Shalat Membentuk Akhlak Manusia
QS. Ali Imran: 159. Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya,
seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
Seluruh
ibadat dalam Islam mempunyai tujuan untuk membina hubungan kita dengan Allah.
Hubungan itu akan menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui
nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya yang baik. Allah kita hadirkan dalam bentuk
kualitas-kualitas, agar kualitas-kualitas tersebut tertransfer ke dalam diri
kita, dan kita akan mengalami pengembangan pribadi yang sempurna. Tetapi, sifat
Allah yang paling dominan dari semua sifat-Nya adalah sifat kasih (rahmah).
Dalam al-Qur'an Allah berfirman, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu,”
(Q. 7: 156). Malah di antara semua sifat Allah, yang oleh Allah sendiri
dilukiskan sebagai diwajibkan atas diri-Nya sendiri hanyalah kasih, “Ia
telah menentukan dalam Diri-Nya sifat kasih sayang,” (Q. 6: 12). Dari akar
kata rahmah itulah muncul rahmân dan rahîm,
yang paling banyak kita sebut dalam rangkaian bism-i ‘l-Lâh-i ‘l-rahmân-i
‘l-rahîm. Karena itu, kalau dalam doa kita tidak bisa menghadirkan
Tuhan melalui kualitas-kualitas yang tersimpul dalam nama-nama yang baik, yang
setelah dihitung-hitung konon berjumlah 99, maka sebetulnya menghayati Tuhan
melalui sifat-Nya Yang Mahakasih itu saja--dengan segala pengertiannya yang
luas--sudah cukup. Diharapkan bahwa kualitas-kualitas seperti itu kemudian
tertransfer ke dalam diri kita, sehingga menjadi bagian dari bahan untuk
mengembangkan kepribadian kita. Inilah akhlak Ilahi, moralitas ketuhanan.
Dari
sini kita mengenal istilah yang memperkaya kebudayaan kita sendiri, yaitu
“manusia seutuhnya”. Manusia akan utuh hanya apabila dia mencerminkan
sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah.
Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan
menjadi manusia yang integral, manusia yang utuh. Allah memperingatkan dalam
al-Qur’an, “Dan janganlah seperti mereka yang melupakan Allah, dan Allah
akan membuat mereka lupa akan diri sendiri,” (Q. 59: 19). Artinya, kalau
kita lupa kepada Allah, maka kita akan lupa kepada diri kita sendiri. Bukan
berarti lupa daratan, tetapi artinya kita kehilangan makna hidup kita, kita
kehilangan tujuan hidup kita, kita kehilangan integritas kepribadian kita.
Sebab kita tidak berhasil mengaitkan wujud kita dengan wujud Yang Mahatinggi,
yaitu Allah. Apalagi pada dasarnya manusia tidak mungkin--dan tidak akan
kuat--hidup sendirian. Mengapa kita tahan hidup, itu tidak lain adalah karena
adanya harapan.
Salah
satu fungsi adanya iman kepada Allah adalah harapan. Maka dari itu Allah
dilukiskan sebagai al-shamad (tempat menggantungkan harapan). Kalau
orang lupa kepada Allah, salah satu akibat yang akan berat sekali ditanggungnya
ialah hilangnya harapan, dan itu akan membuat hidupnya sengsara. Jadi harapan
adalah bagian dari iman; dan putus harapan adalah bagian dari kekafiran. Allah
juga mengingatkan kita, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,
tak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan orang tak
beriman,” (Q. 12: 87). Maka, sekali lagi, manusia yang utuh, manusia yang
integral, adalah manusia yang sanggup membina hubungan dengan Allah.
Sebetulnya,
masalah ini juga berkaitan dengan ajaran mengenai percaya kepada takdir. Kita
tahu bahwa rukun iman yang terakhir adalah percaya kepada qada dan qadar.
Tetapi barangkali perlu kita ingatkan bahwa percaya kepada qada dan qadar itu
berkenaan dengan masa lampau yang sudah tertutup. Adapun yang berkenaan dengan
masa depan yang masih bersifat terbuka, kaitannya bukan dengan qada dan qadar,
tetapi dengan kewajiban ikhtiar. Ikhtiar artinya memilih, memilih di antara
berbagai kemungkinan yang tersedia di depan kita.
Mengapa untuk masa lampau (sesuatu yang sudah terjadi)
kita harus percaya pada qada dan qadar? Itu sebetulnya untuk kepentingan
kesehatan ruhani, kesehatan mental kita sendiri. Itu secara tegas memang
difirmankan dalam al-Qur’an, “Setiap ada musibah terjadi di bumi dan dalam
dirimu, sudah tercatat sebelum Kami mewujudkannya,” (Q. 57: 22). Jadi ada predestination.
Lalu bagaimana ini bisa terjadi, ayat tersebut selanjutnya menjawab, “Sungguh
itu bagi Allah mudah sekali,” (Q. 57: 22). Kalimat terakhir ini menjelaskan
bahwa memang kita mungkin tidak bisa memahaminya, karena itu rahasia Tuhan.
Tetapi yang lebih penting untuk kita perhatikan mengapa Allah membuat ketetapan
seperti itu adalah, “Agas kamu tidak berduka cita atas apa yang sudah
hilang, dan merasa bangga atas apa yang diberikan,” (Q. 57: 23).
Artinya,
kalau kita gagal tidak boleh berputus asa, dan kalau berhasil tidak boleh
sombong. Dari situ kita akan menjadi manusia yang balance, seimbang. Ini
penting sekali untuk kesehatan kita. Jadi dalam iman kepada qada dan qadar,
juga tersangkut harapan kepada Allah. #TrainingBalanceLife @akhirudindc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar