TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Rabu, 26 Juli 2017

Sejarah Organisasi Islam di Indonesia

Sejarah Organisasi Islam di Indonesia

Materi Kuliah : Kamis, 27 Juli 2017

Perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami, serta munculnya partai-partai yang memakai platform islam.
Setelah Reformasi, kebangkitan islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif.

A. Nadhatul Ulama ( NU )
Nadhatul Ulama adalah salah satu organisasi keagamaan yang terbesar jumlah anggotanya di Indonesia, Nadhatul Ulama berdirinya pada tanggal 16 Rajab 1344 atau 13 Januari 1926 M di Surabaya dengan pemrakarsa KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah[1]. NU sendiri berpahamkan “Ahlusunnah wal Jama’ah” berasaskan Pancasila, yang dalam aqidah mengikuti aliran Asy-ari’yah Maturidiyah, dalam syariah/fiqh mengikuti salah satu madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali, dan dalam tashawuf mengikuti Al-Junaid dan Al-Ghozali[2].
Pembentukan NU dilatar belakangi keinginan Raja Abdul Aziz Ibnu Saud untuk menerapkan asas tunggal yakni Madzhab Wahabi di Mekah, serta menghancurkan semua peninggalan Sejarah Islam maupun Pra Islam yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan tersebut disambut hangat kaum modernis Indonesia, namun kalangan pesantren menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Karena perbedaan itu, kalangan pesantren memutuskan keluar dari anggota Kongres Al-islam di Yogyakarta 1925 yang akan berangkat menghadiri undangan Raja Ibnu Saud di Mekah. Mereka akhirnya membentuk Komite Hejaz. Rapat pertama Komite Hejaz diadakan pada tanggal 31 Januari 1926 ditempat kediaman KH Abdul Wahab Abdullah di Desa Kertopaten, Surabaya.
Rapat Komite Hijaz menghasilkan dua keputusan, yaitu :
1.      Kalangan pesantren membuat delegasi sendiri yang diketuai KH Wahab Chasbullah ke Mekkah bertemu langsung Raja Ibnu Saud.
2.      Membentuk satu jami’ah sebagai wadah persatuan ulama yang bernama Jami’ah Nadhatul Ulama atas usulan KH Alwi Abdul Aziz.
Faham Ahlussunnah wal Jama;ah yang dianut NU adalah sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah Antara ekstrim aqli ( rasionalis ) dengan kaum ekstrim naqli ( skripturalis ). Sumber pemikiran NU tidak hanya berdasarkan Al-qur’an dan Sunnah, namun juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiric.
NU memiliki 13 bidang cakupan pada program kerja, Antara lain bidang keagamaan, pendidikan, budaya, dakwah, sosial, ekonomi, tenaga kerja, pertanian, nelayan, generasi muda, kewanitaan, pengembangan sumber daya manusia, penerbitan dan informasi, kependudukan dan lingkungan hidup.
Nadhatul Ulama memiliki 7 lajnah ( panitia ) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan program-program di lapangan, yaitu :
1.      Lajnah  Falakkiyah (  Lembaga Falak )
2.      Lajnah At-Ta’lif wa An-Nasyr ( Lembaga Penerbitan dan Publikasi )
3.      Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
4.      Lajnah Waqfiyah
5.      Lajnah Penyuluhan dan Bantuan Hukum
6.      Lajnah Zakat, Infaq, Shadaqah, dan
7.      Lajnah Bahs Al-Masa’il Ad-Diniyyah
Selain itu NU memiliki 12 lembaga, dan 9 badan otonom yang berfungsi untuk membantu pelaksaan kebijakan organisasi. Kini anggota NU tersebar di berbagai daerah, dan Negara sahabat,yang berjumlah tidak kurang dari 45 jiwa. NU pun sering dijuluki penganut islam tradisionalis, karena system pendidikannya yang berupa pesantren.
Setelah berakhirnya Masa Orde Baru, perbedaan Antara konservatif dan progresif mereka ingin membawa NU ke politik dan yang ingin kembali ke Khittah 1926. Namun pengalaman selama 21 tahun menjadi partai politik telah cukup menyulitkan posisi NU, selain menjadi kurang terbinanya kerja NU dalam bidang pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Akhirnya diputuskan untuk mengembalikan fungsi NU sesuai semangat tahun 1926[3].

B. Jami’at Khair Al-Irsyad
Pada tahun 1901, di Pekojan mereka mendirikan organisasi Al-Jami’at Al-Khariyah ( Perkumpulan Kebaikan ). Organisasi ini memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1905. Jami’at Khoir ini didirikan oleh Sayid Muhammad Al-Fakhir bin Abdurahman Al-mansur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Syehan bin Sihab.
Anggota organisasi ini terbuka bagi setiap muslim, namun mayoritas anggotanya adalah Masyarakat Arab. Tujuan berdirinya organisasi ini karena beberapa hal menyangkut pendidikan, yaitu :
1.      Keterbatasan sarana pendidikan dan kekurangsesuaian fasilitas pendidikan.
2.      Masyarakat Arab kurang suka mengikuti pendidikan di sekolah Belanda.
3.      Sekolah pribumi kurang bermutu.
System pendidikan Jami’at Khoir menggunakan system modern, seperti adanya kurikulum, mata pelajaran umum, mata pelajaran agama, kelas-kelas yang sudah terorganisasi. Jami’at Khoir pun mendatangkan guru-guru dari luar yaitu:
1.       H.Muhammad Mansur dari Padang
2.       Alhasimi dari Tunis yag memperkenalkan kepanduan dan olahraga
3.      Syekh Muhammad Thaib dari Maroko tahun 1911
4.      Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah tahun 1911
5.      Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan tahun 1911
Soorkati memiliki peranan penting dalam perkembangan Jami’at Khoir. Soorkati lahir pada tahun 1875, didesa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan. Ayahnya adalah seorang lulusan Universitas Al-azhar yang bernama Jabir bin Abdullah Al-ansari. Pada tahun 1875 ia mengikuti pendidikan tradisional di Sudan dan melanjutkan studi di Universitas Al-azhar. Tahun 1896, ia pergi ke Madinah dan tinggal selama empat tahun untuk belajar agama.
Jami’at Khair dibawah pimpinan Soorkati mengalami kemajuan pesat dengan didirikannya dua madraah di Krukut dan Pekojan, dan satu di Bogor. Muridnya pun tidak hanya berasal dari daerah sekitar, tetapi juga dari dareah Batavia dan Sumatera.
Setelah dua tahun aktif di Jami’at Khair terjadi etegangan Antara Soorkati dan pengurus Jami’at Khair berawal dari lawatan Soorkati keliling Jawa Tengah pada tahun 1913. Soorkati singgah di kediaman Alhamid di Solo. Saat bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan seorang syarifah dengan pria non alawi, Soorkati menjawab perkawinan itu dibolehkan menurut hukum syar’I yang adil. Jawaban Soorkati ini dianggap telah menghina golongan alawi.
Akhirnya Soorkati menyadari bahwa organisasi ini didominasi oleh golongan Sayyid yang menganggap dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan keturunan Ali dan Fatimah yang memiliki kemuliaan dan kedudukan lebih tinggi dari yang lainnya, sebagai manusia pilihan Allah SWT yang diberi hak untuk memberi syafaat dan menjadi wasilah Antara manusia dan Tuhan, sehingga mereka meminta penghormatan, seperti adanya taqbil ( mencium tangan para sayyid kapan dan dimana pun ketika bertemu ), wanita alawi tidak boleh menikah dengan pria non-alawi[5].
Soorkati yang merasa dirinya tidak disukai pun mengeluarkan diri dari Jami’at Khair. Pada tahun yang sama atas dukungan pemuka Hadrami non-alawi  ia membuka madrasah AL-Irsyad Islamiyah, ia juga menyetujui pendirian organisasi yang menaunginya yaitu Jam’iyah Al-islah wa Al-irsyad Al-islamiyah pada tanggal 6 September 1914. Kemajuan Al-irsyad mengalami kemajuan, sedangkan Jami’at Khoir mengalami kemunduran.
Pembentukan Al-irsyad ditujukan kepada golongan Arab Hadrami bahwa tafaddul ( kemuliaan ) tidaklah didasari pada keturunan, melainkan pada ilmu, amal, dan takwa. Ia menentang taklid buta, khufarat, dan bid’ah dalam berbagai bentuk keyakinan dan keagamaan yang dihubungkan dengan orang tertentu dari keluarga Alawi.  Karena itulah Al-irsyad bergerak dalam bidang pendidikan formal, tujuan kedepannya adalah :
1.      Memperbaiki kondisi keberagaman dan sosio-ekonomi umat islam, khususnya golongan arab dengan mendirikan madrasah, panti asuhan dan rumah sakit.
2.      Menyebarkan reformasi islam diantara para muslim melalui tulisan, publikasi, diskusi, kelompok studi dan tablig.

C. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang terpenting di Indonesia dari sebelum Perang Dunia II sampai sekarang. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 10 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan[6].  Didirikannya Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan merupakan hasil pengalamannya aktif di organisasi Budi Utomo, Jami;at Khair dan Srekat Islam. Ahmad Dahlan mengamati belum adanya organisasi pribumi yang berorientasi pada gerakan modernism Islam.
Organisasi ini bergerarak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Tujuan didirikan organisasi ini adalah :
1.      Untuk membebaskan umat Islam dari kebekuan dalam segala bidang kehidupan yaitu dengan menerapkan pengajaran Nabi Muhammad.
2.      Membebaskan dari praktek-praktek Agama yang menyimpang dari kemurnian Islam yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi.
Saat itu Islam dipengaruhi sifat fatalism, bid’ah, khufarat, dan konservatisme yang berpengaruh kuat pada kehidupan keagamaan sosial dan ekonomi masyarakat muslim di Indonesia. Muhammadiyah tampil untuk memperjuangkan nasib umat islam dan memajukan kehidupan keagamaan umat islam. Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mengadakan rapat-rapat, tabligh, mendirikan masjid, menerbitkan buku, brosur, surat kabar dan majalah.
Melihat pendidikan Islam yang sangat tradisional, akhirnya Muhammadiyah memutuskan untuk memperbarui system pendidikan islam secara modern sesuai dengan kondisi zaman. Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sekolah-sekolah umum yang didalamnya diberi pengetahuan umum dan pengetahuan agama.[7]
KH. Ahmad Dahlan berusaha untuk memurnikan ajaran Islam dari takhayul, bid’ah, dan khufarat. Muhammadiyah kemudian menetapkan beberapa hal dalam pengajarannya, seperti  penentuan arah kiblat secara eksak, penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa Ramadhan, penyelenggaraan shalat hari raya di lapangan, pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban, penyamapaian khutbah dalam Bahasa yang dimengerti jama’ah, pelaksanaan shalat Jum’at dan tarawih berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW, penghilangan beduk dari masjid, peniadaan  ziarah kubur kepada tokoh yang dianggap keramat, penyederhanaan syukuran kelahiran, khitanan, perkawinan dan pengurusan jenazah.
Hingga tahun 1920, Muhammadiyah mulai menyebar dan memiliki cabang dibeberapa kota Surakarta, Surabaya, Madiun, Pekalongan, Garut dan Jakarta. Sewafatnya Ahmad Dahlan pada tahun 1923, kepemimpinannya digantikan oleh sahabatnya KH. Ibrahim. Pada periode ini Muhammadiyah menyebar keluar Jawa dan sampai akhirnya keseluruh Nusantara.
Organisasi ini memiliki peranan yang sangat penting dan mempunyai dampak yang paling luas diseluruh Indonesia. Walaupun pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan terutama dari kaum adat dan ulama tradisional karena dianggap telah keluar dari ahlussunah wal jama’ah . akan tetapi lambat laun masyarakat menerima pembaruan keagamaan dan inovasi yang dilakukan Muhammadiyah. Selain itu perkembangan Muhammadiyah didukung faktor lain seperti cara dakwah mereka yang cenderung toleran, kegiatan sosial yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, dan sebagai organisasi tandingan terhadap aktivis misionaris Kristen. Muhammadiyah juga memiliki Majelis Tarjih yang berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah yang dipertikaikan umat islam.

D. Persatuan Islam ( PERSIS )
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok orang islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagaman yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus[8].
Persis mengembangkan cita-cita dan pemikirinnya melalui pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pamflet, majalah dan kitab[9]. Dalam kegiatannya Persis mendapat dukungan dan partisipasi daru dua tokoh penting yaitu :
1.      Ahmad Hasan, seorang yang dianggap sebagai guru Persatuan Islam sebelum perang.
2.      Mohammad Natsir, seorang pemuda yang sedang berkembang dan bertindak sebagai juru bicara dari Persatuan Islam kalangan terpelajar.
Sama halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persatuan Islam juga memberikan perhatian besar pada kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan berupa sekolah dasar, kursus, kelompok diskusi, pengajian dan pesantren. Dalam pendidikan ini Persatuan Islam mendirikan sebuah madrasah yang awalnya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persatuan Islam, dan kemudian madrasah tersebut dibuka untuk umum. Madrasah ini membahas soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah yang sangat menarik pada saat itu adalah poligami dan nasionalisme.
Selain mendirikan madrasah, Persatuan Islam juga mendirikan Pesantren Persatuan Islam pada bulan Maret 1939 di Bandung.  Dengan harapan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untukmenyebarkan agama, usaha ini merupakan inisiatif Hasan. Kemudian Pesantren ini dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur. Setelah pesantren dibuka di Bangil, maka muridnya bertambah dari kepulauan Indonesia. Pada tahun 1941dibuka pesantren bagian perempuan. Dan kedua pesantren ini berjalan baik.[10]
Persis dan Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama namun memiliki beberapa perbedaan, yaitu :
1. Muhammadiyah sangat giat dalam membentuk banyak cabang.
Persis tidak terlalu giat dalam membentuk banyak cabang
2. Muhammadiyah berusaha mengiring orang masuk, lalu kemudian dibina orang tersebut dalam organisasi
Persis membina dahulu diluar, jika dianggap sudah pantas baru direkrut menjadi anggota
3 Lebih mengutamakan aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan
Lenih mengutamakan dakwah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku, mengadakan diskusi umum dan lain-lain.

Tidaklah mengherankan jika organisasi Persis jauh lebih kecil dibanding Muhammadiyah dalam jumlah anggota dan aktivitasnya. Persatuan Islam hanya memiliki 200 cab
ang diseluruh Indonesia, yang menangani ratusan sekolah dan pesantren.

E. Serikat Islam
Serikat Islam adalah organisasi rakyat terbesar pada awal abad ke-20. Sejarah pendirian organisasi ini, para sejarahwan berbeda pendapat mengenai tahun dan tokoh penggagasnya. Takashi Siraishi seorang sarjana Jepang menyatakan bahwa Serikat Islam berasal dari sebuah organisasi yang bernama Rekso Roemekso yang dibentuk H. Samanhudi dan para pengikutnya pada tahun 1868-1958. Rekso Roemekso terbentuk karena adanya persaingan perdagangan batik Antara pedagang Jawa dan Cina. Organisasi  ini dibentuk untuk membela kepentingan pengusaha pribumi yang merasa dirugikan, karena pemerintah Hindia Belanda memberikan monopoli kepada para pedagang Cina dalam menyediakan bahan baku dan pemasaran batik. Akhirnya Rekso Roemekso memutuskan untuk mengganti nama dengan Partai Serikat Islam tahun 1923 organisasi ini mengarah pada bidang politik dan merupakan organisasi politik pertama di Indonesia.
Tujuan Serikat Islam, adalah :
1.      Memajukan semangat dagang kalangan bumiputra
2.      Memberikan bantuan kepada para anggota perkumpulan
3.      Memajukan pendidikan rohani bumiputra
4.      Menghilangkan salah pengertian mengenai agama islam
5.      Memajukan kehidupan keagamaan dikalangan bumiputra.
Keanggotaan Serikat Islam tidak dibatasi di Pulau Jawa saja, namun terbuka untuk  pribumi muslim diseluruh Tanah Air. Ketika SI berpindah dari Surakarta ke Surabaya, SI dipimpin oleh orator ulung yaitu H. Oemar Said Tjokroaminoto tahun 1882-1934, daan lambat laun H. Samanhudi yang menggagas organisasi ini mulai tergeser dan hanya memimpin sampai tahun 1916.
SI terus melakukan propaganda melalui media cetak dan rapat umum sehingga dalam waktu kurang dari setahun SI sudah tersebar luas. Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa cabang di Kudus, Bandung, Surabaya, Madiun, Ngawi, Ponorogo, dan Semarang yang terdiri dari ribuan anggota. Anggota inti SI adalah golongan pedagang, kaum agamawan, dan kebanyakan rakyat.
Keangotaan SI yang begitu massif ini sangat mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, karena pidato Tjokroaminoto dalam setiap pertemuannya selalu membakar semangat massa. Sehingga sering terjadi kerusuhan sosial. Tercatat banyak terjadinya kerusuhan sosial yang ditimbulkan dari sikap fanatic dan radikal pengikut SI, sepert pemogokan buruh, penyerangan, pembakaran dan insiden pembunuhan terhadap golongan Cina dan Eropa.
Walaupun adanya banyak hambatan dalam perkembangan SI, SI tetap berkembang pesat, ada beberapa faktor yaitu :
1.      Pemakaian nama Islam untuk organisasiini cukup membuat penduduk yang mayoritas muslim merasa harus mendukung Serikat Islam.
2.      Serikat Islam merupakan organisasi masyarakat pribumi yang menganut paham sama rata sama rasa . dalam paham ini SI tidak membeda-bedakan status sosial.
3.      Adanya sikap anti Cina dan anticolonial Eropayang secara tidak langsung dimiliki SI dan kemudian ditiup untuk menarik anggota baru.
4.      Adanya harapan millenaristis dan messianistis didalamnya.
Sejak berganti nama  PSI berusaha menjalankan politik hijrah semacam politik non-kooperasi yang berarti menolak sama sekali kerjasama dengan pemerintah. Tokoh PSI mengajak Muhammadiyah untuk menolak subsidi yang diberikan pemerintah Belanda bagi sekolah Muhammadiyah, akan tetapi usulan itu ditolak karena bagi Muhammadiyah subsidi itu berasal dari uang umat islam yang diambil Belanda sehingga harus dimanfaatkan kembali untuk pendidikan umat Islam.
Hubungan SI dan Muhammadiyah pun semakin merenggang. Pertentangan semakin meruncing dengan adanya kritik PSI kepada Muhammadiyah yaitu :
1.      Muhammadiyah lebih takut kepada presiden daripada kepada Allah SWT
2.      Muhammadiyah lari dari politik dan tidak mau melawan penjajah
3.       Muhammadiyah melakukan hal yang haram dengan meminjam uang dengan bunga.
4.      Keislamana Muhammadiyah mulai dipertanyakan karena sikapnya yang non-politik dan tidak berjuangmelawan penjajah yang kafir.
Tahun 1926, PSI mengintruksikan anggotanya untuk meninggalkan Muhammdiyah atau anggota akan dikeluarkan dari PSI jika tidak menaati disiplin. Namun ternyata tindakan itu merugikan PSI sendiri sebab banyak anggota yang justru memilih Muhammadiyah dan meninggal PSI. mulai saat itu PSI mengalami kemunduran yang disebabkan beberapa hal :
1.      Anggota Muhammadiyah tidak lagi menjadi anggota PSI.
2.      Timbulnya partai politiklain yang lebh menarik hati rakyat, yaitu Partai Nasional Indonesia.
3.      Politik hijrah yang dijalankan PSI semakin diawasi oleh Belanda
Sekali lagi pada tahun 1929 PSI berganti nama lagi menjadi Partai SerikatIslam Indonesia ( PSII). Namun perpecahan terus menerus terjadi pada PSII menyebabkan partai ini semakin ditinggalkan sebagian umat besar Islam[12]

DAFTAR PUSAKA
Al-Hafni, Abdul Mun’im, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ).
Hasan, Muhammad Thalhah, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, ( Jakarta :  Lantaroba Press, 2005) .
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,  1982 ).
Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 ).
Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Departemen Agama RI,  2005 )
Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana,  2007 )

[1] Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ), hal 914-917.
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, ( Jakarta :  Lantaroba Press, 2005) , hal 11.
[3] Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam,( Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu 2006 ), hal 914-917
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana 2007 ), hal 322.
[5] Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 )
[6] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia : 1982 ), hal 84.
[7] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam ( Jakarta : Kencana 2007)
[8] Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Departemen Agama RI : 2005 ), Hal 70-73.
[9] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, ( Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia : 1982 ), hal 95.
[10] Mansur, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Departemen Agama RI : 2005 ), Hal 70-73.

[11] Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999
[12] Ensiklopedia Islam ( Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999 )!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar