-kualitas seperti itu kemudian tertransfer ke dalam diri kita, sehingga menjadi bagian dari bahan untuk mengembangkan kepribadian kita. Inilah akhlak Ilahi, moralitas ketuhanan.
Dari sini kita mengenal istilah yang memperkaya kebudayaan kita sendiri, yaitu “manusia seutuhnya”. Manusia akan utuh hanya apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang integral, manusia yang utuh. Allah memperingatkan dalam al-Qur’an, “Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah, dan Allah akan membuat mereka lupa akan diri sendiri,” (Q. 59: 19). Artinya, kalau kita lupa kepada Allah, maka kita akan lupa kepada diri kita sendiri. Bukan berarti lupa daratan, tetapi artinya kita kehilangan makna hidup kita, kita kehilangan tujuan hidup kita, kita kehilangan integritas kepribadian kita. Sebab kita tidak berhasil mengaitkan wujud kita dengan wujud Yang Mahatinggi, yaitu Allah. Apalagi pada dasarnya manusia tidak mungkin--dan tidak akan kuat--hidup sendirian. Mengapa kita tahan hidup, itu tidak lain adalah karena adanya harapan.
Salah satu fungsi adanya iman kepada Allah adalah harapan. Maka dari itu Allah dilukiskan sebagai al-shamad (tempat menggantungkan harapan). Kalau orang lupa kepada Allah, salah satu akibat yang akan berat sekali ditanggungnya ialah hilangnya harapan, dan itu akan membuat hidupnya sengsara. Jadi harapan adalah bagian dari iman; dan putus harapan adalah bagian dari kekafiran. Allah juga mengingatkan kita, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, tak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak beriman,” (Q. 12: 87). Maka, sekali lagi, manusia yang utuh, manusia yang integral, adalah manusia yang sanggup membina hubungan dengan Allah.
Sebetulnya, masalah ini juga berkaitan dengan ajaran mengenai percaya kepada takdir. Kita tahu bahwa rukun iman yang terakhir adalah percaya kepada qada dan qadar. Tetapi barangkali perlu kita ingatkan bahwa percaya kepada qada dan qadar itu berkenaan dengan masa lampau yang sudah tertutup. Adapun yang berkenaan dengan masa depan yang masih bersifat terbuka, kaitannya bukan dengan qada dan qadar, tetapi dengan kewajiban ikhtiar. Ikhtiar artinya memilih, memilih di antara berbagai kemungkinan yang tersedia di depan kita.
Mengapa untuk masa lampau (sesuatu yang sudah terjadi) kita harus percaya pada qada dan qadar? Itu sebetulnya untuk kepentingan kesehatan ruhani, kesehatan mental kita sendiri. Itu secara tegas memang difirmankan dalam al-Qur’an, “Setiap ada musibah terjadi di bumi dan dalam dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya,” (Q. 57: 22). Jadi ada predestination. Lalu bagaimana ini bisa terjadi, ayat tersebut selanjutnya menjawab, “Sungguh itu bagi Allah mudah sekali,” (Q. 57: 22). Kalimat terakhir ini menjelaskan bahwa memang kita mungkin tidak bisa memahaminya, karena itu rahasia Tuhan. Tetapi yang lebih penting untuk kita perhatikan mengapa Allah membuat ketetapan seperti itu adalah, “Agas kamu tidak berduka cita atas apa yang sudah hilang, dan merasa bangga atas apa yang diberikan,” (Q. 57: 23). Artinya, kalau kita gagal tidak boleh berputus asa, dan kalau berhasil tidak boleh sombong. Dari situ kita akan menjadi manusia yang balance, seimbang. Ini penting sekali untuk kesehatan kita. Jadi dalam iman kepada qada dan qadar, juga tersangkut harapan kepada Allah. #BukuTheQiraahCode

Selasa, 23 September 2014

COMMUNICATION SKILL

COMMUNICATION SKILL
@akhirudindc



Ketika raja Mohinder Pratap (1886-1976) menemui pemimpin komunis pertama bangsa Rusia, Vladimir Lenin (1870-1924), Pratap menawarkan Lenin sebuah salinan bukunya berjudul “The Religion of Love”. “Saya telah membaca buku ini,” kata Lenin. Raja Pratap kaget. Dari mana dia mendapatkan buku tersebut? Sehari sebelumnya, Lenin menerangkan, ketika Raja Mohinder Pratap menemui sekretarisnya untuk menentukan pertemuan, ia memberikan satu salinan buku tersebut. “Saya mengambil buku itu dari sekretaris saya dan membacanya sepanjang malam agar merasa familiar dengan pemikiran orang yang akan menemui saya esok hari.”    
Bila Anda ingin sukses dalam menjalin hubungan dengan orang yang Anda harapkan menjadi teman baik Anda sementara Anda baru mengenalnya,  sebaiknya Anda mengetahui terlebih dahulu keadaan orang yang akan Anda ajak bicara itu, baik berupa gagasan maupun hobinya.
Bagaimana caranya? Bila orang itu punya karya tulis, maka usahakan Anda membacanya dan memahaminya. Bila tidak ada karya tulisnya, Anda bisa bertanya kepada teman-teman yang mengetahui tentang orang itu, menyangkut keluarganya, pemikirannya, kesenangannya, profesinya dan lainnya.
Jangan biarkan diri Anda gagal dan terhambat dalam berkomunikasi dengannya hanya karena Anda bingung dan tidak tahu harus bicara apa dengannya. Mulailah dengan pertanyaan yang mengundang pembicaraan yang sejalan dengan gagasannya. Jangan Anda membicarakan sesuatu yang tidak mengundang selera bicaranya. Katakan padanya bahwa Anda tertarik dengan gagasan-gagasannya. Anda tanyakan lebih lanjut mengenai gagasan atau hobinya.


Senin, 22 September 2014

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA



KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Kenali Budaya Teman Bicara Anda
@akhirudindc

 “Bicaralah kepada manusia sesuai kadar inelektualitasnya”(Hadis)

Deddy Mulyana, dalam tulisannya pada pengantar buku Komunikasi Antarbudaya menceritakan bahwa Presiden Amerika Serikat John Kennedy dan Presiden Meksiko Adolfo Lopez Meteos bertemu di Meksiko tahun 1962. Ketika mengendarai mobil, Kennedy memperhatikan jam tangan Presiden Meksiko, Kennedy pun memuji Lopez; “Betapa indahnya jam tangan Anda,” Lopez segera memberikan arlojinya kepada Presien Amerika seraya berkata, “Jam tangan ini milik Anda sekarang.” Kennedy merasa malu karena pemberian itu, ia berusaha menolaknya. Namun Presiden Meksiko menjelaskan bahwa di negerinya ketika seseorang menyukai sesuatu, sesuatu itu harus diberikan kepadanya-kepemilikan adalah masalah perasaan dan kebutuhan manusia, bukan milik pribadi,” Kennedy terkesan oleh penjelasan itu dan menerima arloji iu dengan rendah hati. Tak lama kemudian, Presiden Lopez berpaling kepada Presiden Amerika dan berkata; “Aduh, betapa cantiknya istri Anda,” Kennedy terkejut, lalu spontan ia menjawab,”Silahkan ambil kembali jam tangan Anda.”
Ketika kita berbicara dengan orang lain, kita dihadapkan pada bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi mereka bila kita buta budaya orang lain. Problem utamanya adalah kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkannya lagi dan karenanya kita menggunakannya sebagai stAndar untuk mengukur budaya-budaya lain. Bila seseorang tidak menyetujui nilai-nilai kita, sebenarnya itu tidak berarti bahwa orang itu salah, bodoh atau sinting. Bila Anda langsung meloncat kepada kesimpulan tentang orang lain berdasarkan informasi terbatas yang Anda miliki tentang kelompoknya maka Anda terperangkap dalam etnosentrisme (pemahaman pada budaya Anda semata dan tidak mau tahu paham budaya orang lain). Bila demikian, berarti Anda tidak bijak dalam bersikap.  
Bila salah dalam menangkap maksud pembicaraan orang lain akan menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman, seperti contoh di atas. Contoh lain yang dapat dikemukakan, misalnya beberapa contoh kesalahpahaman yang terjadi seperti di bawah ini :
Ø  Seorang mahasiswa Indonesia di New York menganggap orang bule yang memberikan buku dengan tangan kiri kepadanya berarti tidak beradab. Padahal orang Amerika itu tidak bermaksud demikian, karena dalam budayanya menggunakan tangan kiri bukan ketidak sopanan.
Ø  Seorang wanita Australia terkesima ketika dalam perjalanan kereta api dari Bandung ke Yogyakarta, ia melihat seorang wanita Indonesia yang berasal dari desa, menyusui anaknya di depan umum. Ia menganggap perilaku itu primitif karena di negerinya sendiri hal itu tidak pernah dilakukan wanita Australia. 
Ø  Seorang pria Indonesia merasa malu, jijik, benci, dan ingin marah ketika pipinya dicium oleh seorang pria Arab saat dia baru tiba di Jeddah untuk menunaikan ibadah haji. Bagi orang Arab, perilaku itu setulusnya menandakan persahabatan, namun bagi orang Indonesia mengisyaratkan perilaku homoseksual.
Ø  Seorang mahasiswa Korea merasa tersinggung ketika ia mengunjungi teman Amerikanya. Mahasiswa Amerika itu berkata di jendela, “maaf, saya tidak punya waktu karena sedang belajar.” Lalu ia menutup jendela. “Saya tidak mengerti, dalam budaya saya, pribumi atau tuan rumah seharusnya menyambut tamu, suka atau tidak suka, sibuk atau tidak sibuk. Juga pribumi atau tuan rumah tidak pernah berbicara tanpa membuka pintu.” Gerutu mahasiswa Korea ini.
Kesalahpahaman-kesalahpahaman antarabudaya di atas dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan memperaktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Selasa, 02 September 2014

LEADERSHIP SKILL

LEADERSHIP SKILL
Akhirudin DC

Pemimpin dan kepemimpinan adalah fitrah kemanusiaan, sejak manusia ada, maka pada saat itu pemimpin dan kepemimpinan juga telah ada. Pemimpin dan kepemimpinan adalah recognisi (pengakuan), baik pengakuan formal maupun informal, baik sifatnya tunggal (diri sendiri) maupun jamak (banyak).

Telah banyak definisi tentang pemimpin dan kepemimpinan dan dari sekian banyak definisi, semua menarik benang merah yang sama yaitu pemimpin adalah sosok sedangkan kepemimpinan adalah nilai. Pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan adalah sosok yang mampu menerjemahkan dan mengejawantahkan nilai-nilai spiritual dan motivasi dalam sebuah sistem formal maupun informal. Sehingga kebermaknaan akan terasa oleh sistem tersebut.

Pemimpin adalah potensi yang dimiliki oleh seseorang, baik didapatkan melalui jenjang struktural formal, jenjang kultural informal, maupun jenjang fungsional formal dan informal.

Sedangkan kepemimpinan adalah sebuah proses yang terbentuk dan terilhami oleh nilai yang diyakini akan membawa kemaslahatan dan kebenaran di muka bumi.

Dalam Al Qur'an sendiri Allah memerintahkan kepada setiap manusia untuk berlaku adil dan menghormati hak azasi sesamanya, hal ini dapat kita lihat dalam Surat Al Maidah ayat 8 :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Pemimpin adalah sebuah pengakuan. Sebab manusia adalah khalifatun fil ardhi (pemimpin di muka bumi). Artinya, manusia mempunyai kesempurnaan dibanding makhluk-makhluk lain yang ada di muka bumi. Ini karena manusia memiliki akal, hati, perasaan, kecerdasan, jiwa, motivasi dan spiritulitas. Dari kesempurnaan ini sehingga manusia layak dikatakan pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri.

Ada juga yang mengatakan ada tiga orang karakter yang mewakili tiga aspek kepemimpinan yang melayani, yaitu seorang pendeta, seorang professor, dan seorang profesional yang sangat berhasil di dunia bisnis. Tiga aspek kepemimpinan tersebut adalah HATI yang melayani (servant HEART), KEPALA atau pikiran yang melayani (servant HEAD), dan TANGAN yang melayani (servant HANDS).

Hati Yang Melayani (Karakter Kepemimpinan). Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam Pemilu tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya.

Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan-kawan, ada sejumlah ciri-ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani, yaitu: Tujuan paling utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongannya tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya. Entah hal ini sebuah impian yang muluk atau memang kita tidak memiliki pemimpin seperti ini, yang jelas pemimpin yang mengutamakan kepentingan publik amat jarang kita temui di republik ini.

Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Developing the Leaders Around You. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang-orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi kuat. Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya.

Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Ciri keempat seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atau kepada setiap anggota organisasinya.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Seorang pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.

Kepala Yang Melayani (Metoda Kepemimpinan). Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas dari aspek yang pertama, yaitu karakter dan integritas seorang pemimpin, tetapi ketika menjadi pemimpin formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki metoda kepemimpinan yang baik. Contoh adalah para pemimpin karismatik ataupun pemimpin yang menjadi simbol perjuangan rakyat, seperti Corazon Aquino, Nelson Mandela, Abdurrahman Wahid, bahkan mungkin Mahatma Gandhi, dan masih banyak lagi menjadi pemimpin yang tidak efektif ketika menjabat secara formal menjadi presiden. Hal ini karena mereka tidak memiliki metoda kepemimpinan yang diperlukan untuk mengelola mereka yang dipimpinnya.

Tidak banyak pemimpin yang memiliki kemampuan metoda kepemimpinan ini. Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Oleh karena itu seringkali kami dalam berbagai kesempatan mendorong institusi formal agar memperhatikan ketrampilan seperti ini yang kami sebut dengan softskill atau personal skill. Dalam salah satu artikel di economist.com ada sebuah ulasan berjudul Can Leadership Be Taught. Jelas dalam artikel tersebut dibahas bahwa kepemimpinan (dalam hal ini metoda kepemimpinan) dapat diajarkan sehingga melengkapi mereka yang memiliki karakter
kepemimpinan. Ada tiga hal penting dalam metoda kepemimpinan, yaitu:

Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas.Visi ini merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut.

Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses untuk membawa orang-orang atau organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan (goal) yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa generasi.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsive. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemampuan untuk menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.

Tangan Yang Melayani (Perilaku Kepemimpinan). Pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard tersebut disebutkan ada empat perilaku seorang pemimpin, yaitu:

Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi sungguh-sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk memuaskan Tuhan. Artinya dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan Firman Tuhan. Dia memiliki misi untuk senantiasa memuliakan Tuhan dalam setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuatnya.

Pemimpin sejati fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tetapi untuk melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata.

Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek, baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya.
Setiap hari senantiasi menselaraskan (recalibrating) dirinya terhadap komitmen untuk melayani Tuhan dan sesama. Melalui solitude (keheningan), prayer (doa) dan scripture (membaca Firman Tuhan).

Demikian kepemimpinan yang melayani menurut Ken Blanchard yang menurut kami sangat relevan dengan situasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Bahkan menurut Danah Zohar, penulis buku Spiritual Intelligence: SQ the Ultimate Intelligence, salah satu tolok ukur kecerdasan spiritual adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership).

Bahkan dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Gay Hendrick dan Kate Luderman, menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak kesuksesan biasanya adalah pemimpin yang memiliki SQ yang tinggi. Mereka biasanya adalah orang-orang yang memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas yang tinggi, dan selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain. @akhirudindc