KEPEMIMPINAN
A. What
is Leadership
Kepemimpinan
merupakan lokomotif organisasi yang selalu menarik dibicarakan. Daya tarik ini
didasarkan pada latar historis yang menunjukkan arti penting keberadaan seorang
pemimpin dalam setiap kegiatan kelompok dan kenyataan bahwa kepemimpinan
merupakan sentrum dalam pola interaksi antar komponen organisasi. Lebih dari
itu, kepemimpinan
dan peranan pemimpin menentukan kelahiran, pertumbuhan dan kedewasaan serta
kematian organisasi. Mengingat arti penting dan peranan kepemimpinan
itu maka buku
ini diarahkan bukan saja untuk menyegarkan pemahaman pembaca mengenai topik
kepemimpinan, melainkan pula dengan
menggunakan prinsip iklan untuk memberitahukan yang tidak tahu, mengingatkan
yang lupa, dan mempengaruhi sikap dan perilaku orang yang sudah tahu akan
kepemimpinan.
1.
Pengertian
Kepemimpinan
Kepemimpinan
diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan berbagai tugas yang
berhubungan dengan aktivitas anggota kelompok. Kepemimpinan
juga diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi berbagai strategi dan tujuan,
kemampuan mempengaruhi komitmen dan ketaatan terhadap tugas untuk mencapai
tujuan bersama; dan kemampuan mempengaruhi kelompok agar mengidentifikasi,
memelihara dan mengembangkan budaya organisasi (Shegdill dalam Stoner
dan Freeman 1989: 459-460).
Unsur-unsur kepemimpinan
menurut Shegdill adalah:
(1) adanya keterlibatan
anggota organisasi sebagai pengikut;
(2) distribusi kekuasaan
di antara pemimpin dengan anggota organisasi;
(3) legitimasi diberikan
kepada pengikut, dan
(4) pemimpin mempengaruhi
pengikut melalui berbagai cara.
Beberapa pendapat
pakar mengenai kepemimpinan juga disajikan oleh Philip (2003: 5-6) sebagai
berikut. Menurut Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses hubungan timbal
balik pemimpin dan pengikut dalam memobilisasi berbagai sumber daya ekonomi,
politik dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Selanjutnya, Gardner berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu atau
sekumpulan aktivitas yang teramati oleh pihak lain, berlangsung dalam kelompok,
organisasi atau lembaga, dan melibatkan pemimpin dan pengikut yang bekerjasama
untuk mewujudkan tujuan umum yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman
mengartikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar
mengabaikan apa yang tidak disukai dan melaksanakan apa yang disukai.
Sesuai definisi
kepeminpinan pakar di atas dapat dipahami bahwa kepemimpinan memiliki berbagai
makna, tergantung pada sudut pandang pakar, dan tergantung pula pada
konteksnya. Kepemimpinan merupakan suatu proses menggerakan berbagai sumber
daya dan mempengaruhi orang lain agar bekerjasama untuk pencapaian tujuan.
Kapabilitas, pengaruh, proses, pemimpin, pengikut, penggerakan, kerjasama dan
tujuan merupakan unsur-unsur penting kepemimpinan. Sebagai proses, kepemimpinan
dapat dikategorikan ke dalam beberapa bagian yaitu: (1) melibatkan pengaruh
pemberian contoh dan persuasi, (2) interaksi di antara berbagai aktor baik
sebagai pemimpin maupun sebagai pengikut, (3) interaksi dipengaruhi situasi
dimana interaksi itu berlangsung. (4) proses meraih berbagai luaran seperti
pencapaian tujuan, kohesi kelompok, dorongan atau perubahan budaya organisasi
(Philip, 2003: 6).
Konsep kepemimpinan
kontemporer menganggap bahwa kepemimpinan merupakan proses saling mempengaruhi
antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan bersama (Lussier dan Achua,
2001: 6). Elemen kunci kepemimpinan meliputi: pemimpin-pengikut, pengaruh,
orang, perubahan dan tujuan yang akan dicapai. Pengikut ialah orang lain yang
dipengaruhi oleh pemimpin. Pengaruh ialah upaya pemimpin mempengaruhi orang
lain dengan cara mengkomunikasikan gagasan, memperoleh tanggapan atas gagasan
yang dikemukakan dan memotivasi pengikut agar mendukung dan mengimplementasikan
gagasannya dengan melakukan perubahan. Pengaruh
merupakan esensi kepemimpinan. Pemimpin
yang efektif mempengaruhi pengikutnya dalam berpikir bukan hanya untuk
kepentingannya sendiri, melainkan pula untuk kepentingan bersama. Selanjutnya,
meskipun istilah orang tidak dikemukakan secara spesifik dalam definisi
kepemimpinan ini, namun setelah membaca elemen definisi kepemimpinan yang lain,
maka dapat dipahami bahwa kepemimpinan adalah mengarahkan orang (lain).
Definisi kepemimpinan ini mengandung makna bahwa pengikut yang baik juga
menunjukkan peran kepemimpinan jika diperlukan, artinya pengikut bisa saja
mempengaruhi pemimpinnya. Karena itu, definisi kepemimpinan kontemporer ini
menunjukkan bahwa proses mempengaruhi terjadi antara pemimpin dan pengikut
secara timbal balik dan dua arah.
2. Perkembangan Gaya Kepemimpinan
Langkah yang perlu ditempuh dalam
mengklasifikasikan gaya kepemimpinan ialah memahami pengertian gaya
kepemimpinan dan menentukan tipologi kepemimpinan yang dapat dijadikan sebagai
acuan yang dapat mencirikan sekaligus membedakan setiap gaya kepemimpinan. Istilah
gaya sama dengan cara, teknik atau metode yang digunakan oleh pemimpin untuk
mempengaruhi pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan oleh seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain
(Thoha, 2001: 49). Menurut Kaplan dan Norton (2001: 350) bahwa, gaya
kepemimpinan merupakan ramuan yang paling kritis bagi keberhasilan pengukuran
kinerja organisasi secara komprehensif. Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah
gaya kepemimpinan eksekutif senior yang berpengaruh terhadap seluruh anggota
organisasi.
Gaya kepemimpinan dapat dicirikan dan
dibedakan dengan fungsi kepemimpinan seperti uraian berikut. Gaya kepemimpinan
pada dasarnya mengandung arti berupa cara pemimpin berhubungan dengan pengikut
atau bawahannya. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan memiliki dua
sifat, yakni berorentasi pada tugas dan berorentasi pada bawahan (Robbins, et.al., 1994: 473).
Fungsi kepemimpinan pada dasarnya menyangkut dua hal pokok, yakni: (1)
fungsi yang berkaitan dengan tugas yang disebut fungsi pemecahan masalah, dan
(2) fungsi pemeliharaan kelompok yang disebut fungsi sosial.
Menurut Robbins, et.al. (1994: 477)
bahwa ada dua gaya kepemimpinan yang ekstrim yakni gaya kepemimpinan otokratis
dan gaya kepemimpinan demokratis. Gaya otokratis dipahami sebagai gaya
kepemimpinan yang berdasar pada kekuatan posisi dan penggunaan otoritas
pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis dikaitkan dengan kekuatan
personal dan keikutsertaan pengikut dalam proses pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Dua kutub pemikiran tentang gaya kepemimpinan ini
sejalan dengan pendapat Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt (1958) dalam
Robbins, et.al. (1994: 4780 dan Gibson (1997: 14) bahwa gaya kepemimpinan
otokratis dan demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang dapat ditempatkan
pada suatu kontinuum dari perilaku pemimpin yang sangat otokratis pada satu
ujung dan perilaku pemimpin yang sangat demokratis pada ujung yang lain.
Apalagi karena menggunakan kata kunci yang sama yakni “kontinuum”, dengan merinci
tujuh model keputusan pemimpin. Karena itu, gaya kepemimpinan yang lainnya
dapat diposisikan dalam kontinuum di antara kedua gaya kepemimpinan tersebut.
Beberapa gaya kepemimpinan yang populer
di masa lalu dapat dikategorikan ke dalam kontinuum klasifikasi gaya
kepemimpinan ini. Misalnya, model Manajerial Grid dari Robert R. Blake
dan Jane S. Mouton dalam Robbins, et.al. (1994: 474) yang merinci gaya
kepemimpinan ke dalam empat gaya ekstrim, ditambah satu gaya yang berada di
tengah-tengah untuk menyeimbangkan keempat gaya yang berada pada empat sisi
yang berbeda, merupakan salah satu contoh yang tepat. Begitu pula gaya tiga
dimensi dari William J. Reddin yang pada dasarnya hanya merupakan pengembangan
gaya kepemimpinan yang diintrodusir dari hasil penelitian Universitas Ohio dan
gaya yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Gaya kepemimpinan yang juga
penting sebagai bagian dari teori perilaku adalah sistem manajemen dari Rensist
Likert (Robbins, et.al., 1994: 309) berupa desain empat sistem kepemimpinan.
Hal penting yang dapat dipahami dari
deskripsi posisi gaya kepemimpinan di atas ialah pemetaan gaya kepemimpinan
dalam berbagai model – kontinuum, grid, tiga dimensi dan sistem manajemen – dan
gambaran tentang konsep kepemimpinan terdahulu yang tidak mempermasalahkan
perbedaan ciri setiap gaya kepemimpinan, padahal cirinya cenderung berbeda
dilihat dari peta teori yang dibuat. Dengan demikian, model kepemimpinan yang
dibuat ini merupakan wadah untuk memetakan gaya kepemimpinan yang ada dan akan
ada.
B.
Level
Analisis Teori Kepemimpinan
Untuk
mengklasifikasi teori dan penelitian kepemimpinan dapat dilakukan dengan cara
memahami level analisisnya (Lussier dan Achua, 2001: 14). Level analisis teori
kepemimpinan minimal terdiri dari empat, yakni individu, kelompok, organisasi
dan masyarakat. Karena itu, sebagian besar kajian kepemimpinan diformulasikan
dalam konsep proses pada salah satu dari empat level tersebut.
Pertama,
level individu. Level analisis ini terfokus pada individu pemimpin dan
hubungannya dengan individu lain (pengikutnya). Asumsi yang dianut ialah
efektivitas kepemimpinan tidak dapat dipahami lebih jauh tanpa menjelaskan
bagaimana pemimpin dan pengikutnya saling mempengaruhi satu sama lain sepanjang
waktu.
Kedua,
level kelompok. Level analisis ini terfokus pada hubungan antara pemimpin
dengan kelompok pengikut kolektif yang disebut proses kelompok. Teori proses
kelompok memfokuskan pada kontribusi seorang pemimpin terhadap efektivitas
kelompok. Penelitian mendalam tentang beberapa kelompok kecil telah
mengidentifikasi faktor determinan penting bagi efektivitas kelompok.
Ketiga,
level organisasi. Level analisis ini terfokus pada organisasi sehingga lazim
disebut proses organisasi. Kinerja organisasi dalam jangka panjang tergantung
pada penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan dan perolehan sumber daya
yang dibutuhkan untuk tetap hidup, serta pada proses transformasi efektif yang
digunakan oleh organisasi untuk menghasilkan produk dan jasa. Sebagian hasil
penelitian terakhir pada level organisasi menunjukkan adanya pengaruh
signifikan dari manajer level puncak terhadap kinerja organisasi (Lussier dan
Achua, 2001: 14; Manz dan Sims, 2001: 2; Overton, 2002).
Keempat,
level masyarakat. Level analisis ini banyak terfokus pada perilaku pemimpin
informal dalam masyarakat pada umumnya. Corak kepemimpinan di masyarakat sangat
dipengaruhi oleh tatanan nilai dan keyakinan serta norma-norma (adat,
kesusilaan, hukum, agama) yang berkembang dalam masyarakat.
1. Paradigma
Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan merupakan penjelasan
mengenai beberapa aspek kepemimpinan dan teori yang memiliki nilai praktis
karena digunakan untuk memahami, memprediksi dan mengendalikan sukses
kepemimpinan secara lebih baik. Minimal ada empat klasifikasi teori
kepemimpinan atau pendekatan penelitian untuk menjelaskan kepemimpinan.
Klasifikasi teori kepemimpinan – yang dalam tulisan ini disebut gaya
kepemimpinan – mencakup pembawaan, keperilakuan, kontingensi dan integratif.
Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa
paradigma kepemimpinan merupakan bagian dari pola pikir yang mewakili cara
berpikir, mempersepsikan, mempelajari, meneliti dan memahami kepemimpinan
secara fundamental. Keempat klasifikasi teori kepemimpinan utama tersebut juga
mewakili perubahan paradigma kepemimpinan (Lussier dan Achua, 2001: 14-19).
2.
Paradigma Teori Pembawaan (Sifat)
Kajian kepemimpinan pada mulanya
didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat. Peneliti
kemudian mengidentifikasi serangkaian pembawaan pemimpin yang membedakan dengan
pengikutnya, serta pemimpin efektif dengan pemimpin tidak efektif. Teori
pembawaan kepemimpinan mencoba menjelaskan karakteristik khusus kepemimpinan
yang efektif. Peneliti menganalisis pembawaan fisik dan psikologis serta
kualitas, seperti level kemampuan yang tinggi, keagresifan, kepercayaan pada
diri sendiri, daya persuasif yang dimiliki dan kekuasaannya dalam
mengidentifikasi serangkaian pembawaan yang dimiliki oleh pemimpin yang sukses.
Dalam berbagai sumber dinyatakan bahwa, keberhasilan seorang pemimpin
ditentukan oleh sifat dan perangai pemimpin tersebut. Sifat-sifat tersebut
dapat berupa sifat fisik, sosial dan psikologis (Introducing Leadership
Studies, 2001: 18; Leadership, 2001: 1; Sadler, 2001: 11).
Atas dasar pemikiran di atas ada
anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil sangat ditentukan
kemampuan pribadi pemimpin. Karena itu, timbul usaha dari para ahli untuk
meneliti dan merinci kualitas seorang pemimpin yang berhasil melaksanakan tugas
kepemimpinannya, kemudian hasilnya diformulasikan ke dalam sifat-sifat umum
seorang pemimpin. Usaha tersebut berkembang menjadi teori kepemimpinan yang
disebut “teori sifat kepemimpinan” (Robbins, at.al., 1994: 469).
Teori Sifat atau Pembawaan
Bakat-bakat
kepemimpinan: merepresentasikan karakteristik personal yang membedakan para
pemimpin dari bawahannya.
Temuan
historis menunjukkan bahwa pemimpin dan bawahan dibedakan berdasarkan:
·
Intelijensi
·
Dominasi
·
kepercayaan
diri
·
tingkat
energi dan aktivitas
·
pengetahuan
yang relevan dengan tugas
Temuan
kontemporer menunjukkan bahwa:
·
orang
cenderung mempersepsikan seseorang selaku pemimpin ketika menunjukkan bakat
yang berhubungan dengan intelijensi, maskulinitas dan dominasi
·
orang
mengharapkan pemimpin tersebut menjadi kredibel
pemimpin yang kredibel adalah pemimpin yang
jujur, berpandangan jauh ke depan dan cakap.
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen,
Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Daftar pembawaan digunakan sebagai prasyarat
untuk mengusulkan calon untuk menduduki posisi kepemimpinan. Calon yang bisa
diberi kesempatan menduduki posisi kepemimpinan adalah yang memiliki semua
pembawaan yang diidentifikasi. Namun, tidak satu pun yang menjadi daftar
pembawaan universal yang dimiliki oleh pemimpin sukses atau pembawaan yang
menjamin keberhasilan kepemimpinan. Pertanyaannya, perangai bagaimana yang
perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Ternyata hasil usaha yang dilakukan oleh
para pakar sangat heterogen sehingga timbul keraguan terhadap hasil tersebut.
Sisi positifnya ialah meskipun tidak ada daftar yang menjamin keberhasilan
kepemimpinan, namun pembawaan yang terkait dengan keberhasilan kepemimpinan
dapat teridentifikasi.
3.
Paradigma Teori Kepemimpinan Perilaku
Setelah pada awal tahun lima puluhan
diketahui bahwa penyelidikan mengenai ciri-ciri kepemimpinan tidak berhasil,
para pakar dan peneliti kepemimpinan memulai mempelajari tingkah laku pemimpin.
Tingkah laku pemimpin lebih terkait dengan proses kepemimpinan. Karena itu, ada
dua dimensi utama kepemimpinan yang dikenal dengan nama konsiderasi dan
struktur inisiasi. Dua macam kecenderungan perilaku kepemimpinan tersebut pada
hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan.
Teori Gaya Keperilakuan
·
Studi Ohio
State University mengidentifikasi dua dimensi penting perilaku pemimpin
1.
Konsiderasi:
menciptakan respek dan kepercayaan timbal-balik dengan bawahan
2.
Inisiasi
struktur: mengorganisir dan meredefinisi apa-apa yang akan dikerjakan oleh
anggota kelompok
· Studi Michigan University mengidentifikasi dua gaya
kepemimpinan yang sama dengan studi yang dilakukan oleh Ohio State University.
salah satu
gaya terfokus pada pekerja dan gaya yang satunya terfokus pada pekerjaan
· Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu
gaya kepemimpinan yang terbaik. Efektivitas gaya kepemimpinan tertentu
tergantung pada situasi di mana gaya tersebut diterapkan.
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami
bahwa perilaku pemimpin yang efektif melakukan konsiderasi tergantung pada
aspek berikut:
·
Kepuasan
pengikut terhadap pemimpin tergantung pada derajat konsiderasi yang ditunjukkan
oleh pemimpin.
·
Konsiderasi
pemimpin lebih berpengaruh terhadap pengikut ketika pekerjaan tidak
menyenangkan dan mendesak, dari pada ketika pekerjaan menyenangkan dan tidak
mendesak.
·
Pemimpin
yang menunjukkan konsiderasi dapat melakukan inisiasi struktur yang lebih
banyak tanpa mengurangi kepuasan pengikutnya.
·
Konsiderasi
yang diberikan sebagai respons terhadap kinerja yang baik akan meningkatkan
kemungkinan kinerja yang baik di masa depan.
Sedangkan
perilaku pemimpin yang efektif melakukan inisiasi struktur adalah:
·
Inisiasi
struktur yang memperjelas peran tambahan akan meningkatkan kepuasan.
·
Inisiasi
struktur akan menyurutkan kepuasan pengikut ketika struktur tersebut sudah
tersedia.
·
Inisiasi
struktur akan meningkatkan kinerja ketika tugas tidak jelas.
·
Inisiasi
struktur tidak akan mempengaruhi kinerja ketika tugas jelas (Leadership, 2001:
2).
Uraian di atas
memperjelas bahwa teori kepemimpinan perilaku mencoba menjelaskan keunikan gaya
yang digunakan oleh pemimpin yang efektif, atau memahami sifat-sifat pekerjaan
pemimpin. Sepuluh peran manajerial dari Henry Minzberg merupakan salah satu
contoh teori kepemimpinan perilaku. Peneliti perilaku menekankan pada penemuan
cara mengklasifikasikan perilaku yang dapat memberikan pemahanan mengenai
kepemimpinan.
4.
Paradigma Teori Kepemimpinan Kontigensi
Pada mulanya, teori kepemimpinan yang
dibangun oleh Fiedler ini menekankan pada dua sasaran, yakni melakukan
idenfikasi faktor-faktor penting dalam situasi tertentu dan memperkirakan gaya
atau perilaku kepemimpinan yang paling efektif dalam situasi tertentu. Hasil
penelitian Fiedler menunjukkan bahwa, dalam situasi kerja selalu ada tiga
elemen yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yakni: hubungan pemimpin
dengan bawahan, struktur tugas dan ketangguhan posisi pemimpin.
Teori kepemimpinan kontingensi
menjelaskan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan pemimpin, pengikut dan
situasinya. Paradigma teori ini menekankan pentingnya faktor situasional,
termasuk sifat pekerjaan yang dilakukan, lingkungan eksternal dan karakteristik
pengikut. Selain itu, dikenal pula teori kepemimpinan situasional (Robbins,
at.al., 1994: 483) yang dikembangkan dari teori kepemimpinan model kontingensi
Fiedler ini. Berdasarkan teori ini, gaya kepemimpinan yang paling efektif
adalah gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingakat kedewasaan bawahan.
Namun, Hersey dan Blanchard tidak merinci dan memberikan definisi kedewasaan
sebagai suatu tingkat kemantapan emosional.
5.
Paradigma Teori Kepemimpinan Integratif
Pada paruh sampai akhir tahun 1970an,
paradigma kepemimpinan mulai berubah menjadi paradigma integratif atau teori
kharismatik baru. Sesuai namanya, teori kepemimpinan integratif ini memadukan
teori pembawaan, perilaku dan kontingensi untuk menjelaskan kesuksesan dan
pengaruh hubungan antara pemimpin dan pengikut. Peneliti berusaha menjelaskan
mengapa pengikut pemimpin tertentu mempunyai keinginan bekerja keras dan rela
berkorban untuk mencapai tujuan kelompoknya. Di samping itu, menjelaskan
bagaimana seorang pemimpin secara efektif mempengaruhi perilaku pengikutnya,
serta mengapa perilaku pemimpin yang sama dapat membawa dampak yang berbeda
pada pengikutnya dalam situasi tertentu.
C. Pendekatan
Baru Terhadap Kepemimpinan
Dewasa ini, sejumlah peneliti
kepemimpinan kembali menggunakan teori sifat kepemimpinan, meskipun dengan
perspektif yang berbeda (Robbins, 1994: 497). Lima teori kepemimpinan menurut
pendekatan baru ini ialah teori atribusi,
teori kepemimpinan kharismatik dan
teori kepemimpinan transaksional versus
transformasional. Selain itu, teori kepemimpinan pengembangan (Gilley dan
Maycunich, 2000) dan teori kepemimpinan super (Manz dan Sims, 2001) juga
merupakan gaya atau tipe kepemimpinan yang tergolong dalam perspektif ini.
Tinjauan tiga teori kepemimpinan yang
pertama atribusi,
kharismatik dan transaksional versus transformasional dapat diringkaskan dari beberapa sumber (Politis, 2001:
358-359; Politis, 2002: 188-190; Lussier dan Achua, 2001: 374-384 Bass dan
Burns dalam Haryono, 2002: 7-10) sebagai berikut.
1. Teori Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan menjelaskan perbedaan hubungan sebab-akibat
yang mempengaruhi orang. Bila terjadi suatu peristiwa, pemimpin mencoba
menghubungkannya dengan suatu penyebab yang sifatnya internal dan eksternal.
Dalam konteks kepemimpinan, teori atribusi menyatakan bahwa kepemimpinan
merupakan astribusi yang dibuat orang mengenai individu lain. Dengan
menggunakan kerangka atribusi ini, peneliti menemukan bahwa orang mencirikan
pemimpin sebagai menyandang ciri seperti kecerdasan, kepribadian,
keramah-tamahan, keterampilan verbal yang kuat, keagresifan, pemahaman dan
kerajinan. Salah satu tema yang lebih menarik dalam literatur teori atribusi
kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang efektif umumnya konsisten atau
tidak bergeming dalam keputusan yang dibuat (Robbins, 1994: 167, 497-498).
2.
Teori Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan kharismatik merupakan suatu perluasan dari teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa
para pengikut membuat atribusi dari
kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mengamati
perilaku-perilaku tertentu. Beberapa penulis telah mengidentifikasi
karakteristik pribadi pemimpin kharismatik
ini. Robert House yang terkenal dengan gagasannya mengenai teori jalur-tujuan
mengidentifikasi tiga karakteristik pemimpin kharismatik, yakni: kepercayaan
diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan pada keyakinan yang dianut
(Robbins, et.al., 1994: 499-500).
Teori Jalur-Tujuan dari House
(Sumber:
diadaptasi dari Chapter
Seventeen, Leadership, 2001,
The
McGraw-Hill Company, Inc.)
|
Gaya Kepemimpinan
-
Direktif
-
Supportif
-
Partisipatif
-
Berorientasi pada
prestasi
|
Faktor-faktor Lingkungan
-
Tugas-tugas
pekerja
-
Sistem kewenangan
-
Kelompok kerja
|
Karakteristik Pengikut
-
Lokus
pengendalian
-
Kemampuan tugas
-
Kebutuhan
berprestasi
-
Pengalaman
-
Tuntutan
kejelasan
|
Sikap
dan Perilaku Pengikut
- Kepuasan
pekerjaan
- Penerimaan
pemimpin
-
Motivasi
|
Setelah Warren Bennis mempelajari 90
pemimpin yang paling efektif dan sukses di Amerika serikat disimpulkan bahwa
pemimpin kharismatik mempunyai empat kompetensi yang sama yakni: mempunyai visi
atau pemahaman tujuan; dapat mengkomunikasikan visinya dalam kata-kata yang
jelas sehingga para pengikutnya dapat dengan mudah memihak; dapat menunjukkan
konsistensi dan fokus dalam memburu visi kepemimpinannya; dan tahu kekuatannya
sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu, analisis yang paling menyeluruh telah
dirampungkan oleh Congger dan Kanungo dari Universitas McGill. Sebagian
kesimpulan yang dibuat menyatakan bahwa pemimpin kharismatik memiliki tujuan
ideal yang ingin dicapai, memiliki komitmen pribadi yang kuat pada tujuan,
tidak konvensional, tegas dan percaya diri, serta sebagai agen perubahan
radikal, bukan manajer dari status quo.
Model Kepemimpinan Kharismatik
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership,
2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
|
Budaya Organisasi
|
Perilaku Pemimpin
|
Efek terhadap
pengikut dan kelompok kerja
|
Luaran
|
·
Adaptif
|
·
Pemimpin membangum visi
·
Pemimpin membangun harapan kinerja yang tinggi
dan menunjukkan kepercayaan pada diri dan
kepada orang lain, serta kemampuan kolektif untuk merealisasikan visi
·
Model pemimpin yang mengharapkan agar
nilai-nilai, bakat, keyakinan dan perilaku diperlukan untuk merealisasikan
visi
|
·
Meningkatkan motivasi intrinsik, orientasi
prestasi dan pencapaian tujuan
·
Meningkatkan identifikasi terhadap pemimpin
dan kepentingan kolektif anggota organisasi
·
Meningkatkan kohesi di antara anggota kelompok
·
Meningkatkan prestise diri, kemanjura diri,
dan perhatian intrinsik terhadap pencapaian tujuan
·
Meningkatkan pemodelan peran kepemimpinan
kharismatik
|
·
Komitmen personal terhadap pemimpin dan visi
·
Perilaku diri sendiri yang disakralkan
·
Komitmen organisasi
·
Kebermaknaan dan kepuasan tugas
·
Meningkatkan kinerja individu, kelompok,
organisasi dan masyarakat
|
Menurut Bass (1985) bahwa kharisma
adalah bagian penting dari kepemimpinan transformasional, namun kharisma itu
sendiri tidak cukup untuk proses transformasional. Pemimpin kharismatik lebih
dari sekedar percaya diri pada keyakinannya, melainkan pula melihat dirinya
sendiri seperti mempunyai suatu tujuan dan takdir supranatural. Sementara itu,
pengikutnya bukan saja mempercayai dan menghormati pemimpin yang kharismatik,
melainkan pula memuja dan menyembah pemimpinnya sebagai seorang pahlawan yang
melebihi manusia atau tokoh spiritual. Pemimpin kharismatik dipandang memiliki
kebesaran, sekaligus menjadi katalisator mekanisme psikodinamik pengikutnya.
Seorang pemimpin kharismatik lebih besar
kemungkinannya akan lahir manakala para pengikut membagi sama norma-norma,
keyakinan dan fantasi yang dapat dijadikan sebagai basis bagi seruan emosional
dan rasional oleh pemimpin tersebut. Namun, Bass juga menyatakan bahwa
tanggapan seseorang terhadap pemimpin kharismatik kemungkinannya akan sangat
terpolarisasi, karena pemimpin kharismatik dicintai oleh beberapa orang namun
dibenci oleh yang lainnya. Tanggapan yang terpolarisasi ini membantu
menjelaskan mengapa demikian banyak pemimpin politik yang kharismatik menjadi
sasaran pembunuhan.
Kata akhir yang perlu dipahami dalam hal
ini ialah kepemimpinan kharismatik mungkin tidak selalu diperlukan untuk
mencapai tingkat kinerja karyawan yang tinggi. Namun, pemimpin kharismatik
mungkin paling tepat jika tugas pengikut memiliki suatu komponen ideologis. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa pemimpin kharismatik lebih dimungkinan muncul
dalam konteks politik, agama, waktu perang atau apabila suatu perusahaan bisnis
memperkenalkan suatu produk yang benar-benar baru (baca: produk kreatif dan
inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam kehidupannya.
3. Kepemimpinan Transaksional versus Transformasional
Hasil
studi terakhir yang menarik mengenai dua gaya kepemimpinan ini adalah perhatian
yang diberikan pada perbedaan pemimpin transformasional dari pemimpin
transaksional. Padahal, pemimpin transformasional juga kharismatik. Karena itu,
seringkali terjadi tumpang-tindih topik ini dengan pembahasan kepemimpinan
kharismatik.
Burns
membedakan kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transaksional memotivasi pengikutnya dengan menunjuk pada
kepentingan diri sendiri. Burns juga membedakan kepemimpinan transaksional dan
kepemimpinan yang mentransformasi pengaruh yang ditunjukkan berdasarkan pada
kekuasaan birokratis. Organisasi birokratis lebih menekankan pada kekuatan
legitimasi dan lebih menghormati peraturan serta trandisi, dari pada pengaruh
yang didasarkan atas pertukaran atau inspirasi. Hal ini didasarkan pada
pemahaman bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses, bukan sejumlah tindakan
yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Burns menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah
arus antar hubungan yang berkembang, di mana pemimpin secara terus-menerus
membangkitkan tanggapan motivasi dari pada pengikut dan memodifikasi perilaku
pengikutnya pada saat menghadapi tanggapan atau perlawanan, dalam sebuah proses
dan arus balik yang tidak pernah berhenti.
Bass
(1985) memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional yang dibangun
berdasarkan gagasan awal dari Burns (1978). Pengikut pemimpin transformasional
merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan adanya rasa hormat terhadap
pemimpinnya dan bawahan tersebut termotivasi untuk melakukan lebih dari pada
apa yang diharapkan darinya. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi
pengikutnya dengan cara: (1) membuat pengikutnya lebih sadar mengenai arti
penting hasil suatu pekerjaan yang dilakukan; (2) mendorong pengikutnya untuk
lebih mementingkan tim atau organisasi dari pada kepentingan dirinya sendiri;
dan (3) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya pada level yang lebih tinggi.
Formulasi
teori Bass (1985) mencakup tiga unsur kepemimpinan transformasional, yakni:
kharisma, stimulasi intelektual dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma
didefisinikan sebagai sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi
para pengikutnya dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi
dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual ialah suatu proses yang di
dalamnya pemimpin meningkatkan kesadaran pengikut terhadap berbagai masalah dan
mempengaruhi para pengikutnya untuk memandang berbagai masalah dari perspektif
yang berbeda. Perhatian yang diindividualisasi termasuk di dalamnya memberi
dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman tentang perkembangan kepada
para pengikutnya. Sementara itu, kepemimpinan transaksional diartikan sebagai
sebuah pertukaran imbalan untuk mendapatkan kepatuhan.
Berdasarkan
pengertian di atas, jelas bahwa Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional
dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Salah satu komponen perilaku
transaksional yang disebut perilaku contingent rewards mencakup kejelasan
mengenai pekerjaan yang diharapkan memperoleh imbalan dan menggunakan insentif
dan contingent rewards untuk mempengaruhi motivasi. Komponen kedua yang
disebut active management by exception, mencakup pemantauan para bawahan
dan tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah
dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga yang disebut passive management
by exception ditambahkan oleh Bass dan rekannya. Termasuk ke dalam komponen
ini adalah penggunaan contingent punishment dan tindakan perbaikan
sebagai tanggapan atas penyimpangan dari standar kinerja. Bass memahami
kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai proses yang berbeda
namun tidak saling menafikan. Selain itu, Bass mengakui bahwa pemimpin yang
sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu dan situasi
yang berbeda.
Kepemimpinan Transaksional versus Kepemimpinan
Kharismatik
(Sumber: diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Kepemimpinan
Transaksional: terfokus pada interaksi interpersonal antara pemimpin dan para
pengikut
· Pemimpin
Transaksional
- Menggunakan
ganjaran kontingen untuk memotivasi pengikutnya
- Tindakan
koreksi hanya dilakukan manakala pengikutnya gagal mencapai tujuan kinerja
yang diharapkan
Kepemimpinan Kharismatik: menekankan perilaku
pemimpin simbolik yang mentransformasi para pengikut untuk memprioritaskan
tujuan bersama lebih dari kepentingan pribadi.
· Pemimpin
Kharismatik
- Menggunakan
pesan-pesan visioner dan inspirasional
- Berdasar
pada komunikasi non-verbal
- Menyerukan
nilai-nilai ideologis
- Berupaya
menstimulasi pengikutnya secara intelektual
- Menunjukkan
kepercayaan diri dan para pengikutnya
- Menetapkan
harapan kinerja yang tinggi
|
Kebanyakan
teori kepemimpinan yang disajikan sebelumnya misalnya studi Ohio, model
Fiedler, teori jalur tujuan dan model partisipasi pemimpin memperkuat konsep
kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini memandu dan motivasi pengikutnya
ke arah tujuan yang ditetapkan. Kepemimpinan transformasional dibangun di atas
“fondasi” kepemimpinan transaksional, sehingga menghasilkan tingkat upaya dan
kinerja bawahan yang melampaui apa yang terjadi dengan pendekatan transaksional
semata. Lebih dari itu, kepemimpinan transformasional lebih dari pada pemimpin
kharismatik. Pemimpin yang semata-mata kharismatik dapat menghrapkan
pengikutnya mengadopsi perspektif pemimpin kharismatik dan tidak beranjak lebih
jauh. Sementara itu, pemimpin transformasional berupaya menanamkan dalam diri
pengikutnya kemampuan untuk mempertanyakan tidak hanya pandangan yang mapan,
melainkan pula pandangan yang ditetapkan oleh pemimpin.
D.
Perbandingan
Tipe Kepemimpinan
Perbandingan
tipe kepemimpinan yang dibahas berikut ini diwakili oleh tipe The Strong
Man, The Transactor, Visionary Hero dan Superleader (Manz and Sims, 2001:
39). Pertama, the Strongman menggunakan kewenangan dalam
posisinya untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk kepadanya karena rasa
takut. Perilaku the strongman yang paling umum adalah menginstruksikan,
memerintah dan mengintimidasi.
Kedua, the
Transactor, dikategorikan ke dalam tipe hubungan pertukaran pemimpin dengan
bawahan (orang lain). Pemimpin menanamkan pengaruh melalui dispensasi imbalan
dalam pertukaran sehingga pengikut mentaati apa yang diinginkan oleh pemimpin.
Perilaku yang paling banyak digunakan oleh pemimpin ini ialah ganjaran personal
dan material sebagai balikan dari upaya, kinerja dan loyalitas orang terhadap
kepemimpinannya (bandingkan dengan Model Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota).
Model Pertukaran Pemimpin-Anggota
(Sumber: diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·
Model ini didasarkan pada gagasan bahwa satu dari
dua tipe khusus mengembangkan hubungan pertukaran timbal balik
pemimpin-anggota, dan pertukaran itu berhubungan dengan luaran pekerjan
penting.
-
pertukaran dalam kelompok: kemitraan yang
dicirikan dengan rasa saling percaya, respek dan menyukai
-
pertukaran di luar kelompok: kemitraan yang
ditandai dengan kurangnya rasa saling percaya, respek dan menyukai.
·
Hasil penelitian mendukung model ini.
|
Ketiga, the
Visionary Hero dicirikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh pemimpin untuk
menciptakan motivasi yang tinggi dan menyerap visi masa depan. Pemimpin ini
memiliki kapasitas untuk memberi kekuatan kepada orang lain untuk
merealisasikan visi yang ditetapkan. Jenis kepemimpinan ini terutama menyangkut
proses pengaruh atas-bawah. Pemimpin merupakan sumber kebijakan dan arahan,
serta cenderung menempati posisi sentral, sementara peran pengikut memudar
dalam bayang-bayang pemimpin. Kewenangan pemimpin didasarkan pada kapabilitas
yang dimiliki dalam membangkitkan komitmen pengikutnya terhadap visi pemimpin.
Keempat, the
Superleadership, yaitu pemimpin yang mengarahkan orang lain agar dapat
mengarahkan dirinya sendiri. Pemimpin super dikenal pula sebagai pemimpin
pemberdaya. Tipe pemimpin ini terutama terfokus pada bawahan. Pemimpin menjadi
“super” memiliki kekuatan dan kebijaksanaan sejumlah orang – karena membantu
melejitkan kemampuan para pengikut yang mengelilinginya (Manz dan Sims, 2001:
45).
Kepelayanan dan Kepemimpinan Super
(Sumber: Manz dan Sims, 2001; Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
· Merepresentasikan
filosofi kepemimpinan mengenai pemimpin yang lebih terfokus pada peningkatan
pelayanan terhadap orang lain (orang banyak) dari pada untuk orang tertentu.
· Pemimpin
super adalah orang yang mengarahkan orang lain untuk mengarahkan dirinya
sendiri melalui pengembangan keahlian manajemen para pekerja
· Pemimpin
super berusaha meningkatkan perasaan pengendalian diri dan motivasi intrinsik
pekerja
|
Tugas pemimpin
super adalah membantu pengikut mengembangkan keahlian kepemimpinannya secara
mandiri agar memberikan sumbangan yang lebih besar kepada organisasi. Pemimpin
super mendorong inisiatif pengikutnya, mendorong rasa tanggung jawab individu,
rasa percaya diri, penetapan tujuan diri sendiri, pemikiran peluang positif dan
pemecahan masalah sendiri. Dengan kata lain, pemimpin super memberdayakan
bawahannya sehingga gaya kepemimpinan ini bisa dianggap sebagai tipe pemimpin
pemberdaya. Luaran perilaku yang dihasilkan oleh tipe kepemimpinan super ialah
kinerja jangka panjang tinggi, kepercayaan diri para pengikut tinggi,
pengembangan pengikut tinggi, fleksibiltas sangat tinggi, inovasi tinggi, mampu
bekerja tanpa pemimpin dan mengandalkan kerjasama tim. Berdasarkan uraian di atas, dibuat contour
perkembangan konsep dan gaya kepemimpinan dari masa ke masa seperti terlihat
pada visualisasi berikut.
Peta Perkembangan Konsep
Kepemimpinan
(Diadaptasi
dan dikembangkan dari Rachmany, 2003: 38)
Konsep
Kepemimpinan
(1930 – 2003)
|
Teori Sifat atau Pembawaan
- Ordway Tead (1963)
- George R. Terry (1964)
|
Tradisi
Keperilakuan
-
Robert
Tannembaum and arren H. Schmid (1958)
-
William J. Reddin
(1969)
-
Robert R. Blake
and Jane S. Mouton (1964)
|
Teori Kepemimpinan Atribusi
-
H. H. Kelley
(1972, 1973)
-
J. C. McElroy (1982)
-
T. R. Michell,
et.al. (1981)
|
Teori Kepemimpinan Kontingensi
- Fred Fiedler (1967)
- Martin Evans and Robert House (1974)
- Paul Hersey and Kenneth Blanchard (1962)
|
Teori Kepemimpinan Integratif
|
Teori Kepemimpinan Kharismatik
-
Robert House
(1977)
-
B. M. Bass
(1985, 1990, 1992)
|
Teori Kepemimpinan
Transformational versus Transaksional
-
B. M. bass (1985, 1990,
1992)
-
Burns (1985)
|
Teori
Kepemimpinann Super
(Studi- Manz and Sims (2001)
|
Teori Kepemimpinan
Pengembangan
-
Gilley and
Maycunich (1999, 2000)
|
E.
Mitos
Tentang Kepemimpinan
Ada 3 (tiga) mitos yang berkembang di masyarakat
tentang kepemimpinan itu:
1. Mitos the Birthright
Mitos the Birthright
berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dihasilkan (dididik). Mitos
ini berbahaya bagi perkembangan regenerasi pemimpin karena yang dipandang
pantas menjadi pemimpin adalah orang yang memang dari sananya dilahirkan
sebagai pemimpin, sehingga yang bukan dilahirkan sebagai pemimpin tidak
memiliki kesempatan menjadi pemimpin
2. Mitos the For All Seasons
Mitos the For All -
Seasons berpandangan bahwa sekali orang itu menjadi pemimpin selamanya dia akan
menjadi pemimpin yang berhasil. Padakenyataannya keberhasilan seorang pemimpin
pada satu situasi dan kondisi tertentu belum tentu sama dengan situasi dan
kondisi lainnya
3. Mitos the Intensity
Mitos the Intensity berpandangan
bahwa seorang pemimpin harus bisa bersikap tegas dan galak karena pekerja itu
pada dasarnya baru akan bekerja jika didorong dengan cara yang keras. Pada
kenyataannya kekerasan mempengaruhi peningkatan produktivitas kerja hanya pada
awal-awalnya saja, produktivitas seterusnya tidak bisa dijamin. Kekerasan pada
kenyataannya justru dapat menumbuhkan keterpaksaan yang akan dapat menurunkan
produktivitas kerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar