TRAINER HEBAT

TRAINER HEBAT

Senin, 09 Oktober 2023

MEMBANGUN PONDASI GENERASI BERKARAKTER MULIA

 

MEMBANGUN PONDASI

GENERASI BERKARAKTER MULIA

AKHIRUDINDC, MA, M.AM

 

 

A.    PENDAHULUAN

Karakter Mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu, individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Allah SWT, dirinya, sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Dalam merumuskan hakikat karakter, Simon Philips (2008:235) berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. 

Orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif

 Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral.

Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif, bukan yang negatif. Gagasan ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung character strength dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari character strength adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.

 

Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang

 Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma. Wujudnya berupa sikap jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa.

Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa.

  

B.    CHARACTER BUILDING DALAM SHALAT

 

Salah satu ciri orang yang bertakwa ialah mereka yang menegakkan salat (QS. Al-Baqarah/2: 3). 

Artinya:

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

 Ini penting kita perhatikan bahwa kegiatan salat itu disebut dalam al-Qur’an bukan dengan kalimat “mengerjakan salat” melainkan “menegakkan salat” (iqâmah al-shalâh). Ada berbagai derivasi dari kata iqâmah itu, seperti yuqîmûna al-shalâh, aqâmû al-shalâh, aqîmu al-shalâh dalam beberapa bentuk kata kerja, yang idenya ialah bahwa shalat itu tidak cukup dikerjakan tetapi ditegakkan. Perintah itu bukan berbunyi “kerjakanlah shalat” atau “bersalatlah kamu”, tetapi “tegakkanlah shalat”. Menegakkan salat ialah mengerjakan shalat dengan sebenar-benarnya dan menepati atau memenuhi konsekuensi-konsekuensinya sebagai orang yang shalat.

 Paling tidak, tuntutan yang diharapkan akan dipenuhi orang yang shalat itu diisyaratkan di dalam penutup shalat itu sendiri. Shalat dimulai dengan takbîrah al-ihrâm, artinya takbir (kalimat Allahu Akbar) yang mengharamkan segala pekerjaan yang bersifat horizontal atau sesama manusia. Sebab dengan Allahu Akbar kita menyatakan diri sedang membuka hubungan dengan Tuhan yang dimensinya vertikal, yang sangat pribadi dan personal, tidak bisa diketahui dan diintervensi oleh orang lain. Tetapi salat itu harus diakhiri dengan salam, yaitu membaca “al-salâmu ‘alaikum wa rahmah Allâh.

Idenya ialah bahwa shalat harus menghasilkan pernyataan baik kepada sesama manusia dengan menyampaikan do’a keselamatan. Itu adalah konsekuensi dari shalat. Karena itu, shalat seharusnya menghasilkan budi pekerti luhur. Orang yang melakukan salat tetapi tidak mempunyai budi pekerti luhur, tidak ramah kepada manusia, dan sebagainya, maka menurut surat al-Mâ‘ûn justru bisa lebih celaka. Surat al-Mâ‘ûn dimulai dengan suatu pertanyaan retorik, “Adakah kaulihat orang yang mendustakan agama? Dialah yang mengusir anak yatim (dengan kasar). Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang salat. Yang alpa dalam salat mereka,” (QS. al-Mâ‘ûn/107: 1-5).

Yang dimaksud di sini bukan lupa dalam arti shalat itu terlewat karena asyik bekerja atau hal-hal lain. Lupa melakukan sesuatu karena betul-betul lupa itu justru tidak apa-apa. Malahan ada do’a di dalam al-Qur’an, yaitu “Tuhan, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan,” (QS. Al-Baqarah/2: 286). Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa kalau kita berdo’a seperti itu Tuhan menjawab, “Engkau telah berbuat, Engkau telah berbuat (tidak apa-apa lupa).” Jadi yang dimaksud “Yang alpa dalam salat mereka” ialah orang yang shalat setiap hari tetapi tingkah lakunya seperti orang tidak shalat. Atau shalatnya hanya untuk riya’ atau pamrih, dalam istilah sosiologi disebut sebagai rule expectation. Seperti seorang yang sudah haji melakukan shalat karena orang berharap (expect) dia shalat. Jadi dia shalat atau beribadat atas dasar rule expectation. Maka menegakkan shalat itu serius sekali. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW menegaskan bahwa shalat itu tiang agama. “Barang siapa menegakkan salat maka dia menegakkan agama, dan barangsiapa meninggalkan salat maka dia menghancurkan agama.”

Allah berfirman, 

Artinya:

Adakah kaulihat orang yang mendustakan hari kiamat (bohong dalam beragama? Dialah orang yang mengusir anak yatim (dengan kasar) (tidak peduli dengan nasib anak yatim), dan tidak mendorong memberi makan (tidak pernah dengan sungguh-sungguh memikirkan nasib) orang miskin (QS. 107: 1-3).

 Ini adalah indikator kepalsuan beragama. Dalam bahasa kontemporer, indikator kepalsuan beragama adalah kalau orang tidak mempunyai solidaritas sosial, social concern, tidak peduli dengan masyarakat dan sebagainya.

 

C.    NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM SHALAT

·         Jumlah rakaat, melatih kejujuran           

·         Pelaksanaan, melatih Tanggung jawab            

·         Hari kemudian, melatih Visioner

·         Tepat waktu, melatih Disiplin     

·         Berjemaah, melatih Kerjasama  

·         Shaf, melatih Adil  

·         Salam, melatih Peduli (https://books.google.co.id/books?id=wcUKuso1o_QC)

 

D.   PENUTUP

Shalat dan bentuk ibadah-ibadah lainnya dalam Islam pada dasarnya adalah ritus. Orang tidak boleh berhenti kepada ritus itu sendiri, tetapi penghayatannya, sebab ritus itu sesungguhnya hanya simbolisasi. Ketika orang shalat melakukan rukuk, berdiri, sujud; dan seluruh aktivitas dalam shalat, itu sebetulnya simbolisasi ketundukan manusia kepada Tuhan. Dan itu nature manusia. Orang modern akan sulit sekali menekuk lututnya, karena terbiasa duduk di kursi. Maka ketika Malcom X menjadi Muslim dan kemudian mulai shalat, dia membuat suatu statement yang sangat menarik. Katanya, yang paling sulit bagi manusia hidup ternyata ialah menekuk lutut yang merupakan bagian dari anatominya sendiri, karena dia tidak biasa menekuk lutut. Tetapi kalau kita berhenti pada menekuk lutut pada waktu ruku atau sujud tanpa menghayatinya, tidak akan mempunyai fungsi apa-apa. Itulah yang diperingatkan Allah dalam al-Qur'an surat al-Mâ‘ûn ayat 4-6, “Maka celakalah orang-orang yang salat. Yang alpa dalam salat mereka. Yang hanya ingin dilihat (orang).

 



PELATIHAN/TRAINING TRANSFORMASI KARAKTER

Membentuk Budaya Kerja dengan Nilai-Nilai Shalat, Sukses dengan Nilai-nilai Shalat

Dan beberapa modul training lainnya sesuai dengan kebutuhan client

CONTACT :

HP/WA : 0813 8575 0165

akhirudindc@gmail.com

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar