MEMBANGUN PONDASI
GENERASI BERKARAKTER MULIA
AKHIRUDINDC, MA, M.AM
A.
PENDAHULUAN
Karakter Mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan
tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif,
percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah
hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai
waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta
keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki
kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu, individu itu
juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik
adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional,
sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik ataupun
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Allah SWT, dirinya, sesamanya, lingkungannya, bangsa
dan negaranya, serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya (perasaannya).
Dalam merumuskan hakikat karakter, Simon Philips (2008:235) berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Orang berkarakter adalah
orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif
Dengan demikian, pendidikan membangun
karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku
yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif, bukan yang
negatif. Gagasan ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5)
yang mengaitkan secara langsung character
strength dengan kebajikan. Character
strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan.
Salah satu kriteria utama dari character
strength adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam
mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan
yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.
Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan
melalui pengembangan karakter individu seseorang
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam
lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu
seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang
berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik
dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa.
B.
CHARACTER
BUILDING DALAM SHALAT
Salah satu ciri orang yang bertakwa ialah mereka yang menegakkan salat (QS. Al-Baqarah/2: 3).
Artinya:
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Paling tidak, tuntutan yang diharapkan akan
dipenuhi orang yang shalat itu diisyaratkan di dalam penutup shalat itu
sendiri. Shalat dimulai dengan takbîrah al-ihrâm, artinya takbir
(kalimat Allahu Akbar) yang mengharamkan segala pekerjaan yang bersifat
horizontal atau sesama manusia. Sebab dengan Allahu Akbar kita menyatakan diri
sedang membuka hubungan dengan Tuhan yang dimensinya vertikal, yang sangat
pribadi dan personal, tidak bisa diketahui dan diintervensi oleh orang lain.
Tetapi salat itu harus diakhiri dengan salam, yaitu membaca “al-salâmu
‘alaikum wa rahmah Allâh.”
Idenya ialah bahwa shalat harus
menghasilkan pernyataan baik kepada sesama manusia dengan menyampaikan do’a
keselamatan. Itu adalah konsekuensi dari shalat. Karena itu, shalat seharusnya
menghasilkan budi pekerti luhur. Orang yang melakukan salat tetapi tidak
mempunyai budi pekerti luhur, tidak ramah kepada manusia, dan sebagainya, maka
menurut surat al-Mâ‘ûn justru bisa lebih celaka. Surat al-Mâ‘ûn dimulai dengan
suatu pertanyaan retorik, “Adakah kaulihat orang yang mendustakan agama? Dialah
yang mengusir anak yatim (dengan kasar). Dan tidak mendorong memberi makan
orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang salat. Yang alpa dalam salat
mereka,” (QS. al-Mâ‘ûn/107: 1-5).
Yang dimaksud di sini bukan lupa dalam arti shalat itu
terlewat karena asyik bekerja atau hal-hal lain. Lupa melakukan sesuatu karena
betul-betul lupa itu justru tidak apa-apa. Malahan ada do’a di dalam al-Qur’an,
yaitu “Tuhan, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan
kesalahan,” (QS. Al-Baqarah/2: 286). Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa
kalau kita berdo’a seperti itu Tuhan menjawab, “Engkau telah berbuat, Engkau
telah berbuat (tidak apa-apa lupa).” Jadi yang dimaksud “Yang alpa dalam salat
mereka” ialah orang yang shalat setiap hari tetapi tingkah lakunya seperti
orang tidak shalat. Atau shalatnya hanya untuk riya’ atau pamrih, dalam istilah
sosiologi disebut sebagai rule expectation. Seperti seorang yang sudah
haji melakukan shalat karena orang berharap (expect) dia shalat. Jadi
dia shalat atau beribadat atas dasar rule expectation. Maka menegakkan
shalat itu serius sekali. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW menegaskan
bahwa shalat itu tiang agama. “Barang siapa menegakkan salat maka dia
menegakkan agama, dan barangsiapa meninggalkan salat maka dia menghancurkan
agama.”
Allah berfirman,
Artinya:
Adakah kaulihat orang yang
mendustakan hari kiamat (bohong dalam beragama? Dialah orang yang mengusir anak
yatim (dengan kasar) (tidak peduli dengan nasib anak yatim), dan tidak
mendorong memberi makan (tidak pernah dengan sungguh-sungguh memikirkan nasib)
orang miskin (QS. 107: 1-3).
C.
NILAI-NILAI SPIRITUAL DALAM SHALAT
·
Jumlah
rakaat, melatih kejujuran
·
Pelaksanaan,
melatih Tanggung jawab
·
Hari
kemudian, melatih Visioner
·
Tepat
waktu, melatih Disiplin
·
Berjemaah,
melatih Kerjasama
·
Shaf,
melatih Adil
·
Salam,
melatih Peduli (https://books.google.co.id/books?id=wcUKuso1o_QC)
D.
PENUTUP
Shalat dan bentuk ibadah-ibadah
lainnya dalam Islam pada dasarnya adalah ritus. Orang tidak boleh berhenti
kepada ritus itu sendiri, tetapi penghayatannya, sebab ritus itu sesungguhnya
hanya simbolisasi. Ketika orang shalat melakukan rukuk, berdiri, sujud; dan
seluruh aktivitas dalam shalat, itu sebetulnya simbolisasi ketundukan manusia
kepada Tuhan. Dan itu nature manusia.
Orang modern akan sulit sekali menekuk lututnya, karena terbiasa duduk di
kursi. Maka ketika Malcom X menjadi Muslim dan kemudian mulai shalat, dia
membuat suatu statement yang sangat menarik. Katanya, yang paling sulit
bagi manusia hidup ternyata ialah menekuk lutut yang merupakan bagian dari
anatominya sendiri, karena dia tidak biasa menekuk lutut. Tetapi kalau kita
berhenti pada menekuk lutut pada waktu ruku atau sujud tanpa menghayatinya,
tidak akan mempunyai fungsi apa-apa. Itulah yang diperingatkan Allah dalam
al-Qur'an surat al-Mâ‘ûn ayat 4-6, “Maka celakalah orang-orang yang salat.
Yang alpa dalam salat mereka. Yang hanya ingin dilihat (orang).”
PELATIHAN/TRAINING TRANSFORMASI KARAKTER
Membentuk Budaya Kerja
dengan Nilai-Nilai Shalat, Sukses dengan Nilai-nilai Shalat
Dan beberapa modul training lainnya sesuai dengan kebutuhan client
CONTACT :
HP/WA : 0813 8575 0165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar