TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Selasa, 28 Mei 2013

Shalat Membentuk Akhlak Manusia


Shalat Membentuk Akhlak Manusia

QS. Ali Imran: 159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Seluruh ibadat dalam Islam mempunyai tujuan untuk membina hubungan kita dengan Allah. Hubungan itu akan menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya yang baik. Allah kita hadirkan dalam bentuk kualitas-kualitas, agar kualitas-kualitas tersebut tertransfer ke dalam diri kita, dan kita akan mengalami pengembangan pribadi yang sempurna. Tetapi, sifat Allah yang paling dominan dari semua sifat-Nya adalah sifat kasih (rahmah). Dalam al-Qur'an Allah berfirman, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,” (Q. 7: 156). Malah di antara semua sifat Allah, yang oleh Allah sendiri dilukiskan sebagai diwajibkan atas diri-Nya sendiri hanyalah kasih, “Ia telah menentukan dalam Diri-Nya sifat kasih sayang,” (Q. 6: 12). Dari akar kata rahmah itulah muncul rahmân dan rahîm, yang paling banyak kita sebut dalam rangkaian bism-i ‘l-Lâh-i ‘l-rahmân-i ‘l-rahîm. Karena itu, kalau dalam doa kita tidak bisa menghadirkan Tuhan melalui kualitas-kualitas yang tersimpul dalam nama-nama yang baik, yang setelah dihitung-hitung konon berjumlah 99, maka sebetulnya menghayati Tuhan melalui sifat-Nya Yang Mahakasih itu saja--dengan segala pengertiannya yang luas--sudah cukup. Diharapkan bahwa kualitas-kualitas seperti itu kemudian tertransfer ke dalam diri kita, sehingga menjadi bagian dari bahan untuk mengembangkan kepribadian kita. Inilah akhlak Ilahi, moralitas ketuhanan.
Dari sini kita mengenal istilah yang memperkaya kebudayaan kita sendiri, yaitu “manusia seutuhnya”. Manusia akan utuh hanya apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang integral, manusia yang utuh. Allah memperingatkan dalam al-Qur’an, “Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah, dan Allah akan membuat mereka lupa akan diri sendiri,” (Q. 59: 19). Artinya, kalau kita lupa kepada Allah, maka kita akan lupa kepada diri kita sendiri. Bukan berarti lupa daratan, tetapi artinya kita kehilangan makna hidup kita, kita kehilangan tujuan hidup kita, kita kehilangan integritas kepribadian kita. Sebab kita tidak berhasil mengaitkan wujud kita dengan wujud Yang Mahatinggi, yaitu Allah. Apalagi pada dasarnya manusia tidak mungkin--dan tidak akan kuat--hidup sendirian. Mengapa kita tahan hidup, itu tidak lain adalah karena adanya harapan.
Salah satu fungsi adanya iman kepada Allah adalah harapan. Maka dari itu Allah dilukiskan sebagai al-shamad (tempat menggantungkan harapan). Kalau orang lupa kepada Allah, salah satu akibat yang akan berat sekali ditanggungnya ialah hilangnya harapan, dan itu akan membuat hidupnya sengsara. Jadi harapan adalah bagian dari iman; dan putus harapan adalah bagian dari kekafiran. Allah juga mengingatkan kita, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, tak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak beriman,” (Q. 12: 87). Maka, sekali lagi, manusia yang utuh, manusia yang integral, adalah manusia yang sanggup membina hubungan dengan Allah.
Sebetulnya, masalah ini juga berkaitan dengan ajaran mengenai percaya kepada takdir. Kita tahu bahwa rukun iman yang terakhir adalah percaya kepada qada dan qadar. Tetapi barangkali perlu kita ingatkan bahwa percaya kepada qada dan qadar itu berkenaan dengan masa lampau yang sudah tertutup. Adapun yang berkenaan dengan masa depan yang masih bersifat terbuka, kaitannya bukan dengan qada dan qadar, tetapi dengan kewajiban ikhtiar. Ikhtiar artinya memilih, memilih di antara berbagai kemungkinan yang tersedia di depan kita.  
Mengapa untuk masa lampau (sesuatu yang sudah terjadi) kita harus percaya pada qada dan qadar? Itu sebetulnya untuk kepentingan kesehatan ruhani, kesehatan mental kita sendiri. Itu secara tegas memang difirmankan dalam al-Qur’an, “Setiap ada musibah terjadi di bumi dan dalam dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya,” (Q. 57: 22). Jadi ada predestination. Lalu bagaimana ini bisa terjadi, ayat tersebut selanjutnya menjawab, “Sungguh itu bagi Allah mudah sekali,” (Q. 57: 22). Kalimat terakhir ini menjelaskan bahwa memang kita mungkin tidak bisa memahaminya, karena itu rahasia Tuhan. Tetapi yang lebih penting untuk kita perhatikan mengapa Allah membuat ketetapan seperti itu adalah, “Agas kamu tidak berduka cita atas apa yang sudah hilang, dan merasa bangga atas apa yang diberikan,” (Q. 57: 23). 
Artinya, kalau kita gagal tidak boleh berputus asa, dan kalau berhasil tidak boleh sombong. Dari situ kita akan menjadi manusia yang balance, seimbang. Ini penting sekali untuk kesehatan kita. Jadi dalam iman kepada qada dan qadar, juga tersangkut harapan kepada Allah. #TrainingBalanceLife @akhirudindc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar