MEMBANGUN KETERATURAN DAN KESEIMBANGAN
DENGAN SPIRITUALITAS
Akhirudin DC
Sekarang ini
sebetulnya kita sudah mengalami zaman yang agak anomali, karena peradabannya
berpusat di Eropa Barat yang dulu merupakan daerah pinggiran. Daerah tengahnya
seputar Laut Tengah terutama yang terbentang dari Sungai Nil sampai dengan
Sungai Oxus. Di luar sungai Oxus--yang oleh
orang Inggris disebut Transoxiana yang artinya di seberang sungai Oxus, dan sebenarnya terjemahan dari bahasa Arab “mâ warâ’-a
al-nahr” (daerah di belakang sungai)--ialah “daerah yang tidak
berperadaban”. Atau, mirip dengan istilah “gentile” dalam bahasa Yunani.
Orang Yahudi suka menamakan diri mereka sebagai “the choosen people”
(bangsa yang dipilih), dan orang lain sebagai “gentile”, yang artinya
kurang lebih kasar, najis, masuk neraka. Sebetulnya ini biasa karena hampir
semua bangsa punya stereotip semacam itu. Orang Cina, misalnya, menamakan diri
mereka Tionghoa atau Tiongkok yang artinya daerah tengah. Kalau itu daerah tengah,
berarti yang lainnya pinggiran. Ada suatu konsep kosmologis bahwa “daerah
tengah” berhak mendahulukan daerah pinggiran. Maka kalau RRC mencoba-coba
mengklaim kepulauan Spratly, dan kemudian sudah mulai merembet ke Natuna, tidak
lain adalah karena konsep “daerah tengah”-nya itu. Orang Jawa pun begitu.
Mereka percaya bahwa pusat dunia ada di gunung Tidar (Magelang), yang lainnya
cuma pinggiran saja.
Daerah yang oleh orang Yunani kuno disebut pusat
peradaban yaitu yang terbentang dari lembah sungai Nil sampai sungai Oxus
itulah yang disebut Oikoumene (istilah itu sekarang menjadi jargon dalam agama
Kristen yang artinya suatu gerakan nonsektarian). Orang Arab menyebutnya al-Dâ’irah
al-Ma‘mûrah. Di sinilah bisa dilihat mengapa Ibn Khaldun menyebut ilmunya
sebagai ‘ilm ‘umran (ilmu peradaban). Lalu bisa juga dilihat bagaimana
Islam terkait dengan konsep-konsep ini, melalui berbagai jembatan.
Hadlârah dan tsaqâfah sedikit banyak dibentuk oleh
lingkungan dan pola kehidupan di padang pasir, yang membedakan antara kehidupan
mengembara dengan kehidupan menetap. Kalau di Indonesia hampir sama dengan konsep urban
dan rural. Di sinilah bisa ditafsirkan mengapa Nabi begitu pindah ke Yastrib
lalu mengubah nama kota itu menjadi Madinah. Secara sosiologis biasa ditafsirkan
bahwa Nabi hendak menciptakan peradaban. Tetapi ada lagi asosiasi yang lain,
yaitu adagium orang Yunani bahwa manusia adalah zoon politicon (manusia
adalah makhluk politik). Lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yaitu, al-insân-u
madanîyun bi ‘l-thab‘i, bahwa manusia itu menurut takdirnya bersifat “ingin
hidup teratur”. Makhluk yang paling sosial di samping manusia adalah semut.
Komunitas semut itu ternyata sangat kompleks, karena di situ ada pembagian
kerja yang bagus; ada semut pekerja (the workers) yaitu yang kepalanya
besar-besar, dan ada semut yang tugasnya hanya bertelur. Itulah sebabnya semut
disebut makhluk sosial.
Sebagai
makhluk sosial atau politik, menurut nature-nya, manusia harus hidup
beradab atau bermasyarakat. Madanîyah yang artinya civilization
itu sebetulnya juga berarti politik. Perkataan politik waktu itu diambil dari
perkataan polish yang berarti pola kehidupan yang teratur (sebelum orang
mengartikan politik sebagai ‘suka menipu orang’ seperti sekarang ini). Dalam
bahasa Arab, politik adalah siyâsah yang juga biasa diartikan sebagai
strategi dan taktik. Kata siyâsah ini bisa diasosiasikan dalam perkataan
Indonesia sais (dari bahasa Arab, sâ’is-un), yang artinya orang yang
mengendalikan. Jadi siyâsah artinya ilmu atau metode mengendalikan
manusia. Lalu kata benda pelakunya sâ’is-un. Karena itu peradaban, politik, dan
kebudayaan, ialah bagian dari kehidupan manusia. Karena itu pula Islam tidak
bisa dipisahkan dari semuanya; itu adalah wujud kehidupan manusia yang kemudian
mengejawantah dalam ruang dan waktu yang disebut sejarah. Sejarah, dengan
demikian, tidak lain adalah wujud dari pengalaman manusia untuk berperadaban
dan berkebudayaan.
Tuhan menciptakan
manusia terdiri dari tiga unsur bertingkat, yaitu jasmani, ruhani dan nafsani.
Tingkat terendah adalah jasmani, yaitu fisik, badan manusia yang kelihatan
sehari-hari. Tingkat yang lebih tinggi adalah nafsani (Arab: nafsânî),
yaitu unsur manusia yang bersifat nafs, psikologi, jiwa. Tingkat yang paling
tinggi adalah ruhani (Arab: rûhânî), yang bersifat ruh.
Istilah-istilah ini penting, sebagaimana kebahagiaan dan kesengsaraan juga
tiga tingkat, begitu juga pengalaman-pengalamannya. Ada pengalaman jasmani
yang tidak sampai pada tingkat nafsani, sehingga secara jasmani orang tampak
bahagia tetapi jiwanya sakit. Meskipun yang demikian ini ditolak dalam
psikologi karena ada istilah psikosomatik, yaitu sakitnya badan oleh karena
sakitnya jiwa, tetapi bagi bukan psikolog sakit badannya itu tidak begitu
tampak.
Meningkat lagi, ada
juga orang yang secara psikologis sehat tetapi secara spiritual sakit sehingga
menyebabkan, misalnya, ketidaksadaran tentang benar dan salah. Ada situasi
ketika kita mengalami tingkat perkembangan ruhani begitu rupa sehingga tidak
bisa membedakan antara baik dan buruk, antara benar dan salah. Inilah yang
disebut al-Qur’an sebagai keburukan telah dihiaskan dalam diri kita, “Adakah
orang yang pekerjaannya, buruk dibayangkan baik lalu menjadi baik (sama dengan
orang yang mendapat bimbingan) (apakah orang yang dihiaskan badannya, kejahatannya
sehingga kelihatan baik)?,” (Q. 35: 8). Dengan perkataan lain, kalau kita
sudah mulai melihat kejahatan sebagai yang baik, itu adalah kebangkrutan
ruhani, dan sebenarnya merupakan kesengsaraan yang tertinggi. Sebagaimana
kesengsaraan nafsani yang tidak selalu tampak pada jasmani, kebangkrutan
spiritual juga tidak selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaannya
kemudian adalah kapan orang akan merasakan efek dari kebangkrutan spiritual?
Kalau sudah kembali ke alam ruhani, yaitu setelah mati. Tetapi di dunia ini
sebenarnya sudah mulai terasa efeknya. Hal ini sebagaimana yang disinyalir
psikolog bahwa kesehatan psikologis punya efek kepada kesehatan jasmani, maka
begitu juga kesehatan ruhani punya efek kepada kesehatan nafsani maupun jasmani
meskipun tidak langsung. Artinya, kebahagiaan dan kesengsaraan itu juga bisa
kita rasakan sekarang ini meskipun tidak dalam ukuran yang sepenuhnya.
#HidupSeimbang... @akhirudindc / akhirudindc@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar