TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Jumat, 31 Mei 2013

Keseimbangan Akhlak

Keseimbangan Akhlak : Esensi Kejadian Manusia


Akhlâq adalah jamak dari khuluq. Al-Qur'an menyebutkan kata khuluq dalam suatu nada pujian kepada Nabi Muhammad SAW, "Dan engkau sungguh mempunyai akhlak yang agung,” (Q. 68: 4). Kalau nisbat, misalnya “sesuatu itu etis”, tidak pernah disebut sebagai khuluqî, tetapi akhlâqî. Mengapa? Karena di dalam budi pekerti ini ada ingredient yang sangat banyak, yang tidak pernah satu.
Akhlâq yang merupakan jamak dari khuluq adalah satu akar kata dengan khâliq dan makhlûq, dan dari situ akan tampak ada suatu asumsi yang sangat mendasar dalam Islam. Kalau khâliq berarti pencipta dan makhlûq berarti yang diciptakan, maka khalq adalah kata benda kerjanya, yaitu penciptaan (the act of creation). Dari sini terlihat bahwa konsep akhlâq dalam Islam dikaitkan dengan kejadian asal manusia.
Dengan demikian, budi pekerti itu tidak lain adalah esensi dari kejadian manusia itu sendiri. Karena itu untuk menjadi manusia, seseorang harus berakhlak, harus mempunyai budi pekerti luhur. Sebab, itu sebetulnya rancangan atau disain Tuhan tentang manusia. Maka dari itu, di dalam al-Qur'an ada suatu pernyataan yang sangat luhur tentang manusia, yaitu "Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk (taqwîm) yang terbaik," (Q. 95: 4). Taqwîm di sini tidak hanya dari segi fisik, melainkan juga dari segi makârim al-akhlâq (berbagai keluhuran budi), sebagaimana tersirat dalam hadis, “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi”.

Dari segi fisik, manusia memang unik. Maksudnya, ia adalah satu-satunya makhluk yang tegak, sehingga disebut sebagai erectus, homo erectus. Tidak ada makhluk yang tegak seperti manusia. Dan dalam literatur mengenai paleo-antropologi (ilmu mengenai manusia-manusia purba), atau dalam pandangan Darwin, fase yang paling menentukan dalam proses pertumbuhan kera menjadi manusia, ialah ketika kera itu turun dari pohon-pohon dan duduk di sabana lalu membebaskan tangannya dari harus berpegangan kepada ranting. Tangan inilah yang kemudian menjadi stimulator bagi tumbuhnya otak. Ia tidak lagi dipakai untuk berjalan karena kaki yang belakanglah yang berjalan. Kemudian tangan ini, misalnya, mulai dipakai untuk meraih pucuk daun dan sebagainya. Menurut para paleo-antropolog, tahap itu merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pertumbuhan otak manusia.
Bebasnya tangan dari berpegang pada ranting-ranting kemudian diikuti oleh tahap di mana tangan harus dipakai untuk berjalan seperti binatang kaki empat. Dengan demikian manusia pada mulanya adalah binatang berkaki empat juga, di mana tangan merupakan kaki depannya. Tahapan berikutnya, ketika manusia menjadi seperti sekarang ini, dimulai dengan pithecanthropus erectus: phitec berarti kera, anthropus berarti yang bersifat manusia, dan erectus artinya yang tegak. Jadi, manusia kera yang tegak. Lalu mulailah tumbuh otak dan kemudian menjadi manusia seperti sekarang ini, yaitu homo-sapien. Karena itu ada yang menafsirkan dengan suatu pendekatan ilmiah atau pseudo-ilmiah, bahwa ahsan-u taqwîm itu dalam bentuk lahir pun sudah kelihatan, yang sekaligus juga menandai keunikan manusia sebagai makhluk, karena manusia merupakan satu-satunya makhluk yang tegak. Bayangkan kalau ada kerbau yang tegak, misalnya, pasti semua orang akan takut.

Dinyatakan dalam al-Quran, “Demi tin dan zaitun, dan bukit Sinai, dan kota ini yang aman, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik,” (Q. 95: 1-4). Menarik bahwa persumpahan Tuhan menggunakan pohon tin, sebab pohon ini merupakan ciri-ciri dari Sinai, dari Timur Tengah, mencakup Laut Tengah yang meliputi Italia, Yunani dan derah-daerah Syiria. Daerah-daerah ini adalah daerah asal mula peradaban manusia. Kemudian pohon zaitun, suatu pohon yang sangat berkah. Dalam al-Qur’an zaitun berarti bekal, yaitu pohon zaitun yang diberkati. Bahwa zaitun adalah sebuah buah yang sangat tinggi nilai gizinya, dan pohonya tahan cuaca, dapat hidup ribuan tahun. Tetapi menurut banyak ahli tafsir, maksud Tuhan bersumpah dengan pohon tin dan pohon zaitun adalah untuk merefleksi dua peradaban yaitu Yunani dan Romawi. Kemudian Gunung Tursina (Sinai) yang bukitnya merupakan tempat Nabi Musa menerima wahyu berupa The Ten Commandements yang disebut Taurat (hukum). Dan maksud “negeri yang aman” adalah Makkah, tempat Nabi Muhammad. Maksud ini semua adalah adanya kontinuitas antarseluruh peradaban, dari Yunani, Romawi, Yudeo-Kristian dengan titik pangkalnya The Ten Commandements, dan dilanjutkan dengan Islam yang terdapat di Makkah. Dan setelah itu dikata­kan bahwa manusia adalah puncak makhluk, seolah untuk mengingatkan bahwa semua peradaban yang ada berdiri di atas dasar konsep manusia sebagai puncak dari makhluk. Maka kalau manusia sudah tidak lagi menghargai dirinya sebagai puncak ciptaan Tuhan berarti, “Kemudian Kami jatuhkan serendah-rendahnya. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan, maka bagi mereka pahala yang tiada putusnya,” (Q. 95: 5-6). Bahwa persyara­tan bagi keunggulan harkat dan martabat manusia beradab adalah iman kepada Allah dan berbuat baik.
Manusia menjadi puncak ciptaan karena dia diciptakan menurut gambaran Tuhan, yang tentu tidak bisa diartikan secara harfiah. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa dalam diri manusia selain terdapat unsur nâsût (bersifat psikis biologis) juga terdapat unsur lâhût (besifat ketuhanan). Unsur ketuhanan yang paling penting dalam diri manusia adalah kebebasan dan kemam­puannya untuk melakukan pilihan-pilihan. Hal ini di dalam al-Qur’an dilukiskan sebagai suatu amanat yang pernah ditawarkan Tuhan kepada semua ciptaan tetapi tidak ada yang sanggup kecuali manusia.
            Dalam semacam drama kosmis ketika selesai menciptakan alam kemudian Tuhan menawarkan amanat kepada gunung-gunung, kepada bumi, kepada langit, tetapi semuanya menolak. Dan ketika ditawarkan kepada manusia amanat itu diterima (33:72). Dengan begitu berarti manusia merupakan makhluk yang menanggung resiko, bahwa hidupnya tidak lagi secara otomatis baik dan benar. Baik dan benar kemudian ditentukan melalui pilihan manusia sendiri yang pada gilirannya menjadikan manusia sebagai makhluk moral. Inilah yang menyebabkan manusia menjadi puncak ciptaan Tuhan. Oleh karena itu manusia tidak boleh melihat ke atas kecuali kepada Tuhan dan kepada selain-Nya harus melihat ke bawah dalam arti menyadari hirarki eksistensi, tidak dalam arti menghina. Hal demikian dimaksudkan agar manusia tetap berada di atas. 
#BalanceLife ... @akhirudindc ... Email: akhirudindc@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar