Shalat
Membentuk Akhlak Manusia
@akhirudindc
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu (Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal
duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya). Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
QS. Ali Imran: 159.
Seluruh ibadat dalam Islam
mempunyai tujuan untuk membina hubungan kita dengan Allah. Hubungan itu akan
menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya
yang baik. Allah kita hadirkan dalam bentuk kualitas-kualitas, agar
kualitas-kualitas tersebut tertransfer ke dalam diri kita, dan kita akan
mengalami pengembangan pribadi yang sempurna. Tetapi, sifat Allah yang paling
dominan dari semua sifat-Nya adalah sifat kasih (rahmah). Dalam
al-Qur'an Allah berfirman, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,” (Q.
7: 156). Malah di antara semua sifat Allah, yang oleh Allah sendiri dilukiskan
sebagai diwajibkan atas diri-Nya sendiri hanyalah kasih, “Ia telah menentukan
dalam Diri-Nya sifat kasih sayang,” (Q. 6: 12). Dari akar kata rahmah
itulah muncul rahmân dan rahîm, yang paling banyak
kita sebut dalam rangkaian bism-i ‘l-Lâh-i ‘l-rahmân-i ‘l-rahîm.
Karena itu, kalau dalam doa kita tidak bisa menghadirkan Tuhan melalui
kualitas-kualitas yang tersimpul dalam nama-nama yang baik, yang setelah
dihitung-hitung konon berjumlah 99, maka sebetulnya menghayati Tuhan melalui
sifat-Nya Yang Mahakasih itu saja--dengan segala pengertiannya yang luas--sudah
cukup. Diharapkan bahwa kualitas-kualitas seperti itu kemudian tertransfer ke
dalam diri kita, sehingga menjadi bagian dari bahan untuk mengembangkan
kepribadian kita. Inilah akhlak Ilahi, moralitas ketuhanan.
Dari sini kita mengenal istilah
yang memperkaya kebudayaan kita sendiri, yaitu “manusia seutuhnya”. Manusia
akan utuh hanya apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya,
apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada
Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang integral, manusia yang
utuh. Allah memperingatkan dalam al-Qur’an, “Dan janganlah seperti mereka
yang melupakan Allah, dan Allah akan membuat mereka lupa akan diri sendiri,”
(Q. 59: 19). Artinya, kalau kita lupa kepada Allah, maka kita akan lupa kepada
diri kita sendiri. Bukan berarti lupa daratan, tetapi artinya kita kehilangan
makna hidup kita, kita kehilangan tujuan hidup kita, kita kehilangan integritas
kepribadian kita. Sebab kita tidak berhasil mengaitkan wujud kita dengan wujud
Yang Mahatinggi, yaitu Allah. Apalagi pada dasarnya manusia tidak mungkin--dan
tidak akan kuat--hidup sendirian. Mengapa kita tahan hidup, itu tidak lain
adalah karena adanya harapan.
Salah satu fungsi adanya iman
kepada Allah adalah harapan. Maka dari itu Allah dilukiskan sebagai al-shamad
(tempat menggantungkan harapan). Kalau orang lupa kepada Allah, salah satu
akibat yang akan berat sekali ditanggungnya ialah hilangnya harapan, dan itu
akan membuat hidupnya sengsara. Jadi harapan adalah bagian dari iman; dan putus
harapan adalah bagian dari kekafiran. Allah juga mengingatkan kita, “Dan
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, tak ada orang yang berputus asa
dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak beriman,” (Q. 12: 87). Maka,
sekali lagi, manusia yang utuh, manusia yang integral, adalah manusia yang
sanggup membina hubungan dengan Allah.
Sebetulnya, masalah ini juga
berkaitan dengan ajaran mengenai percaya kepada takdir. Kita tahu bahwa rukun
iman yang terakhir adalah percaya kepada qada dan qadar. Tetapi barangkali
perlu kita ingatkan bahwa percaya kepada qada dan qadar itu berkenaan dengan
masa lampau yang sudah tertutup. Adapun yang berkenaan dengan masa depan yang
masih bersifat terbuka, kaitannya bukan dengan qada dan qadar, tetapi dengan
kewajiban ikhtiar. Ikhtiar artinya memilih, memilih di antara berbagai
kemungkinan yang tersedia di depan kita.
Mengapa untuk masa lampau (sesuatu
yang sudah terjadi) kita harus percaya pada qada dan qadar? Itu sebetulnya
untuk kepentingan kesehatan ruhani, kesehatan mental kita sendiri. Itu secara
tegas memang difirmankan dalam al-Qur’an, “Setiap ada musibah terjadi di
bumi dan dalam dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya,” (Q. 57:
22). Jadi ada predestination. Lalu bagaimana ini bisa terjadi, ayat
tersebut selanjutnya menjawab, “Sungguh itu bagi Allah mudah sekali,”
(Q. 57: 22). Kalimat terakhir ini menjelaskan bahwa memang kita mungkin tidak
bisa memahaminya, karena itu rahasia Tuhan. Tetapi yang lebih penting untuk
kita perhatikan mengapa Allah membuat ketetapan seperti itu adalah, “Agas
kamu tidak berduka cita atas apa yang sudah hilang, dan merasa bangga atas apa
yang diberikan,” (Q. 57: 23). Artinya, kalau kita gagal tidak boleh
berputus asa, dan kalau berhasil tidak boleh sombong. Dari situ kita akan
menjadi manusia yang balance, seimbang. Ini penting sekali untuk
kesehatan kita. Jadi dalam iman kepada qada dan qadar, juga tersangkut harapan
kepada Allah. #BukuTheQiraahCode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar