TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Rabu, 29 Mei 2013

MEMBANGUN KETERATURAN DAN KESEIMBANGAN






MEMBANGUN KETERATURAN DAN KESEIMBANGAN
DENGAN SPIRITUALITAS
Akhirudin DC


Sekarang ini sebetulnya kita sudah mengalami zaman yang agak anomali, karena peradabannya berpusat di Eropa Barat yang dulu merupakan daerah pinggiran. Daerah tengahnya seputar Laut Tengah terutama yang terbentang dari Sungai Nil sampai dengan Sungai Oxus. Di luar sungai Oxus--yang oleh orang Inggris disebut Transoxiana yang artinya di seberang sungai Oxus, dan sebenarnya terjemahan dari bahasa Arab “mâ warâ’-a al-nahr” (daerah di belakang sungai)--ialah “daerah yang tidak berperadaban”. Atau, mirip dengan istilah “gentile” dalam bahasa Yunani. Orang Yahudi suka menamakan diri mereka sebagai “the choosen people” (bangsa yang dipilih), dan orang lain sebagai “gentile”, yang artinya kurang lebih kasar, najis, masuk neraka. Sebetulnya ini biasa karena hampir semua bangsa punya stereotip semacam itu. Orang Cina, misalnya, menamakan diri mereka Tionghoa atau Tiongkok yang artinya daerah tengah. Kalau itu daerah tengah, berarti yang lainnya pinggiran. Ada suatu konsep kosmologis bahwa “daerah tengah” berhak mendahulukan daerah pinggiran. Maka kalau RRC mencoba-coba mengklaim kepulauan Spratly, dan kemudian sudah mulai merembet ke Natuna, tidak lain adalah karena konsep “daerah tengah”-nya itu. Orang Jawa pun begitu. Mereka percaya bahwa pusat dunia ada di gunung Tidar (Magelang), yang lainnya cuma pinggiran saja. 

Daerah yang oleh orang Yunani kuno disebut pusat peradaban yaitu yang terbentang dari lembah sungai Nil sampai sungai Oxus itulah yang disebut Oikoumene (istilah itu sekarang menjadi jargon dalam agama Kristen yang artinya suatu gerakan nonsektarian). Orang Arab menyebutnya al-Dâ’irah al-Ma‘mûrah. Di sinilah bisa dilihat mengapa Ibn Khaldun menyebut ilmunya sebagai ‘ilm ‘umran (ilmu peradaban). Lalu bisa juga dilihat bagaimana Islam terkait dengan konsep-konsep ini, melalui berbagai jembatan.
Hadlârah dan tsaqâfah sedikit banyak dibentuk oleh lingkungan dan pola kehidupan di padang pasir, yang membedakan antara kehidupan mengembara dengan kehidupan menetap. Kalau di Indonesia hampir sama dengan konsep urban dan rural. Di sinilah bisa ditafsirkan mengapa Nabi begitu pindah ke Yastrib lalu mengubah nama kota itu menjadi Madinah. Secara sosiologis biasa ditafsirkan bahwa Nabi hendak menciptakan peradaban. Tetapi ada lagi asosiasi yang lain, yaitu adagium orang Yunani bahwa manusia adalah zoon politicon (manusia adalah makhluk politik). Lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yaitu, al-insân-u madanîyun bi ‘l-thab‘i, bahwa manusia itu menurut takdirnya bersifat “ingin hidup teratur”. Makhluk yang paling sosial di samping manusia adalah semut. Komunitas semut itu ternyata sangat kompleks, karena di situ ada pembagian kerja yang bagus; ada semut pekerja (the workers) yaitu yang kepalanya besar-besar, dan ada semut yang tugasnya hanya bertelur. Itulah sebabnya semut disebut makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial atau politik, menurut nature-nya, manusia harus hidup beradab atau bermasyarakat. Madanîyah yang artinya civilization itu sebetulnya juga berarti politik. Perkataan politik waktu itu diambil dari perkataan polish yang berarti pola kehidupan yang teratur (sebelum orang mengartikan politik sebagai ‘suka menipu orang’ seperti sekarang ini). Dalam bahasa Arab, politik adalah siyâsah yang juga biasa diartikan sebagai strategi dan taktik. Kata siyâsah ini bisa diasosiasikan dalam perkataan Indonesia sais (dari bahasa Arab, sâ’is-un), yang artinya orang yang mengendalikan. Jadi siyâsah artinya ilmu atau metode mengendalikan manusia. Lalu kata benda pelakunya sâ’is-un. Karena itu peradaban, politik, dan kebudayaan, ialah bagian dari kehidupan manusia. Karena itu pula Islam tidak bisa dipisahkan dari semuanya; itu adalah wujud kehidupan manusia yang kemudian mengejawantah dalam ruang dan waktu yang disebut sejarah. Sejarah, dengan demikian, tidak lain adalah wujud dari pengalaman manusia untuk berperadaban dan berkebudayaan.
 Tuhan menciptakan manusia terdiri dari tiga unsur bertingkat, yaitu jasmani, ruhani dan nafsani. Tingkat terendah adalah jasmani, yaitu fisik, badan manusia yang kelihatan sehari-hari. Tingkat yang lebih tinggi adalah nafsani (Arab: nafsânî), yaitu unsur manusia yang bersifat nafs, psikologi, jiwa. Tingkat yang paling tinggi adalah ruhani (Arab: hânî), yang bersifat ruh. Istilah-istilah ini penting, sebagaimana kebaha­giaan dan kesengsaraan juga tiga tingkat, begitu juga pengalaman-pengalamannya. Ada pengalaman jasma­ni yang tidak sampai pada tingkat nafsani, sehingga secara jasmani orang tampak bahagia tetapi jiwanya sakit. Meskipun yang demikian ini ditolak dalam psikologi karena ada istilah psikosomatik, yaitu sakitnya badan oleh karena sakitnya jiwa, tetapi bagi bukan psikolog sakit badannya itu tidak begitu tampak.
Meningkat lagi, ada juga orang yang secara psi­kologis sehat tetapi secara spiritual sakit sehingga menyebabkan, misalnya, ketidaksadaran tentang benar dan salah. Ada situasi ketika kita mengalami tingkat perkembangan ruhani begitu rupa sehingga tidak bisa membedakan antara baik dan buruk, antara benar dan salah. Inilah yang disebut al-Qur’an sebagai keburukan telah dihiaskan dalam diri kita, “Adakah orang yang pekerjaannya, buruk dibayangkan baik lalu menjadi baik (sama dengan orang yang mendapat bimbingan) (apakah orang yang dihiaskan badannya, kejahatannya sehingga kelihatan baik)?,” (Q. 35: 8). Dengan perkataan lain, kalau kita sudah mulai melihat kejaha­tan sebagai yang baik, itu adalah kebangkrutan ruhani, dan sebenarnya merupakan kesengsaraan yang tertinggi. Sebagaimana kesengsaraan nafsani yang tidak selalu tampak pada jasmani, kebangkrutan spiritual juga tidak selalu tampak dalam kehidupan sehari-hari. 
Pertanyaannya kemudian adalah kapan orang akan merasakan efek dari kebangkru­tan spiritual? Kalau sudah kembali ke alam ruhani, yaitu setelah mati. Tetapi di dunia ini sebenarnya sudah mulai terasa efeknya. Hal ini seba­gaimana yang disinyalir psikolog bahwa kesehatan psikologis punya efek kepada kesehatan jasmani, maka begitu juga kesehatan ruhani punya efek kepada kesehatan nafsani maupun jasmani meskipun tidak langsung. Artinya, kebahagiaan dan kesengsaraan itu juga bisa kita rasakan sekarang ini meskipun tidak dalam ukuran yang sepenuhnya.
 #HidupSeimbang... @akhirudindc / akhirudindc@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar